JAKARTA, KOMPAS - Pesatnya perkembangan bisnis e-dagang dinilai masih sering melupakan kualitas layanan ke konsumen. Oleh karena itu, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) berencana mengeluarkan standar pelayanan sebagai acuan industri.
Ketua Umum idEA, Ignatius Untung di Jakarta, Kamis (6/9/2018), mencontohkan standar waktu memproses permintaan pembelian, pengemasan barang, hingga pengiriman. Perusahaan e-dagang kadang memberikan notifikasi ke konsumen dan kadang tidak.
Hal lain terkait standar pelayanan adalah soal pengaduan transaksi barang dan penerbitan informasi barang sesuai dengan ketersediaan stok. "Dari aneka bentuk standar layanan, kami akan memberikan penilaian, nilainya dibuat secara bertingkat," ujarnya.
Dengan adanya standar diharapkan memacu perusahaan e-dagang memberikan pelayanan terbaik ke konsumen. Sementara konsumen dinilai akan semakin teredukasi. Konsumen akan lebih percaya ke perusahaan e-dagang yang menawarkan layanan sesuai standar. "Perumusan hingga implementasi standar layanan diharapkan paling lambat tahun 2020. Standar ini sifatnya bukan wajib," ujarnya.
Impor
Sehari sebelumnya, pemerintah mengumumkan kenaikan tarif Pajak Penghasilan impor Pasal 22 untuk 1.147 komoditas hingga empat kali lipat. Komoditas tersebut dibagi dalam jenis barang proses konsumsi, barang produksi dalam negeri, dan barang mewah. Tujuan dikeluarkannya kebijakan itu adalah memperbaiki defisit transaksi berjalan yang turut menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Wakil Ketua Umum idEA bidang relasi pemerintahan, Mohamad Rosihan, yang dikonfirmasi mengenai kebijakan itu, mengatakan, sampai sekarang, asosiasi belum memiliki data volume dan nilai barang impor yang diperjualbelikan di platform e-dagang. Dengan demikian, asosiasi belum bisa berkomentar banyak.
Hanya saja, dia berpandangan, volume dan nilai barang impor yang besar bukan berasal dari jenis konsumsi ritel, melainkan pendukung industri skala besar ataupun proyek infrastruktur negara.
"Barang impor cenderung mendapat perhatian di dunia e-dagang. Sebagai ilustrasi, barang seperti itu terpampang di halaman muka laman. Kalaupun pemerintah kini melakukan pengendalian impor, hal yang semestinya dilakukan adalah mendata seberapa banyak volume serta nilai barang impor di platform e-dagang," tutur dia.
Di industri e-dagang, penyebutan barang impor dikelompokkan ke dalam tiga pandangan. Pertama, barang asing dijual oleh pengusaha e-dagang di luar negeri, lalu dibeli oleh konsumen di Indonesia. Kedua, barang asing dijual oleh penjual asing di platform e-dagang Indonesia, lalu dibeli oleh konsumen di Indonesia. Ketiga, barang asing yang diimpor oleh importir resmi Indonesia, lalu dibeli oleh konsumen di Indonesia.
"Apabila ada kebijakan pengendalian impor, seperti menaikkan tarif pajak penghasilan impor, pedagang barang di platform e-dagang akan segera meningkatkan harga jual. Kita harus menelisik dulu jenis barang impor, baru kita berbicara mengenai substitusi barang yang dijual di platform e-dagang," ujar Rosihan.
Lebih jauh, dia menjelaskan tentang ekosistem industri e-dagang yang dimulai dari produksi barang, pemasaran di platform, sistem pembayaran, dan terakhir logistik. Untuk produksi barang, Rosihan memandang, kekuatan Indonesia terletak pada kategori makanan atau kuliner. Di berbagai daerah sekarang sentra produksi kecil menengah makanan atau kuliner terbantu oleh hadirnya digital.
"Untuk menghidupkan ekosistem industri e-dagang, pemerintah daerah perlu campur tangan, khususnya mendukung pergerakan sentra produksi barang lokal di daerahnya," tambah Rosihan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih, dalam acara The 2nd International Conference & Call For Paper: ”Strategy and Innovation of Trade in the Digital Economy Age” di Jakarta, Rabu (5/9/2018), mengatakan, pemerintah akan mendata dan mengawasi barang-barang impor dari e-dagang. Langkah pendataan dan pengawasan barang impor sebagai salah satu materi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (RPP E-dagang).