JAKARTA, KOMPAS Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mengungkap sindikat mafia tanah di Jakarta dan Kabupaten Bekasi. Berbekal dokumen palsu, komplotan mafia mengklaim tanah yang bukan miliknya. Mereka ingin menguasai tanah itu dengan bantuan pihak lain termasuk aparat di tingkat lurah dan kecamatan.
Pengungkapan kasus ini berawal dari gugatan ahli waris terhadap Pemprov DKI Jakarta atas tanah seluas 2,9 hektar di Jalan DI Panjaitan, Cipinang, Jakarta Timur. Tanah itu merupakan aset Pemprov DKI yang dipakai Kantor Samsat Jakarta Timur.
Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ade Ary mengatakan tanah itu telah dikuasai Pemprov DKI sejak 1985.
Pada tahun 2014 ada orang yang mengaku ahli waris tanah dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. “Mereka adalah tersangka S dan tujuh ahli waris yang menggugat Pemprov DKI. Penggugat menang di pengadilan, tetapi Pemprov DKI banding,” kata Ade Ary, Rabu (5/9/2018).
Dari kasus ini, kata Ade, polisi menahan S sebagai otak komplotan dan tujuh orang yang mengaku ahli waris. “S menjanjikan ahli waris 25 persen kalau tanah itu berhasil diambil kembali. Pemprov DKI dirugikan karena para tersangka mengajukan ganti rugi Rp 340 miliar,” lanjutnya.
Libatkan aparat desa
Pada kasus serupa di Kabupaten Bekasi, Polda Metro Jaya menangkap 11 tersangka. Mereka terdiri dari camat, staf camat, kepala desa, sekretaris desa, kepala dusun, staf desa, dan staf kecamatan di Desa Segara Makmur, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Polisi juga menangkap empat orang yang berperan sebagai penjual dan pembeli tanah.
Menurut Ade, kasus di Bekasi berawal dari laporan pemilik tanah bernama L di Desa Segara Makmur, Kecamatan Tarumajaya seluas 7.700 meter persegi yang dimiliki sejak 1973. Pada tahun 2014, L didatangi orang yang mengaku pemilik tanah dengan dokumen palsu berupa girik, surat keterangan tidak sengketa, keterangan waris, dan surat kematian yang ditandatangani dan dicap perangkat desa dan kecamatan setempat.
“Tersangka membuat dokumen palsu kemudian mendatangi korban dan mengatakan tanah itu milik tersangka, lalu mereka mengajak berperkara,” katanya.
Polisi menemukan fakta bahwa oknum kecamatan telah menerbitkan 163 akta jual beli palsu pada tanah-tanah yang sudah ada pemiliknya.
Kepala Bidang Penanganan Perkara BPN Jawa Barat Dadang M Fuad mengatakan, kasus pemalsuan surat tanah di Jawa Barat sebenarnya banyak. Namun tahun ini kasus yang akan diangkat di Bekasi, Subang, Majalengka, dan Kota Bandung. Modusnya hampir sama, yaitu memalsukan dokumen sebagai pijakan beperkara di pengadilan.
Atas perbuatannya, kata Ade, tersangka terancam hukuman maksimal enam tahun sesuai pasal 263, 264, dan 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto pasal 55 KUHP. (WAD)