Psikologi Kurang Dimanfaatkan dalam Pembangunan Bangsa
Oleh
M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
Psikologi selama ini kurang dimanfaatkan dalam pembangunan di Indonesia. Padahal, ilmu psikologi bisa digunakan untuk membantu mengatasi berbagai persoalan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan jiwa masyarakat.
BANDUNG, KOMPAS—Tujuan akhir dari pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan warga. Namun, hal itu kerap kali diukur berdasarkan kondisi fisik semata, terutama kemajuan ekonomi dan teknologi. Sementara kesehatan jiwa atau kebahagiaan warga terabaikan.
Situasi itu membuat psikologi kurang dimanfaatkan untuk pembuatan kebijakan dan pembangunan. Padahal, psikologi bisa berperan luas, mulai dari peningkatan sumber daya manusia sektor pendidikan, kesehatan, dan industri; penanganan radikalisme dan terorisme; penyusunan kebijakan publik; revolusi mental, hingga penguatan ideologi Pancasila.
”Psikolog profesional perlu lebih menunjukkan karya dan memberi sumbangan (keilmuan) nyata kepada pemerintah dan lembaga guna menyelesaikan masalah,” kata Ketua Umum Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Seger Handoyo pada pembukaan Temu Ilmiah Nasional Kongres XIII Himpsi di Bandung, Jumat (7/9/2018).
Pentingnya psikologi dalam menjawab soal bangsa juga diungkapkan psikolog Universitas Paramadina Jakarta, Abdul Malik Gismar. Kini, masalah kebangsaan yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari politik identitas, hoaks, bias konfirmasi, prasangka, hingga konflik antarkelompok, adalah ranah psikologi. ”Indonesia sesungguhnya adalah proyek psikologis tak pernah selesai. Jadi, psikologi harus terlibat dalam pembangunan bangsa,” ujarnya.
Indonesia sesungguhnya adalah proyek psikologis tak pernah selesai. Jadi, psikologi harus terlibat dalam pembangunan bangsa.
Lebih kritis
Agar bisa terlibat, psikologi di Indonesia harus lebih sensitif pada psikosejarah manusia Indonesia, lengkap dengan kompleksitas sosial, politik, dan budaya Indonesia. Psikologi Indonesia perlu kritis pada teori dan riset psikologi dari luar negeri serta mendorong produksi pengetahuan psikologi berbasis kondisi Indonesia.
Kurangnya pemanfaatan psikologi untuk mendukung pembangunan terjadi karena riset dan pendekatan psikologi berfokus pada soal individu. Padahal, kondisi seseorang tak bisa dilepaskan dari situasi lingkungannya. Sebaliknya, kondisi kejiwaan seseorang menentukan kondisi masyarakat
Untuk itu, riset psikologi ke depan perlu diarahkan untuk mengatasi soal komunitas dan warga. Hal itu sulit dilakukan karena hal terkait masyarakat dianggap ranah ilmu lain.
”Jika pemerintah ingin mendorong banyak wirausaha, usaha rintisan, atau memotivasi warga berprestasi tingkat global, psikologi membantu menciptakannya,” kata Henndy Ginting, Koordinator Panitia Pelaksana Kongres XIII Himpsi.
Upaya mendorong psikologi dalam pembuatan kebijakan itu didukung banyaknya psikolog profesional di Indonesia. Ada lebih dari 160 program sarjana psikologi dan 19 pendidikan profesi psikolog di berbagai perguruan tinggi.
Ditengah terbatasnya pemanfaatan psikologi dalam berbagai pembangunan bangsa, sejumlah psikolog dan pejabat publik berusaha menerapkan ilmu psikologi untuk menjawab sebagian masalah masyarakat di berbagai bidang.
Pendidik, psikolog dan pendiri Sekolah Cikal Najelaa Shihab berusaha memanfaatkan psikologi untuk melawan miskonsepsi dan simplifikasi pendidikan di Indonesia. Di tengah berbagai standar untuk mengukur kualitas seseorang, sistem pendidikan Indonesia sering melupakan diverensiasi manusia yang sangat luas.
Sistem pendidikan Indonesia juga masih bertumpu pada guru sebagai sumber pengetahuan. Padahal, pendidikan seharusnya melahirkan seseorang menjadi pembelajar sepanjang hayat sehingga semua orang bisa jadi guru dan semua orang bisa juga menjadi murid.
Sementara Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat membuka kongres mengakui pembangunan fisik saja tidak cukup. “Batin juga harus diberi asupan,” katanya.
Maka dari itu, saat menjabat Wali Kota Bandung pada lima tahun sebelumnya, ia berusaha membangun kenyamanan dan kebahagiaan warga kota dengan membangun berbagai infrastruktur yang bisa menjadi tempat keluarga beraktivitas dan berinteraksi sosial.
Program itu yang ingin Ridwan terapkan untuk membangun Jabar ke depan. Karena menurutnya, negara yang maju bukanlah negara kaya dengan infrastruktur terbaik, tetapi negara dengan warga yang bahagia.