Kisah Mahasiswa Difabel UGM Raih Dua Emas Lomba Ilmiah Nasional
Oleh
Haris Firdaus
·4 menit baca
Keterbatasan fisik tak pernah menghalangi Muhammad Fahmi Husaen (21) untuk meraih prestasi. Meski menderita kelumpuhan dan harus memakai kursi roda untuk aktivitas sehari-hari, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu berhasil meraih dua medali emas dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2018 yang digelar beberapa waktu lalu.
Fahmi, yang merupakan mahasiswa Sekolah Vokasi UGM, meraih dua medali emas bersama dua temannya, yakni Danar Aulia Husnan (21) dan Widiyanto (20). Danar dan Widiyanto juga merupakan mahasiswa Sekolah Vokasi UGM, tetapi mereka bukan penderita difabilitas seperti Fahmi.
Dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2018 yang digelar di Yogyakarta pada 28 Agustus-2 September 2018, Fahmi, Danar, dan Widiyanto mengembangkan sepatu khusus untuk mencegah kekakuan pergelangan kaki pada penderita kelumpuhan. Sepatu yang diberi nama Aveo (Achilles Physiotherapy Orthosis) itu berhasil meraih dua medali emas untuk lomba Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Karsa Cipta kategori presentasi dan poster.
PKM Karsa Cipta, yang merupakan salah satu lomba dalam Pimnas, adalah kompetisi di mana para mahasiswa ditantang untuk menghasilkan suatu sistem, desain, atau barang yang bisa memberikan manfaat.
”Kami menciptakan sebuah alat berupa sepatu yang berguna untuk mencegah kekakuan otot dan sendi ankle (pergelangan kaki) pada penderita kelumpuhan,” kata Fahmi, Jumat (7/9/2018), di kKampus UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Fahmi mengatakan, karena berbagai keterbatasan, sebagian penderita kelumpuhan di Indonesia tidak bisa melakukan fisioterapi secara rutin. Akibatnya, para penderita kelumpuhan itu berpotensi mengalami kontraktur atau kekakuan otot dan sendi pergelangan kaki. ”Bagi penderita kelumpuhan, kontraktur akan menimbulkan rasa tidak nyaman. Apalagi, kalau sudah mengalami kontraktur, pemulihannya susah,” ungkapnya.
Fahmi menuturkan, ide penciptaan Sepatu Aveo berawal dari pengalamannya sendiri sebagai seorang penderita kelumpuhan. Fahmi mengalami kelumpuhan karena menderita penyakit Duchenne Muscular Dystrophy (DMD) yang menyebabkan penurunan fungsi otot dan akhirnya mengakibatkan kaki lumpuh.
”Ide awal pembuatan alat ini dari pengalaman pribadi karena saya mengalami penyakit Duchenne Muscular Dystrophy yang mengakibatkan kelumpuhan, salah satunya di bagian kaki. Karena berbagai masalah, saya tidak pernah melakukan fisioterapi sehingga lama-kelamaan otot dan sendi ankle saya menjadi kaku dan susah digerakkan,” ujar Fahmi yang merupakan mahasiswa jurusan Komputer dan Sistem Informasi Sekolah Vokasi UGM angkatan 2016.
Menurut Fahmi, Sepatu Aveo dikembangkan selama lima bulan sejak April 2018 dengan bantuan dana dari pemerintah melalui PKM Karsa Cipta. Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat sepatu itu sekitar Rp 2.500.000. Namun, apabila diproduksi secara massal, biaya produksi sepatu itu bisa diturunkan menjadi Rp 1.500.000 sampai Rp 2.000.000.
”Sepatu ini sudah dievaluasi oleh dokter dan ahli fisioterapi dari Rumah Sakit UGM. Namun, sepatu ini masih perlu dilakukan penyempurnaan agar bisa memenuhi syarat untuk produksi massal,” tutur Fahmi yang tak bisa berjalan kaki sejak kelas IV SD.
Fisioterapi mandiri
Fahmi mengemukakan, Sepatu Aveo bisa menggerakkan pergelangan kaki ke atas dan bawah sebagai bentuk fisioterapi mandiri untuk penderita kelumpuhan. Oleh karena itu, dengan sepatu itu, penderita kelumpuhan bisa melatih pergelangan kakinya sendiri agar tidak mengalami kekakuan otot dan sendi. ”Alat ini membantu penderita kelumpuhan untuk melakukan fisioterapi secara mandiri, tanpa harus memanggil fisioterapis atau dibantu orang lain,” katanya.
Fahmi memaparkan, Sepatu Aveo terhubung melalui koneksi bluetooth dengan aplikasi berbasis Android yang ada di smartphone (telepon cerdas) atau tablet. Dengan aplikasi Android itu, gerakan Sepatu Aveo bisa dikendalikan oleh sang pemakai sendiri. Agar bisa bergerak sendiri, Sepatu Aveo dilengkapi dengan mesin penggerak atau motor serta baterai yang bisa tahan selama sekitar 1 jam 40 menit.
”Prosedur fisioterapi itu, kan, sekitar setengah jam sampai 1 jam. Jadi, sepatu ini sangat mencukupi untuk melakukan fisioterapi,” ujar Fahmi yang tinggal di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Sleman, itu.
Widiyanto mengemukakan, ada dua mode yang bisa dipilih untuk mengendalikan Sepatu Aveo, yakni mode otomatis dan mode manual. Apabila pengguna memilih mode otomatis, Sepatu Aveo secara otomatis akan melakukan gerakan plantar fleksi dan dorso fleksi. Gerakan plantar fleksi adalah gerakan menekuk pergelangan kaki ke arah bawah, sementara gerakan dorso fleksi merupakan gerakan menekuk pergelangan kaki ke atas.
Prestasi lain
Sebelum meraih dua medali emas dalam Pimnas 2018, Fahmi sudah beberapa kali meraih prestasi. Beberapa bulan lalu, misalnya, ia meraih prestasi dalam lomba desain mobil listrik nasional bertajuk Electric Car Design Contest. Dalam kompetisi yang diselenggarakan Musle Car Indonesia itu, desain mobil yang dibuat Fahmi berhasil masuk lima besar.
Fahmi, yang lahir pada 18 Mei 1997, juga pernah meraih prestasi pada Indonesia Information and Communication Technology Award (INAICTA) tahun 2010 dan 2013. Selain itu, Fahmi juga meraih medali perak dalam Olimpiade Sains Nasional Difabel tahun 2015.
Semua prestasi itu menunjukkan, bagi putra pasangan Anik Marwati dan Murtandlo tersebut, masalah fisik sama sekali bukan halangan untuk meraih prestasi yang membanggakan.