JAKARTA, KOMPAS - Penyelenggaraan Asian Games 2018 meninggalkan warisan berharga, terutama arena olahraga, infrastruktur transportasi, juga perubahan perilaku masyarakat. Terkait arena, setelah gelaran Asian Para Games 2018 pada 6-13 Oktober usai, perlu usaha khusus untuk memastikan gelanggang-gelanggang itu tidak terbengkalai.
Pengamat manajemen olahraga Fritz E Simandjuntak, Rabu (5/9/2018), mengatakan, fenomena sarana olahraga terabaikan setelah ajang besar terjadi hampir di seluruh dunia. Agar hal serupa tidak terjadi, Indonesia harus rajin menggelar perhelatan olahraga.
Dia mencontohkan, turnamen tenis Australia Terbuka rutin digelar meski tidak banyak petenis Australia yang menonjol. Turnamen itu menggerakkan ekonomi dan mengundang turis.
Sejauh ini, baru bulu tangkis dan sepak bola yang rutin menggelar kegiatan. Fritz menyarankan pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan pengurus cabang aktif menggelar pertandingan. ”Hal itu menjadi penilaian pemberian bantuan dana bagi federasi olahraga,” ujarnya.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang membangun dan merenovasi mayoritas arena, berharap tak ada arena yang mangkrak. Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK), Kompleks Olahraga Jakabaring (JSC), Pemprov DKI Jakarta, dan Pemprov Sumatera Selatan didorong lebih kreatif berinovasi.
Di laman Kementerian PUPR disebutkan, PUPR merehabilitasi 13 arena di GBK, juga arena JSC, menata area GBK dan 10 menara wisma atlet Kemayoran dengan anggaran Rp 6,2 triliun. Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga meminta PPK GBK kreatif dan inovatif membuat kegiatan demi menghidupkan arena.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, GBK harus beroperasi dan memelihara dirinya sendiri. ”Jadi kami mendesain gedung tersebut agar multifungsi, bisa untuk pameran atau musik,” ujarnya.
Basuki mencontohkan, salah satu gelanggang yang perawatannya rumit dan mahal adalah arena akuatik. Hal itu bisa ditutup dengan subsidi silang dari Istora Senayan, yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan.
Adapun Pemprov DKI bertanggung jawab atas velodrom, arena BMX, dan berkuda. Menurut Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda DKI Ratiyono, tiga arena itu kini dikelola Jakarta Propertindo dan anak usahanya. Dengan demikian, pemeliharaan dan perawatan arena lebih terjamin.
Disewakan
Direktur Pembangunan dan Pengembangan Usaha PPK GBK Gatot Tetuko menambahkan, solusi untuk merawat kompleks GBK dilakukan dengan kembali ke bisnis awal, yakni menyewakan arena. Selain olahraga, arena-arena itu juga bisa digunakan untuk berbagai acara.
Direktur Utama PPK GBK Winarto juga mendorong induk cabang olahraga lebih produktif menggunakan arena GBK. Selain berlatih, mereka didorong menyelenggarakan kejuaraan secara komersial untuk menurunkan beban biaya perawatan.
Ia mengatakan, prioritas pemanfaatan GBK adalah untuk pelatnas dan kejuaraan. ”Induk cabang dapat berkoordinasi dengan PPK GBK. Skema penghapusan biaya sewa juga dimungkinkan, seperti pada Kejuaraan Nasional Atletik, Mei lalu,” kata Winarto.
Menurut dia, perbaikan fasilitas membawa konsekuensi biaya perawatan meningkat. Arena akuatik, misalnya, membutuhkan sekitar Rp 7,2 miliar per tahun. Adapun pemeliharaan stadion utama bisa mencapai Rp 30 miliar-Rp 35 miliar per tahun. Secara total, perawatan GBK mencapai Rp 190 miliar per tahun.
Di Palembang, Pemprov Sumsel menggandeng swasta untuk mengelola arena di JSC. Salah satu arena yang telah dikelola swasta adalah arena boling. Gubernur Sumsel Alex Noerdin mengatakan, fokus utama setelah Asian Games adalah menjaga JSC tetap menjadi kota olahraga. ”Kalau mengandalkan APBD, tentu tidak cukup,” ujar Alex.
JSC kini dikelola BUMD PT Jakabaring Sport City. Dirut PT JSC Bambang Supriyanto mengungkapkan, biaya perawatan 24 arena di Jakabaring mencapai Rp 1,8 miliar per bulan. Dia optimistis JSC dapat dipertahankan karena sejak PON 2004, aset di JSC masih terawat, bahkan terus berkembang.