JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi membuat kegiatan investasi menjadi mudah dan praktis. Beragam bentuk investasi pun ditawarkan, khususnya bagi kaum milenial, untuk berinvestasi sesuai dengan dana yang dimiliki.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, model investasi crowdfunding semakin diminati, apalagi dengan tawaran keuntungan yang cukup besar.
”Ada beberapa model pendanaan investasi yang return per tahun sampai 20 persen, itu jauh melebihi bunga deposito ataupun rata-rata keuntungan saham. Tapi, yang terpenting adalah pengelolaan risiko dana kelolaanya,” ujar Bhima, Sabtu (8/9/2018).
Model investasi crowfunding adalah pendanaan usaha patungan dengan cara memberikan pinjaman usaha. Adapun platform digital menawarkan investasi di bidang peternakan ataupun pertanian.
Untuk menjamin keamanan investasinya, sebaiknya calon investor harus memastikan, apakah model investasi itu telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau belum. Beberapa model investasi itu dapat disebut sebagai teknologi finansial atau perpaduan antara jasa keuangan dan teknologi yang memungkinkan transaksi jarak jauh.
Bhima memprediksi, khusus untuk market Indonesia, nilai crowdinvesting tahun 2018 sebesar 3 miliar dollar AS, dengan pertumbuhan value transaction 140 persen year on year.
Sektor pertanian termasuk kategori sektor yang risikonya cukup tinggi, lanjut Bhima, oleh karena itu harus menggandeng asuransi pertanian sehingga mitigasi risikonya berjalan seimbang.
”Semakin banyak model startup yang membantu sektor pertanian, tentu cukup bagus. Selama ini sektor pertanian, khususnya level petani mikro, sering kesulitan mengakses modal dan masuk kategori unbankable yang tidak tersentuh jasa perbankan,” tuturnya.
Kaum milenial berinvestasi
Bhima menyebutkan, belum semua warga mencoba platform investasi. Kurangnya informasi dan kepercayaan menjadi salah satu faktor penyebab enggannya warga terlibat.
Mereka yang memiliki dana untuk investasi umurnya di atas kaum milenial, 40 tahun ke atas, sementara pengetahuan digitalnya terbatas. Faktor kepercayaan karena banyak lembaga sejenis yang belum terdaftar ataupun berizin di OJK. Selain itu, faktor risiko yang besar juga berpengaruh.
Felix Anindita (29) berinvestasi lewat aplikasi Angon sejak tahun 2017. Ia telah memiliki tiga kambing yang dipelihara oleh mitra peternak aplikasi tersebut.
Menurut Felix, hasil investasi yang diperoleh lebih besar dari deposito bank. Setidaknya, dalam kurun waktu tiga bulan, ia memperoleh Rp 180.000-Rp 250.000 dari penambahan berat badan kambing miliknya. Semakin berat hewan ternaknya, semakin banyak keuntungan yang didapat.
Selain itu, investasi ternak lewat aplikasi dinilai lebih praktis, hemat waktu, dan tenaga. Ada jaminan, apa pun yang terjadi, hewan ternak diganti.
”Risiko dari ternak yang mati atau sakit minim. Jika beternak sendiri, tidak ada jaminan. Kalau ternaknya mati, ya, sudah,” ucap Felix.
Aplikasi Angon adalah platform investasi yang memungkinkan pengguna membeli ternak sebagai bentuk investasi.
Kaum milenial lain yang juga berinvestasi, Bustomi Laimeheriwa (23), berinvestasi sejak Juli 2018 di platform Crowde.co dengan proyek yang didanai adalah pengolahan rajungan asli Berau. Ia memulai modal investasi sebesar Rp 10.000, kemudian dari investasi itu diperoleh keuntungan sekitar 1,5 persen. ”Uang itu saya putar lagi untuk mendanai usaha ternak ayam potong dengan untung 1,5 persen,” ujarnya.
Menurut Bustomi, dengan berinvestasi di Crowde, ia mendapatkan wawasan tentang pembangunan negara melalui sektor pertanian. Ia juga tidak takut berinvestasi karena platform itu menampilkan risiko dari setiap proyek pemodalan yang ada.
”Pemodal bisa tahu dan mempertimbangkan proyek pemodalan yang dipilih. Adanya keterangan itu bisa meminimalkan risiko kerugian,” kata Bustomi.
Peluang kaum milenial untuk berinvestasi di platform investasi cukup besar, Bhima menilai, kaum milenial lebih melek digital sehingga ketertarikan untuk mencoba platform investasi baru juga tinggi. (MELATI MEWANGI)