Menggeliatnya gairah publik terhadap seni sketsa tidak lepas dari peran konektivitas media sosial. Seni sketsa berkembang mengemas dirinya sendiri secara mandiri.
JAKARTA, KOMPAS – Akhir-akhir ini, minat publik terhadap seni sketsa semakin kuat. Bahkan, kini sketsa sering didengar di kalangan non akademis, dikerjakan oleh masyarakat urban yang gemar menggambar sketsa baik secara individual maupun berkelompok.
"Kita sedang melihat seni sketsa yang berkembang mengemas dirinya sendiri sebagai sketsa urban yang berciri hybrid, ia melepaskan diri dari kuasa akademis yang cenderung definitif," kata Beng Rahadian, salah satu kurator Pameran Sketsa “[Re]Kreasi Grafis” yang digelar di Gedung B dan C Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Jumat (6/09/2018).
Sebagian besar penggerak kegiatan-kegiatan seni sketsa memang dilakukan sejumlah lulusan sekolah seni rupa dan arsitektur. Meski demikian, yang perlu dicatat adalah, ide gerakannya tidak muncul dalam wacana formal.
Sketsa-sketsa urban yang belakangan bermunculan tidak lagi mengutamakan fungsi bahwa sketsa merupakan bagian dari sebuah studi atau rencana karya selanjutnya. Dari sisi bentuk, sketsa kini tidak hanya terdiri dari garis spontan yang dilakukan secara singkat tanpa upaya memperindah baik dengan arsir, blok atau warna. Sekarang sketsa urban telah jauh meninggalkan pakem itu dan berkembang menjadi kegiatan yang mengumpulkan semua teknik menggambar dan lebih mengutamakan kesenangan.
Peran Media Sosial
Menurut Beng, media sosial merupakan jalan raya bagi pertumbuhan sketsa urban masa kini seperti halnya saat kemunculan media sosial yang kemudian menumbuhkan aneka macam komunitas pada era tahun 2000-an.
"Semaraknya komunitas sketsa pada saat ini adalah bagian dari perkembangan zaman dan pemikiran," tambahnya.
Saat ini, minat publik untuk membuat sketsa memang berkembang pesat. Begitu Galeri Nasional Indonesia membuka undangan terbuka beberapa bulan lalu secara online, 265 sketchers atau pembuat sketsa langsung mengirimkan 446 karya. Bahkan, meski pendaftaran telah ditutup, Galeri Nasional Indonesia masih menerima banyak kiriman karya.
Dari ratusan karya yang masuk, tim kurator akhirnya memilih 234 karya dari 138 pembuat sketsa. Karya-karya sketsa tersebut kemudian dipamerkan pada 4–16 September 2018 di Gedung B dan C Galeri Nasional Indonesia.
Para pembuat sketsa yang terlibat dalam Pameran Sketsa “[Re]Kreasi Grafis” di Galeri Nasional Indonesia berasal dari sejumlah komunitas di Indonesia, seperti KamiSketsaGalNas, Bogor Sketchers, Cianjur Sketcher, Indonesia’s Sketchers Jogja, Semarang SketchWalk, Urban Sketchers Medan, Urban Sketchers Semarang, Urban Sketchers Blitar, Urban Sketchers Surabaya, Beranda Seni Online, Kolcai Chapter Gorontalo, dan Perupa Gorontalo.
Sementara itu, sebagian peserta lainnya adalah penyeket individual seperti Romo Mudji Sutrisno, Yusuf Susilo Hartono, Toto BS, Tatas Sehono, Bambang Harsono, Daniel Nugraha, Dharr Chedharr, Deskamtoro, Harry Suryo, Iwan Widodo, Nashir Setiawan, Seto Parama Artho, Jevi Alba, Donald Saluling, Duki Noermala, Zamrud Setya Negara, dan lain-lain.
Dalam pameran tersebut ditampilkan pula beberapa sketsa karya maestro, seperti Srihadi Soedarsono, Ipe Ma’aruf, Tedja Suminar, S Sudjojono, Oesman Effendi, Henk Ngantung, Tohny Joesoef, dan X-Ling.
Dalam perkembangan seni rupa Indonesia, sketsa mempunyai peranan yang sangat penting dalam praktik penciptaan karya seni. Pada era pendudukan Jepang, kemerdekaan dan sanggar, sketsa bahkan tak hanya berfungsi sebagai gambar rancang tetapi juga karya seni yang mandiri.
"Berikutnya, sketsa seakan tengelam. Salah satu faktornya adalah penggunaan teknologi elektronik dan digital dalam proses penciptaan karya seni yang seakan telah \'menggantikan\' fungsi sketsa. Namun (fenomena ini) tidak berlangsung lama, praktik sketsa segera menggeliat dengan menemukan spiritnya yang baru," kata Teguh Martono yang juga menjadi kurator.
Sketsa kini hadir kembali dengan nilai yang lebih cair dan terbuka. Sketsa telah menjadi media ekspresi seni rupa yang paling membumi.