Federal dalam Kesatuan
Sabtu (8/9/2018) pagi. Kawasan pintu barat daya Monas, Jakarta Pusat, didatangi ribuan pesepeda. Senyum-senyum merekah di wajah. Tua dan muda, laki-laki serta perempuan. Orang-orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan pekerjaan berkumpul sebelum memulai perjalanan panjang.
Mereka adalah para ”federalis”, pemilik dan pengguna sepeda merek Federal yang diproduksi PT Federal Cycle Mustika tahun 1980-an. Berdasarkan catatan Kompas, sekitar 1996, produksi sepeda tersebut dihentikan menyusul tuduhan praktik dumping dari Masyarakat Ekonomi Eropa.
Hari itu merupakan momen istimewa bagi federalis. Mereka mengadakan dan mengikuti Jambore Nasional (Jamnas) Ke-4 MTB Federal Indonesia pada 8-10 September. Dari Monas, mereka bergerak menuju Bogor.
”Ada masjid yang kami bangun di Bogor, nanti kami mampir di sana,” kata Ketua Panitia Jamnas Ke-4 MTB Federal Indonesia Ikhsan Kurniawan (43).
Masjid yang dimaksud berada di kawasan Cibeuteung Udik, Ciseeng, Bogor, Jawa Barat. Pada akhirnya, peserta akan menuju kawasan perkemahan di Gunung Bunder yang termasuk wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Ikhsan menuturkan, berkemah merupakan salah satu aktivitas paling disukai peserta. Hal itu tampak dari barang bawaan sebagian peserta yang dikemas di dalam tas dan ditaruh di sisi-sisi sepeda. Tak ketinggalan sejumlah matras yang digulung turut pula dibawa serta.
Aktivitas itu dilakukan tidak hanya saat jambore digelar. Pada hari-hari lain, anggota komunitas pencinta Federal, yang menurut Ikhsan jumlahnya berada pada kisaran 15.000 orang itu, juga kerap melakukan kamping.
Untuk kawasan Jabodetabek, sejumlah kawasan perkemahan di Sukamantri, Gunung Bunder, dan Gunung Pancar di Bogor kerap kali menjadi tujuan. Dari 15.000 anggota komunitas itu, lanjut Ikhsan, sekitar 10.000 orang memiliki sepeda Federal.
”(Jumlah) yang aktif sekitar 1.500 (anggota),” ujar Ikhsan.
Adapun komunitas pencinta Federal pertama kali dimulai di Yogyakarta. Berdasarkan catatan Kompas, hal itu dicetuskan Bagas Triaji pada 16 Januari 2009 di Yogyakarta.
Dari Yogyakarta, kata Ikhsan, menyebar ke Bandung, lalu Jakarta. Ia menambahkan, perekrutan anggota di Jakarta berjalan secara informal. Jika ada seseorang diketahui menggunakan sepeda Federal, ujarnya, langsung diajak serta bergabung.
Hari itu, 1.170 peserta turut dalam jambore ke-4. Mereka antara lain berasal dari Jabodetabek, Bandung, Majalengka, dan Batam.
Peserta meningkat
Jumlah peserta pun terus meningkat setiap kali jambore diadakan dalam rentang dua tahun sekali. Tahun 2012, pada jambore perdana di Yogyakarta, Ikhsan mengatakan, ada 200 peserta yang ikut. Jambore ke-2 di Bandung diikuti sekitar 300 peserta. Pada jambore ke-3 di Kediri, Jawa Timur, sekitar 800 orang datang.
Pasangan suami istri Prianggi Raharja (25) dan Kurnia Rusmiati (28) adalah sebagian di antara peserta yang Minggu pagi itu tampak bersiap-siap. Mereka datang dari Depok. Pagi itu, seorang adik Kurnia bernama Dede Meli Lutfiani (23) juga iikut.
”Kami daftar udah dari jauh-jauh hari,” kata Kurnia semringah.
Sehari-hari, Prianggi bekerja pada salah satu perusahaan properti di Depok dan juga tinggal di wilayah tersebut. Sementara Kurnia dan Dede berdomisili di Majalengka. Sekali dalam sepekan, Prianggi kembali ke Majalengka, atau terkadang berlaku sebaliknya.
Pada Lebaran tahun ini, Prianggi menggunakan sepeda Federal tatkala menuju Majalengka dari kediamannya di Depok. ”Dua puluh delapan jam,” ujarnya terkekeh mengenai waktu tempuh yang dibutuhkannya.
Sepeda Federal besutannya diperoleh dari seseorang di Depok. Sementara Kurnia dan Dede mendapatkan sepeda mereka di Indramayu. Sejumlah anggota komunitas lokal turut membantu mereka mendapatkan sepeda-sepeda Federal itu dari tangan pemilik sebelumnya.
Tentu saja ketika ditemukan kondisinya tidak selengkap saat dipergunakan kini. Mereka melengkapinya dan mengeluarkan biaya yang tidak bisa dibilang kecil. Rata-rata Rp 2 juta dihabiskan untuk mendandani sebuah sepeda sebelum laik jalan.
Ikhsan mengatakan, kisah mendapatkan sepeda Federal senantiasa jadi topik menarik untuk dibahas. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sepeda gunung kebanggaan Indonesia itu sudah tak lagi diproduksi.
Kisah mendapatkan sepeda Federal senantiasa jadi topik menarik untuk dibahas. Hal ini bisa dimaklumi mengingat sepeda gunung kebanggaan Indonesia itu sudah tak lagi diproduksi.
Pada masa jayanya, produsen sepeda yang menginduk pada perusahaan otomotif Astra itu fokus pada jenis sepeda gunung (MTB). Sebagian kecil produksi diarahkan pada jenis citybike dan roadbike atau sejenis sepeda balap. Dari kacamata anggota komunitas, ujar Ikhsan, mereka menandai jenis-jenis sepeda Federal ke dalam seri touring, seri balap, dan seri gunung.
Menurut Ikhsan, cerita-cerita mengenai ”penyelamatan” kerangka sepeda itu dari tempat rongsokan, beroleh dari warisan, dihibahkan oleh saudara, dan sebagainya terus menjadi kisah menarik untuk dikupas. Belum lagi tipe-tipe tertentu sepeda tersebut berikut sejumlah kekhususannya. Ini masih ditambah sejumlah detail terkait kualitas cat dan pengelasan sepeda besi Federal yang memang relatif spesial.
”Kalau saya, dapat (sepeda Federal) di (pengumpul barang) rongsokan dan beli online,” ujar Ikhsan.
Menurut dia, saat ini harga kerangka sepeda Federal berada pada kisaran Rp 500.000 hingga Rp 700.000. Kerangka itu mesti dilengkapi dengan sejumlah peralatan, termasuk ban, dengan biaya tambahan hingga Rp 3 juta.
Pencinta sepeda
Jambore tersebut rupanya tidak eksklusif bagi pengguna sepeda Federal. Sebagian kecil pencinta sepeda yang menggunakan merek lain juga turut.
Salah seorang di antaranya adalah Dadang Mardiyanto (74). Ia menggowes dari Bandung menuju rumah anaknya di Bekasi, Jawa Barat, sebelum akhirnya pagi itu memulai perjalanan ke Bogor dari Monas. Dadang yang beken dengan sebutan ”Pak Guru”—karena pernah bekerja sebagai guru SMP sebelum pensiun pada 2005—berangkat Rabu (5/9/2018) pukul 07.00 WIB dan tiba pada hari yang sama sekitar pukul 19.00.
Dadang mengayuh sepedanya bersama dua rekan, Tulus dan Alan, yang berusia di kisaran 50 tahun. Dari Bandung, mereka menyusuri Purwakarta, Karawang, Cikarang, sebelum tiba di Bekasi.
Dadang juga punya sepeda Federal. Ia membelinya dalam kondisi baru pada 1986. Akan tetapi, ia kemudian mencoba merek sepeda lain dan kini lebih memilih menggunakan sepeda lainnya itu.
”Ini nyaman, ke mana-mana pakai ini karena udah cocok,” kata Dadang sembari mengelus-elus sepedanya yang sejumlah bagiannya dipenuhi tempelan stiker.
Sebagai pencinta sepeda, nyaris setiap pekan Dadang melakukan touring. Hampir seluruh bagian Pulau Jawa telah dia jelajahi. Bagi Dadang, yang terbiasa melahap rute hingga 150 kilometer dalam sehari, perjalanan Minggu itu relatif tidak berat.
”Ya, nikmati aja, nikmati,” ujar Dadang.