JAKARTA, KOMPAS — Museum Tekstil Jakarta menggelar diskusi dan nonton bareng film dokumenter Tapis: Dandan Sai Tutugan karya Sutradara Wisnu Wijaya, Minggu (9/9/2018). Acara itu sekaligus menandai ditutupnya rangkaian pameran Asian Textiles Exhibition yang digelar selama 1 bulan.
Kepala Pengelola Unit Museum Tekstil Esti Utami menyatakan, pemutaran film dokumenter itu ditujukan guna membangkitkan kesadaran masyarakat mendokumentasikan warisan wastra Indonesia. Jenis wastra yang sangat beragam di Indonesia perlu didokumentasikan dengan baik demi menjaga kelestariannya.
Dokumentasi wastra atau kain tradisional masih sangat minim di Indonesia. Akibatnya, generasi muda perlahan mulai melupakan cara pembuatan wastra dan makna filosofis di balik pola-pola kain tradisional itu.
Kain tapis merupakan kain tradisional Lampung yang dibuat khusus untuk dikenakan kaum wanita menjelang pesta pernikahan. ”Dulu, harkat dan martabat wanita Lampung dinilai dari keterampilannya menenun kain tapis,” kata sutradara Wisnu Wijaya.
Menurut Wisnu, saat ini sudah sangat sulit menemukan penenun tradisional kain tapis. Banyak penenun tradisional yang gulung tikar karena kalah bersaing dengan kain pembuat kain tapis yang di Jawa yang mengandalkan alat tenun bukan mesin.
Hal itu berawal ketika para pendatang dari Jawa bertransmigrasi ke Lampung. Para pendatang itu lalu mempelajari pembuatan kain tapis sebelum akhirnya kembali lagi ke Jawa dan mengembangkan usahanya dengan alat yang lebih modern.
Para penenun kain tapis tradisional yang mengandalkan alat gedogan akhirnya banyak yang kain tapisnya tidak laku karena kain tapis dari Jawa lebih murah. Fenomena itu yang memotivasi Wisnu membuat film dokumenter tentang salah satu penenun gedogan terakhir di Lampung.
Setelah beberapa waktu berkutat mencari penenun gedogan yang tersisa, Wisnu berhasil menemukan Mastoh, penenun kain tapis, di Kotabumi, Lampung Utara. Melalui sosok wanita berusia 60 tahun itu, Wisnu bercerita tentang sejarah dan makna kain tapis bagi orang Lampung.
Kain tapis yang dipakai mempelai wanita melambangkan ikatan erat janji perkawinan di antara dua mempelai yang disatukan saat hari pernikahan. Oleh karena itu, beberapa pola khusus kain tapis tidak boleh digunakan pada sembarang momen karena kesakralannya sangat dijunjung masyarakat Lampung.
Melalui karya itu, Wisnu menawarkan sudut pandang unik fenomena punahnya penenun tradisional kain tapis. Pandangannya melampaui perdebatan tentang mana yang lebih baik antara bertahan pada cara tradisional gedogan dan beralih memakai ATBM.
Lebih dari itu, Wisnu ingin mengembalikan konteks dan makna kain tapis pada tempatnya semula yang sakral bagi masyarakat Lampung. Melalui film dokumenter berdurasi 30 menit itu, ia mengajak penonton untuk menggali inspirasi dari sosok Mastoh yang teguh melestarikan warisan budaya kain tapis.
”Saya tidak memaksa penonton memilih mana solusi yang paling baik mengatasi masalah ini. Saya hanya ingin memantik kepedulian dan kecintaan masyarakat pada warisan luhur yang diturunkan penenun gedogan yang masih bertahan,” ujar Wisnu. (PANDU WIYOGA)