Menari Itu Meditasi
Menari tak sekadar bergerak. Bagi Nyoman Trianawati (47), menari adalah meditasi. Ada waktu yang berhenti, tetapi tubuh memasuki relung abad klasik. Tersajilah tarian-tarian kuno, yang kini nyaris tak ditarikan lagi.
Laku Triana melestarikan tarian-tarian Bali klasik itu, ia jalani bukan sebagai beban, melainkan menjadi proses kontemplatif dan meditatif.
”Menari itu kecintaan. Kalau kita nari waktu berhenti. Siapa yang di depan kita enggak tahu. Saya selalu berdoa sebelum menari. Saya menari untuk Tuhan atas talenta yang sudah diberi kepada saya,” kata penari, koreografer, dan pelukis yang akrab disapa Nana ini.
Apalagi tari-tarian yang ditarikan Nana memang kebanyakan tarian pemujaan kepada Tuhan. Tari seperti Rejang dan Baris Gede, misalnya, memiliki batasan khusus dan tak bisa sembarangan ditarikan. Selain meditatif, menari pun harus dilakukan dengan totalitas jiwa raga.
Tak hanya bergerak dan tersenyum, setiap penari harus menjiwai tarian yang dibawakan. Ditemui di lantai dua rumahnya yang berfungsi sebagai Bengkel Tari AyuBulan di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Kamis (30/8/2018), Nana masih bermandikan peluh setelah mengajar tari bali. Ketika mengajar, ia selalu mengawalinya dengan bercerita tentang makna sebuah tarian sehingga ekspresi di balik tari bisa dimunculkan.
Ketika mengajar tari Legong Abimanyu, misalnya, ada bagian- bagian yang ekspresi wajahnya diubah menjadi kelaki-lakian karena mendeskripsikan karakter seorang pria.
Berbeda lagi dengan Legong Jobog yang menggambarkan seekor kera nan lincah lalu terlihat galak kalau marah. ”Selain bergerak, akting juga. Itu yang membuat ketagihan,” kata Nana.
Tergabung dalam wadah Komunitas Bengkel Tari AyuBulan yang didirikan pakar legong Ayu Bulantrisna Djelantik, Nana pun turut konsisten dalam pelestarian tarian bali, termasuk legong. Legong merupakan tari bali dengan level kesulitan tertinggi, dengan tampilan sangat menarik, dinamis, dan memiliki pakem yang lugas.
Setiap tahun, Bengkel Tari AyuBulan rutin menggelar pertunjukan untuk tari-tari legong lama yang sudah jarang ditarikan. Selain itu, pengembangan tari legong dengan kreasi baru juga terus dilakukan berpedoman dengan tari legong yang sudah ada. Ketika mengembangkan tari-tarian baru inilah, Nana punya peran penting sebagai koreografer.
Proses panjang
Selain menari dan mengajar, Nana memang menjadi asisten koreografer tari bagi Bengkel Tari AyuBulan. Saat ini, ia sedang sibuk mempersiapkan latihan untuk pertunjukan”Kisah Penyihir Putih (Tale of the White Witch)” di Galeri Indonesia Kaya pada 23 September mendatang. Sejak tiga bulan sebelum pertunjukan, Nana sudah sibuk mempersiapkan koreografi untuk tarian di pertunjukan ini.
Biasanya, proses panjang merancang struktur ataupun alur tari dimulai pada malam hingga dini hari di kamar tidurnya. Ketika suami dan anaknya terlelap, Nana berkutat mencari musik yang tepat.
Ia lantas menciptakan gerakan-gerakan berdasarkan setiap alunan musik dan gamelan bali. Suasana hutan dalam sebuah tarian, misalnya, haruslah tenang dan sakral. ”Proses sebelum berlatihnya panjang,” katanya.
Selain untuk Bengkel Tari AyuBulan, koreografi tarinya pernah dipakai untuk pertunjukan kelompok paduan suara The Resonanz Children’s Choir. Ketika memenangi Grand Final European Grand Prix (EGP) for Choral Singing di Maribor, Slovenia, pada April lalu, 44 penyanyi anak-anak berusia 10-17 tahun, antara lain membawakan lagu tradisional bali ”Janger” sembari menarikan tarian yang dirancang Nana.
Setiap pengajar di Bengkel Tari AyuBulan yang merupakan murid dari Bulantrisna memang dipersiapkan untuk mengembangkan talenta masing-masing, selain mengajar tari. Ada yang memiliki talenta di tata panggung atau penerjemahan bahasa. ”Saya kebetulan cepat dengar musik,” kata Nana.
Rasa yang dirasakan ketika menciptakan gerak tari ternyata sama persis seperti rasa pada saat melukis. Proses antara melukis dan mengoreografi tari pun ternyata sama. Itulah kenapa hingga kini hobi melukis serta menari tetap ia jalani. Keduanya memberikan ruang bagi Nana untuk masuk dalam meditasi.
Cinta seni
Karena hobi melukis ini pula, perwajahan Bengkel Tari AyuBulan di rumah Nana berbeda dengan Bengkel Tari AyuBulan yang ada di tempat lain. Selain dirancang khusus untuk menari dengan lantai kayu dan dinding cermin, peralatan melukis mulai dari kanvas hingga kuas tampak tergeletak di sudut ruangan.
Ketika murid-murid tarinya sudah pulang, Nana berkutat dengan aneka lukisan yang seluruhnya juga bernuansa Bali. Lukisan-lukisan itu menggambarkan seorang perempuan penari Bali, anak-anak di perdesaan Bali, dan pemandangan alamnya. Lukisannya bertajuk ”From Taboos to Traditional Tolerance” turut dipamerkan di Erasmus Huis pada Maret lalu.
Kecintaan pada seni sebenarnya sudah dipupuk sejak kecil. Keinginan kuliah seni rupa pupus karena sang ayah yang bekerja di kejaksaan tak menginginkan anak-anaknya berkutat di dunia seni.
Lulus sarjana ekonomi, Nana tak betah bekerja di dunia perbankan. Ketika bank tutup karena proses likuidasi, ia mendapat kesempatan bekerja di bisnis penerbitan buku yang membawanya kembali berkenalan dengan seniman ilustrator buku cerita anak.
Dari perkenalan dengan para seniman, Nana pun kembali belajar melukis dan mulai terlibat dalam berbagai pameran lukis sejak 2000.
Beruntung, orangtuanya ternyata tak melarangnya menari sejak kecil. Menghidupi seni tari, Nana sudah mengajar tari di garasi rumahnya di Bandung sejak masih kuliah. Pada 1993, ia kemudian bergabung dengan Bengkel Tari AyuBulan. ”Nari enggak pernah berhenti. Saya ingin budaya ini tetap ada. Dan ketika saya ngajar, semakin banyak yang cinta dengan tari. Hidup kita menjadi berarti,” katanya.
Karena kecintaannya itu pula, Nana tetap terus menari di mana pun, bahkan ketika dibayar kecil. Pernah dalam sehari, ia menari dengan bayaran tinggi untuk sebuah tari yang dibuat baru di depan ibu-ibu pejabat.
Ia rasakan tak satu pun di antara para ibu pejabat itu memperhatikan tariannya karena mereka sibuk ngobrol. Pada hari yang sama, ia menari dengan bayaran biasa saja di depan orang-orang asing di Jakarta, tetapi ia justru mendapatkan apresiasi sangat tinggi.
Sejak kuliah, ciri khas tarian populer yang biasa ditampilkannya adalah tari Oleg Tambulilingan. Tarian ini tarian berpasangan yang biasanya ditampilkan oleh para gadis remaja.
Tari ini kemudian membentuk pribadi Nana yang welas asih, sensitif terhadap lingkungan sosialnya.
”Pokoknya idealis, ingin melestarikan budaya Indonesia terus-menerus...,” katanya menutup percakapan.
Nyoman Trianawati
Pendidikan:
- S-1 Jurusan Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
- Kursus Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta (2000-2003)
Profesi:
- Pelukis (2000-sekarang)
- Penari dan Pengajar Tari Bali (1990-sekarang)
- Koordinator dan Koreografer untuk Bengkel Tari AyuBulan
Koreografi Tari (antara lain):
- 2011: Koreografer Sagarika, kolaborasi drama tari bali dan Indian Kathak Dance untuk Indian Embassy
- 2017: Koreografer Legog Jobog di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
- 2018: Koreografer Janger untuk The Resonanz Children’s Choir di The European Grand Prix in Choral Singing (EGP) Maribor, Slovania
Pertunjukan Tari (antara lain):
- 2006-2013: Bedaya Legong Calonarang di Jakarta-Singapura-Solo-Bali
- 2007: Legong Mintaraga, Festival Legong-A tribute to Sang Guru-Peliatan Ubud, Bali.
- 2011: Sagarika, kolaborasi drama tari Bali dan Indian Kathak Dance untuk Kedutaan Besar India
- 2014: Kemilau Legong-Palegongan Smarandana, Ulang Tahun Bengkel Tari AyuBulan, Goethe Institute, Jakarta
- 2016: Legong Mintaraga, Delhi International Art Festival (DIAF)-India
Pameran Lukisan (antara lain):
- ”Mother and Child-for WHO” Group Art Exhibition, 2005, Crowne Hotel, Jakarta.
- ”Calonarang” Solo Art Exhibition, April 2005, GBB-TIM, Jakarta
- ”Identity” Solo Art Exhibition, July 2008, Koi Mahakam Gallery, Jakarta
- ”From Taboos to Traditional Tolerance” Group Art Exhibition, March 2018, Indonesia Heritage Society, Erasmus Huis-Jakarta