Kostum atau busana dalam film berperan penting dalam pembuatan film, bahu-membahu dengan lagu tema, sinematografi, naskah, dan penyutradaraan. Kostum turut membentuk suasana serta ikut menyampaikan cerita. Bersama dengan elemen lain, antara lain ”setting”, dekorasi, tata cahaya, dan tata rias, kostum membentuk ”cerita” visual yang ingin disampaikan.
Gaun kuning dengan bagian bawah yang lebar berkibar-kibar ketika Mia (Emma Stone) menari mungkin masih terekam dengan baik di ingatan. Baju-baju yang dikenakan oleh Emma Stone dalam film La La Land begitu mencuri perhatian sehingga dalam waktu singkat muncul seri La La Land Dress di toko-toko baju daring (online). Gaya Mia yang retro sekaligus segar mengembalikan nostalgia akan gaya glamor Hollywood. Klasik, tetapi simpel.
Sang penata busana, Mary Zophres, terinspirasi artis-artis legendaris, seperti Julie Christie, Ingrid Bergman, Grace Kelly, dan Katherine Hepburn, dalam merancang baju-baju Mia. Khusus untuk baju kuning ikonik yang terpampang dalam poster film, Mary juga terinspirasi oleh lukisan Henry Matisse dan baju yang dikenakan Stone saat menghadiri premiere film The Amazing Spider-Man 2.
Begitulah pengaruh baju-baju dalam film yang bisa sangat mencuri hati penontonnya. Di dalam negeri, penonton mungkin masih ingat dengan baju yang dikenakan tokoh Cinta (Dian Sastrowardoyo) dalam film Ada Apa dengan Cinta 2. Baju dengan dasar merah dan motif unik di bagian bahu mencuri perhatian ketika gambar potongan adegan Cinta dan Rangga tengah duduk berhadapan di kafe berseliweran di dunia maya sebelum film diputar di bioskop. Sebagian bahkan berubah menjadi meme. Baru ketika film resmi ditayangkan, diketahui bahwa baju itu berupa kaus merah polos tanpa lengan dengan syal tersampir di kedua bahu.
Syal itu sebenarnya syal batik dengan motif ayam jago dan bunga yang terinspirasi dari mangkok mi ayam. Sang penata busana, Chitra Subyakto, kebetulan juga memiliki label mode Sejauh Mata Memandang. Chitra memang senang menyantap mi ayam. Selain itu, ayam adalah hewan yang dikenal di banyak tempat dan memiliki filosofi harapan baru. Jadilah motif ini ia eksplorasi.
”Saat itu ’Sejauh’ memang sedang bikin motif ayam, tetapi warnanya biru. Khusus untuk film ini saya bikin desain khusus yang warnanya ceria dan ringan supaya enggak terlalu ’teriak’,” ungkap Chitra.
Syal dipilih untuk dikenakan Cinta ketimbang jaket karena dirasa lebih masuk akal. Dikisahkan, Cinta bepergian dari pagi hingga pagi lagi di luar rencana. Begitulah, pemilihan baju yang akan dikenakan disesuaikan dengan karakter tokoh dan jalan cerita. Selain itu, prinsip ”memanjakan mata penonton” juga tetap harus dipegang.
”Sebelum memilih baju tertentu, kita harus ngobrol dulu dengan art director karena baju ini jadi satu kesatuan dengan film. Misal, harus tahu karakter ini kerja apa dan pendapatan berapa sehingga kita tahu jenis baju apa yang dia beli dengan background itu. Masih dicocokkan lagi misal dengan kamarnya, kalau naik mobil dengan warna joknya. Belum lagi disesuaikan dengan bentuk tubuh dan warna kulit pemakainya,” ungkap Chitra.
Menata busana dalam film Laskar Pelangi menjadi tantangan terbesar Chitra sejauh ini karena baju harus terlihat sudah lama dipakai. Baju juga sebagian dijahit tangan mengingat latar cerita para karakter yang hidup sederhana di pulau kecil.
Sebaliknya, film Pendekar Tongkat Emas memberi kesempatan Chitra leluasa berimajinasi karena latar cerita yang ”antah berantah”. Meski begitu, Chitra tetap melakukan riset mencari inspirasi baju-baju Indonesia. Ia melihat foto-foto lama dan mengamati model berpakaian orang Indonesia dari masa ke masa.
Kebaya panjang, kebaya pendek, beskap, dan lain-lain menjadi salah satu referensinya. Kain tradisional, seperti lurik dan tenun sumba, menjadi salah satu material yang dipakai. ”Dari semua itu kemudian diolah agar sesuai dan nyaman dipakai untuk bertarung,” kata Chitra.
Serupa, kostum dalam film Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 juga didasarkan pada keinginan menghadirkan visual khas Indonesia. Khusus untuk kostum yang dikenakan oleh tokoh Bidadari Angin Timur (Marsha Timothy) dirancang oleh desainer mode Tex Saverio yang rancangannya juga pernah dikenakan tokoh Katniss (Jennifer Lawrence) dalam film The Hunger Games: Catching Fire. kostum Bidadari yang dikenakan Marsha siluetnya seperti gaun terusan panjang yang bagian dalamnya dikonstruksi sedemikian rupa untuk keperluan adegan terbang dan berkelahi.
Gaun dengan berat 10 kilogram dan panjang buntut 1,5 meter ini berbahan dasar sifon dan tule. Gaun menjadi berat karena taburan batu-batuan dan payet di sekujur kostum.
”Secara teknis merancang baju untuk film itu beda sekali dengan baju untuk runway karena di film dipakai untuk fungsi lebih dari sekadar berjalan dan aktivitas normal lainnya. Di situlah tantangannya, meramu kepentingan desain, fungsi, dan estetika,” ujar Tex.
Ia merasa terbantu karena sejak kecil menggemari cerita Wiro Sableng. Tex menerjemahkan karakter Bidadari Angin Timur sebagai sosok perempuan dengan kepribadian tegas dan berpendirian kuat. ”Salah satu bagian yang menantang adalah ketika Bidadari Angin Timur harus turun dari ketinggian tebing dengan gaun yang detailnya seperti itu, tetapi harus tetap terlihat seringan mungkin karena konsep angin dari karakter Bidadari Angin Timur,” ungkap Tex.
Kostum film bukan saja harus ”indah”, melainkan juga mengisahkan sebuah cerita. Fungsinya bersama-sama dengan aksesori yang dikenakan untuk memperkuat atau memperkaya karakter suatu tokoh.
Michael Kaplan, costume designer yang dikenal sukses dengan kreasinya, antara lain, lewat film Blade Runner, Flashdance, hingga Star Trek, Star Wars: The Force Awakens, dan Star Wars: The Last Jedi selalu memulai prosesnya dengan mempelajari naskah dan memahami visi sutradara. Kaplan dan tim butuh 1,5 tahun untuk mendesain kostum The Force Awakens dan setahun untuk The Last Jedi.
”Merancang kostum film bukan sekadar menghasilkan kostum yang hebat. Harus dipastikan juga dengan kostum itu tokoh bisa bergerak dan melakukan semua adegannya dengan leluasa,” kata Kaplan.