Depresiasi Rupiah Berhasil Dilewati, Sentimen Positif Pun Muncul Lagi
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar rupiah mendekati Rp 15.000 per dollar AS dalam satu pekan terakhir, terendah dalam tahun ini. Kendati demikian, depresiasi rupiah akibat gejolak perekonomian global berhasil dilewati. Kemampuan bertahan itu dapat memicu sentimen positif pelaku pasar bagi Indonesia.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah akhirnya kembali menguat menjadi Rp 14.884 per dollar AS, Jumat (7/9/2018). Dua hari lalu, rupiah sempat menyentuh Rp 14.927 per dollar AS (Rabu) dan Rp 14.891 per dollar AS (Kamis).
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam, di Jakarta, Minggu (9/9/2018), mengatakan, pekan ini dapat menjadi tantangan terbesar terhadap nilai tukar rupiah selama tahun 2018. Indonesia dipandang berada dalam kelompok yang sama dengan Argentina dan Turki yang nilai tukarnya telah terdepresiasi lebih dari 40 persen.
Kondisi itu membuat para pemilik dana beramai-ramai menarik dana investasi mereka dari emerging countries. Ditambah lagi, dari sisi perekonomian domestik Indonesia, transaksi berjalan defisit 8 miliar dollar AS pada triwulan II-2018 dan neraca perdagangan Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dollar AS.
”Puncak tekanan sudah lewat, sekarang justru kembali menguat,” kata Piter.
Oleh karena itu, Piter memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan terus stabil di kisaran Rp 14.600-Rp 14.800. Adapun rata-rata dalam satu tahun akan berkisar Rp 14.400-Rp 14.500 per dollar AS.
Kemampuan Indonesia untuk melewati tantangan tersebut dapat memunculkan sentimen positif bagi pasar. Selain itu, cadangan devisa juga masih mencukupi per Agustus 2018 (117,9 miliar dollar AS) dan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 mencapai 5,27 persen.
Kepercayaan diri Indonesia ikut meningkat seusai menggelar Asian Games 2018 sehingga iklim investasi semakin positif. Kini, Indonesia juga bersiap menggelar pertemuan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia pada 8-14 Oktober 2018 di Nusa Dua, Bali. Pertemuan itu akan mendatangkan lebih dari 15.000 delegasi tingkat tinggi dari 189 negara yang akan memberikan manfaat di sektor pariwisata.
Secara terpisah, Kepala Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Febrio Kacaribu, di Jakarta, Jumat, mengatakan, kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah turut memberikan sentimen positif di pasar keuangan.
”Kendati tidak diketahui seberapa besar dampaknya terhadap nilai tukar rupiah, kebijakan yang diambil pemerintah dan BI diperlukan untuk memberi sinyal kepada pasar bahwa pemangku kebijakan responsif,” ujarnya.
Pada 1 September 2018, pemerintah menerapkan penggunaan B20 atau bahan bakar mesin diesel dengan 20 persen biodiesel untuk mengurangi impor minyak. Pada 5 September 2018, Menteri Keuangan mengumumkan akan menaikkan tarif pajak impor terhadap 1.147 komoditas.
Kebijakan-kebijakan tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap transaksi berjalan dan neraca perdagangan.
Febrio melanjutkan, pelemahan mata uang tidak bisa dihindari karena merupakan tantangan global. Hal yang dapat dilakukan saat ini adalah menjaga agar pelemahan tidak terlalu bergejolak sehingga pelaku usaha dapat mengalkulasi strategi bisnis dengan tepat.
BI menyebutkan, hingga 31 Agustus 2018, rupiah telah terdepresiasi 7,89 persen. Sementara itu, rand Afrika Selatan tertekan 15,95 persen, real Brasil 20,23 persen, lira Turki 42,27 persen, dan peso Argentina lebih dari 50 persen.
Sebelumnya, seusai konferensi terkait kenaikan tarif impor, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengimbau masyarakat tetap tenang karena struktur perekonomian Indonesia masih solid.
”Pemerintah akan tetap siaga dan terus merespons kalau situasi berubah,” ucapnya. Pelemahan rupiah banyak dipengaruhi oleh faktor sentimen dan psikologis sehingga tidak mudah diprediksi.
Tingkatkan produktivitas
Febrio menyebutkan, pada saat bersamaan, pemerintah juga perlu meningkatkan produktivitas manufaktur dari sektor hulu dan hilir dalam negeri. Tujuannya, agar defisit akibat impor dapat ditekan.
Produktivitas manufaktur dalam negeri turun karena pekerja banyak yang masuk ke sektor informal. Pendapatan mereka pun tidak ikut naik. Kondisi itu membuat sektor manufaktur, yang menjadi andalan Indonesia, terus tumbuh di bawah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, pemerintah juga perlu menggenjot pertumbuhan perusahaan dalam negeri. Semakin banyak perusahaan asing masuk ke Indonesia akan membuat kebutuhan dollar AS ikut tinggi karena investor cenderung membawa kembali keuntungan dan dividen ke negeri asal atau investasi di negara yang memiliki suku bunga yang lebih tinggi.
”Namun, jangan takut dengan investasi. Kita hanya harus waspada dengan risiko yang ada, seperti saat ini di mana investasi portofolio keluar ketika The Fed menaikkan suku bunga acuannya,” ucap Febrio.