Pelaku Industri di Jawa Tengah Mulai Kurangi Produksi
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pelaku industri tekstil dan manufaktur di Jawa Tengah mulai mengurangi produksi hingga 20 persen guna menyiasati pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pengurangan tersebut sebagai dampak dari penurunan impor bahan baku.
Ketua Dewan Daerah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng Frans Kongi, Jumat (7/9/2018), mengatakan, kendati pelemahan nilai rupiah belum terlalu ekstrem, pengusaha mesti menyadari bahwa 70 persen bahan baku mereka mengandalkan impor. Hal ini tentu perlu langkah efisiensi guna mempertahankan usaha.
”Efisiensi yang dilakukan ada tiga, yakni mengurangi bahan baku impor sementara, mengurangi produksi, dan menghemat seluruh sistem produksi di pabrik,” ujar Frans.
Dia mencontohkan, listrik perlu dihemat dan bahan baku yang tersisa harus dimanfaatkan. Adapun mesin-mesin yang terlalu boros energi untuk sementara tidak dioperasikan.
Di Jateng, menurut Frans, ada sejumlah industri yang mesti mengurangi produksi, seperti industri tekstil dan produk tekstil, farmasi, manufaktur, baja, makanan dan minuman, serta beberapa industri lain yang bahan bakunya masih tergantung dari impor.
Pengusaha makanan di Kawasan Industri Semarang, Sukmono, mengemukakan, semua pengusaha sepakat pengurangan produksi dipilih untuk menghindari kerugian lebih besar. Pengurangan produksi jadi pilihan asalkan tidak sampai menyebabkan pengurangan pekerja.
Sambil bertahan, pengusaha berharap, pemerintah bisa terus melakukan langkah terobosan guna mencegah jangan sampai nilai tukar rupiah melebihi Rp 15.500 per dollar AS.
Di Solo, misalnya, menurut Frans, upaya untuk menggenjot produksi bahan baku lokal terus diupayakan. Salah satunya, mempercepat pembangunan pabrik rayon lokal dengan bahan baku bambu untuk keperluan tekstil.
Dalam membantu kalangan industri di Jateng, Gubernur Ganjar Pranowo yakin, pelemahan nilai rupiah dapat disikapi dengan bijak oleh kalangan pengusaha. Mereka juga diajak melakukan langkah efisiensi, yang tujuannya supaya tidak sampai menambah jumlah pengangguran di Jateng.
Dorong ekspor
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jateng juga mendorong agar produk-produk lokal berskala ekspor terus diperbanyak guna mendapatkan keuntungan di pasar global. Produk lokal yang sudah diekspor itu misalnya kopi, hortikultura, serta mebel dan furnitur.
”Produk tekstil punya kesempatan menambah ekspor. Tekstil memang bahan bakunya impor. Namun, hasil produk tekstil seperti pakaian jadi yang ekspor juga harus meningkat. Ini perlu terus didorong,” tutur Ganjar.
Dia memahami, untuk mendorong kian banyak produk lokal yang diekspor, butuh jaringan pasar global. Secara informal, Ganjar sudah meminta ke Kementerian Luar Negeri supaya bisa membantu mencarikan pasar di luar negeri guna memperluas cakupan pemasaran produk lokal unggulan Jateng.
”Tentu hal ini tidak bisa cepat. Namun, sekiranya sudah ada peluang, itu harus segera ditangkap. Pengusaha mebel sudah mulai menuju ke arah sana,” ucap Ganjar.
Pengusaha mebel antik PT Sasana Antik dari Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, Arifin, menyebutkan, dirinya saat ini mulai membuka jaringan pasar di Korea Selatan untuk pemasaran mebel antik. Produk-produk itu antara lain mebel luar ruang seperti kursi taman, mebel pantai, dan mebel kebun.
”Korea Selatan menjadi pasar baru yang potensial mengingat mereka lebih suka mebel antik dari Indonesia ketimbang produk Vietnam,” ujar Arifin.