Di tengah hutan rimbun, ketika suara jangkrik dan burung bersahutan, seonggok batu berdiri dalam sunyi. Batu itu setinggi lebih kurang 4 meter dengan diameter 60-80 sentimeter, berwarna kuning suram, penuh dengan ukiran di sekujur tubuhnya.
Ukiran-ukiran itu menggambarkan peninggalan batu yang menghadap barat daya atau secara garis lurus langsung ke Gunung Dempo. Batu tersebut bukan batu biasa. Ia adalah menhir yang menjadi salah satu tinggalan megalitikum Besemah paling berharga dan unik. Basemah merupakan suku pegunungan Sumatera Selatan, khususnya di kawasan Lahat, Pagaralam, Empat Lawang, dan Muara Enim.
Menhir ini berada di Situs Megalitikum Tinggi Hari 1, Kecamatan Gumay Ulu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Ukiran dan bentuk menhir itu menjadikannya spesial dibanding semua tinggalan megalikutum Besemah. Ukiran/reliefnya terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama atau bagian atas berupa pahatan manusia dalam posisi jongkok. Manusia itu berjongkok pada pundak (bahu) manusia lain yang diperkirakan budak.
Bagian kedua atau bagian tengah berupa pahatan reptil (buaya, tokek, ataupun cicak) yang menghadap ke arah dua tokoh manusia tersebut. ”Pahatan manusia paling atas diduga orang berpengaruh di masyarakat pendukungnya, sedangkan reptil melambangkan keberanian pemimpin,” ujar Indra Dahari, juru pelihara Situs Megalitikum Tinggi Hari 1, beberapa waktu lalu.
Bentuk menhir yang tinggi, ramping, dan penuh ukiran itu sekilas mirip obelisk Mesir kuno. ”Seperti tinggalan megalitikum Besemah lain, usia menhir ini 3.000-4.000 tahun. Dahulu, menhir ini digunakan sebagai perantara berdoa masyarakat pendukungnya kepada roh nenek moyang,” kata Indra.
Situs Megalitikum Tinggi Hari terdiri dari tiga, yakni Tinggi Hari 1, 2, dan 3. Jarak antara satu situs ke situs lain berkisar 1-2 kilometer. Kawasan Tinggi Hari adalah daerah perbukitan dengan ketinggian lebih kurang 500 meter dari permukaan laut.
Selain menhir, ada pula arca manusia Patung Imam di Situs Tinggi Hari 3. Patung itu berbentuk manusia yang mengesankan berpakaian perang, antara lain dengan pelindung kepala, baju zirah, serta sejumlah aksesori perhiasan, seperti kalung serta pelindung lengan dan kaki.
Rute perjalanan
Jika berangkat dari Palembang, kita harus menempuh perjalanan darat sejauh kira-kira 250 kilometer atau lebih kurang 6-7 jam ke arah barat daya menuju Lahat. Sesampai di kota bermoto ”Seganti Setungguan” itu, kita harus melanjutkan perjalanan darat 10-20 kilometer atau sekitar satu jam ke arah barat daya menuju Tinggi Hari.
Sebagai alternatif lain, kita bisa naik pesawat dari Palembang ke Bandara Atung Bungsu, Pagaralam, dengan waktu penerbangan 40-45 menit. Dari Bandara Atung Bungsu, kita harus melanjutkan perjalanan darat sekitar 40 km atau lebih kurang satu jam ke arah timur laut menuju Tinggi Hari.
Perjalanan dari pusat Kota Lahat ataupun dari Bandara Atung Bungsu ke Tinggi Hari itu dijamin tak membosankan. Kita akan melewati sejumlah kampung dengan rumah-rumah panggung tradisional khas pedalaman Sumatera Selatan.
Kita juga akan merasakan perjalanan berkelok-kelok dan naik-turun melintasi perbukitan. Hiruplah udara segar di kawasan Bukit Barisan itu. Udara beraroma dedaunan dari pepohonan rindang di sepanjang jalan akan memberi nuansa tenang dan damai. Mata juga termanjakan oleh pemandangan aliran Sungai Lematang yang mengalir di antara lembah Bukit Barisan.
Akan tetapi, semuanya berubah sunyi dan khidmat tatkala memasuki situs megalitikum di Tinggi Hari. Auranya seperti saat memasuki kompleks pemakaman, mulut tiba-tiba tak berani banyak berkata-kata.
Kebudayaan lokal
Situs Megalitikum Tinggi Hari merupakan salah satu dari sekitar 20 situs yang sudah dikelola pemerintah. Banyak situs lain masih terbengkalai di tengah sawah, kebun, hutan, dan di kawasan permukiman masyarakat. Secara keseluruhan, tinggalan megalitikum Besemah pertama kali diteliti arkeolog Belanda, Van der Hoop, di awal 1930-an. Sebelumnya, batu-batu besar itu diduga peninggalan kerajaan Hindu/Budha.
Selain sebagai benda sejarah yang sarat ilmu pengetahuan, batu-batu besar berukir itu pun lekat dengan kebudayaan masyarakat pendukungnya hingga sekarang. Paling tidak, tinggalan-tinggalan itu sejak lama lekat dengan legenda Si Pahit Lidah yang berkembang di Besemah.
Si Pahit Lidah adalah julukan pangeran di Kerajaan Besemah yang bernama Serunting Sakti. Konon, ia memiliki sejumlah kemampuan, antara lain mengutuk benda mati dan makhluk hidup menjadi batu. Dalam cerita tutur dari generasi ke generasi, Si Pahit Lidah selalu mengutuk makhluk hidup, manusia ataupun hewan, yang menyakiti hatinya menjadi batu.
Legenda tutur itu yang membentuk kepribadian dan kebiasaan masyarakat setempat. Sampai sekarang, masyarakat Besemah sangat pantang berbicara tidak sopan kepada orang-orang sekitar dan berbicara sembarangan ketika berada di tempat terbuka sekalipun tak ada orang, seperti di hutan.
Pesan yang turun lewat cerita rakyat itu ibarat pesan sunyi para leluhur untuk tetap menghormati tinggalan bersejarah. Inilah jejak masa lalu yang menjadi fondasi kehidupan manusia di masa kini....