Nasib Perairan Teluk Balikpapan yang Selalu Tercemar Minyak
BALIKPAPAN, KOMPAS - Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur berulang kali tercemar, terutama dalam satu dekade terakhir. Tercemarnya 13.000 hektar perairan teluk gegara tumpahan minyak mentah, akhir Maret lalu, adalah kasus terparah. Tapi ternyata bukan kasus terakhir.
Tumpahan minyak mentah Pertamina karena patahnya pipa bawah laut yang terkena jangkar kapal batubara itu, mencemari 60 km sepanjang pesisir di Teluk Balikpapan. Bakau-bakau primer terpapar, petambak kepiting bakau menjerit, ratusan nelayan pun terimbas.
Masyarakat pun dihadapkan dengan kondisi waswas, termasuk kekhawatiran mengonsumsi ikan-ikan yang ditangkap di perairan teluk. Sungguh tak terbayangkan karena itu semua berawal dari satu jangkar kapal batubara berbendera Panama, yang tidak sengaja melego jangkar.
Belum lama rasa waswas itu mulai menghilang, perairan Teluk Kembali tercemar minyak. Sepanjang Juli lalu, tiga pencemaran minyak, pada 20 Juli, 23 Juli, dan 31 Juli, menimpa pesisir Pantai Melawai, Balikpapan. Ketiganya memang dalam skala kecil, hanya di Melawai.
Melawai-salah satu pesisir pantai di teluk itu-mungkin hanya terpapar setidaknya sepanjang 1,5 km. Dalam hitungan hari, pembersihan minyak sudah kelihatan hasilnya. Masalahnya adalah, hingga awal September atau 1,5 bulan berlalu, pelakunya belum diketahui.
Saat kasus pencemaran skala besar akhir Maret, hanya dalam tiga minggu, dua tersangka ditetapkan, yakni ZD, nahkoda kapal MV Ever Judger, serta IS, karyawan Pertamina. Namun di ketiga kasus pencemaran di Melawai, hingga 1,5 bulan belum ada tanda-tanda terungkap.
Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Wilayah Kalimantan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Subhan, Jumat (7/9/2018) mengakui, belum ada perkembangan penyelidikan. Sampel minyak mentah dari pencemaran di Melawai itu masih diuji di laboratorium.
“Kami belum dapat hasil uji laboratorium oleh KLHK di pusat. Kapan hasilnya keluar, ya enggak tahu. Tetapi semua sampel sudah dikirim. Jadi, kami ya belum bisa menyimpulkan apa-apa, apalagi menduga sumber minyak dari mana dan pelakunya siapa,” kata Subhan.
Sejauh ini, hanya pernyataan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan Suryanto yang memberi sedikit penjelasan. Suryanto sempat menyebut, berat jenis minyak di Melawai berbeda dengan berat jenis minyak mentah dari kilang-kilang Pertamina.
Sebelumnya, sejak hari pertama atau 20 Juli lalu, Pertamina sudah berkali-kali memastikan bahwa ceceran minyak bukan berasal dari fasilitasnya. Dugaan sempat mengarah ke kapal-kapal besar di kawasan Teluk Balikpapan. Empat kapal pun sudah diperiksa.
Namun, hasil pemeriksaan oleh sejumlah instansi itu tidak pernah diungkapkan ke publik. Subhan hanya menyebut, tidak ada yang bisa ditindaklanjuti dari pemeriksaan terhadap keempat kapal besar tersebut. Tidak diungkapkan juga kapal-kapal itu kapal apa saja.
Sementara Suryanto hanya menyebut tiga kejadian pencemaran minyak di Melawai diduga kuat saling berkaitan. Artinya kemungkinan kuat pelakunya sama. Suryanto pun sempat menduga ceceran minyak di Melawai itu mirip oli bekas, dan kemungkinan pelakunya industri kecil.
Berlarutnya penuntasan kasus pencemaran di Melawai, membuat heran para akvitis lingkungan. Fathul Huda, Direktur Jaringan Advokasi Lingkungan (JAL) melihat kasus pencemaran minyak di Melawai memang tidak mendapat porsi perhatian. Sebab skalanya terlalu kecil.
Fathul melihat tidak konsistennya pemerintah daerah menyikapi kasus ini. Saat pencemaran pertama di Melawai, 20 Juli, Pertamina tidak diminta bantuannya membersihkan. Namun ketika tercemar lagi, 23 Juli dan 31 Juli, Pertamina diminta bantuannya membersihkan.
“Saya kira, sebulan mestinya cukup untuk menuntaskan kasus pencemaran minyak di Melawai. Tapi itu kalau serius. Saya malah ragu apakah penyelidikan kasus pencemaran di Melawai ini benar-benar dilakukan, terutama oleh jajaran KLHK,” kata Fathul.
Fathul merasa jika kasus pencemaran di Teluk Balikpapan hanya berskala kecil, perhatian pun akan kurang. Salah satu contoh paling dekat adalah kasus limbah medis pada Oktober 2017, di Pantai Kemala. Kasus ini, sampai sekarang tidak terungkap, alias tidak diketahui pelakunya.
Saat itu, selama empat hari, limbah medis berupa jarum-jarum suntik dan infus bekas, berserakan di Pantai Kemala (atau yang disebut Pantai Polda). Sebagian jarum, terlepas dari tutupnya. Sebagian tabung jarum suntik ini pun masih berisi cairan berwarna kuning, bening, dan juga merah. Bahkan ada wisatawan sempat melihat satu kantong mayat.
Kasus limbah medis tersebut diinvestigasi Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balikpapan. Namun, DLH hanya menyebut dugaan limbah medis ini terbawa dari laut dan terdampar ke Pantai Kemala. Para aktivis lingkungan saat itu mempertanyakan hasil investigasi DLH.
Selama pembersihan, Pantai Kemala yang terletak di belakang RS Bhayangkara ini, tidak ditutup. Pemkot juga tidak melakukan apa-apa terkait itu. Protes sudah disuarakan, baik oleh aktivis lingkungan hingga pemerhati pariwisata. Namun Kemala tetap dibuka untuk publik.
“Kami kaget ketiga Kemala terpapar limbah medis. Tapi lebih kaget ketika tak ada instansi pemerintah dan pusat, yang kaget akan kejadian itu. Sekarang, kami kaget lagi mengapa sepertinya enggak ada pihak yang kaget menyikapi tiga kasus pencemaran di Melawai,” kata Fathul.
Tak hanya manusia yang terpapar, namun juga satwa. Seperti diketahui, Teluk Balikpapan menjadi habitat sejumlah satwa berstatus dilindungi. Awal April lalu, seekor pesut betina dewasa ditemukan terdampar dalam kondisi mati di pesisir Balikpapan.
Sementara, pascakawasan Melawai terpapar minyak, seekor lumba-lumba tanpa sirip (finless porpoise) juga ditemukan terdampar dalam keadaan mati, awal Agustus. Lokasinya di pesisir Penajam Paser Utara. Tidak ditemukan luka di badan mamalia sepanjang 120 cm itu.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim Fathur Roziqin, berharap masyarakat tidak melupakan kasus-kasus pencemaran yang mendera Teluk Balikpapan. “Ada kecenderungan kasus-kasus kecil kurang bergaung,” uhar Roziqin.
Pencemaran minyak seakan tiada berhenti mendera Teluk Balikpapan, setidaknya sejak tahun 2000-an. Banyak pencemaran minyak yang ternyata tidak diketahui sumbernya. Merunut ke belakang, salah satunya adalah pencemaran di pesisir Balikpapan pada Desember 2012, yang juga belum diketahui sumber dan pelakunya.
Kondisi serupa juga terjadi tahun 2004 lalu. Hamsuri, aktivis lingkungan menyebut, ia akan mengumpulkan lagi lebih rinci kasus-kasus tersebut. “Mana yang kasusnya selesai, mana yang belum. Dan ini tidak hanya sebatas kasus pencemaran minyak,” kata Hamsuri.
Terpicu kasus pencemaran minyak skala besar di Teluk Balikpapan akhir Maret lalu, sejumlah aktivis dan LSM lingkungan di Kaltim yang tergabung dalam Koalisi Peduli Tumpahan Minyak Teluk Balikpapan, menegaskan sikapnya untuk bersiap melakukan citizen law suit (hak warga menggugat Negara), awal November nanti.
Langkah itu karena gugatan atau tuntutan yang telah dilayangkan ke enam pihak, awal Agustus lalu, belum direspons hingga awal September ini. Gugatan dialamatkan ke enam pihak, yakni Gubernur Kaltim, Bupati Penajam Paser Utara (PPU), dan Wali Kota Balikpapan.
Tiga pihak lainnya adalah Menteri Perhubungan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), serta Menteri Kelautan dan Perikanan. “Kami hanya ingin keenam pihak ini menjalankan tugas dan wewenangnya,” ujar Fathul, pengacara, yang juga juru bicara koalisi tersebut.
Perairan Teluk Balikpapan, Kaltim, menurut Fathul, akan terus terancam pencemaran minyak. Sebab ada kilang-kilang Pertamina, serta hilir mudik kapal-kapal besar, termasuk tanker, yang tak pernah berhenti. Namun semestinya teluk tetap bisa dijaga dari pencemaran.