JAKARTA, KOMPAS – Curah hujan yang rendah di sejumlah daerah sejak Juli lalu mengakibatkan banyak wilayah mengalami kekeringan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana, saat ini kekeringan melanda 4.053 desa di 111 kabupaten/kota di 11 provinsi.
Kelangkaan hujan sejak beberapa bulan terakhir menyebabkan pasokan air berkurang, debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut, sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air dan sebagian pertanian puso. Masyarakat harus mencari air ke sumber-sumber air di tempat lain, sebagian harus membeli air bersih dan menggantungkan pada bantuan air bersih.
"Daerah yang mengalami kekeringan saat ini adalah daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Jakarta, Kamis (6/9/2018).
Kekeringan terjadi di Sumatera bagian selatan, Jawa hingga Nusa Tenggara, meliputi Provinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Kekeringan juga terjadi di Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian barat dan Papua bagian selatan.
Di Jawa Barat, misalnya, kekeringan terdapat di 761 desa di 22 kabupaten/kota, dan berdampak pada 1,13 juta penduduk. Di Jawa Tengah, kekeringan terjadi di 1.416 desa di 28 kabupaten kota, dan berdampak pada 854.000 penduduk. Di DIY, kekeringan yang terdapat di 25 desa di 3 kabupaten/kota, berdampak pada 132.000 penduduk. Di NTT, kekeringan berdampak pada sekitar 866.000 penduduk di 896 desa di 22 kabupaten/kota.
Adapun di Nusa Tenggara Barat, sebanyak 1.23 juta jiwa penduduk yang terdampak kekeringan berada di 346 desa di 9 kabupaten/kota. Adanya bencana gempa bumi yang beruntun dan merusak di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa menyebabkan dampak kekeringan meningkat.
"Jaringan pipa air bersih rusak sehingga menyebabkan pasokan air bersih berkurang. Masyarakat yang berada di pengungsian jauh dari sumber air yang sebelum terjadi gempa dipenuhi kebutuhan airnya dari PDAM, air sumur, jaringan distribusi air bersih," kata Sutopo.
Saat ini pasokan air di pengungsian mengandalkan pada bantuan distribusi air dari mobil tangki air, bak penampungan air dan sumur bor yang dibangun pemerintah, dan lainnya. Wilayah NTB, sesungguhnya sudah mengalami kekeringan dan krisis air sebelum terjadi bencana gempa bumi. Dengan adanya bencana gempa, maka dampak kekeringan bagi penduduk menjadi lebih meningkat.
Bantuan air bersih
Untuk mengatasi kekeringan di 11 provinsi tersebut, kata Sutopo, dalam jangka pendek dilakukan oleh BPBD dibantu satuan kerja perangkat daerah, dunia usaha, dan relawan dengan mengirimkan air bersih melalui mobil tangki air. Jutaan liter air telah didistribusikan kepada masyarakat.
BPBD Provinsi Jawa Tengah dan 28 BPBD kabupaten/kota di Jawa Tengah, misalnya, telah mendistribusikan air bersih lebih dari 21,4 juta liter air menggunakan mobil tangki air. Begitu juga di Jawa Barat, BPBD mendistribusikan 4,3 juta liter air bersih, dan BPBD di DIY mendistribusikan lebih dari 6,5 juta liter air bersih.
Menghadapi kekeringan dan krisis air di daerah ini BNPB telah menyiapkan dana siap pakai sebesar 50 miliar rupiah. Bantuan bersifat darurat ini meliputi suplai air, pengadaan tandon air, sewa mobil tangki air, pembangunan bak penampung air, pembangunan sumur bor dan upaya lain yang bersifat darurat.
Awal musim hujan
Puncak kekeringan terjadi pada Agustus-September. Awal musim hujan 2018/2019 diprediksi akan terjadi pada Oktober-November-Desember 2018. "Pada setiap wilayah berbeda-berbeda memasuki musim hujan. Sementara itu, puncak musim hujan 2018/2019 terjadi pada Januari-Februari 2019," kata Harry Tirto Djatmiko, Kepala Bagian Humas BNPB.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi awan hujan akan terjadi dalam lima hari ke depan di Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Jabodetabek, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Maluku, dan Papua. (SUCIPTO)