Meski memiliki kompleksitas dalam banyak hal, perempuan selalu dipandang sebelah mata. Bahkan, kehadirannya dinilai sebatas pelengkap hukum biner, yang dalam banyak kasus dianggap ”oposisi” marjinal. Aktris Sha Ine Febriyanti punya motif yang kuat untuk mementaskan monolog ”Tjut Nyak Dhien” dengan berkeliling menuju 10 kota di Indonesia.
Sejak 27 April sampai 1 September 2018, Ine mengunjungi kota-kota, seperti Gianyar, Makassar, Solo, Surabaya, Kudus, Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, Medan, dan Padang Panjang. Tidak hanya memainkan monolog Tjut Nyak Dhien, pada hampir semua kota ia menggelar workshop untuk menularkan banyak hal positif dari seni teater. Pertama, perjalanan berteater keliling ini harus dicatat sebagai prestasi tinggi yang tak banyak dilakukan para aktor dan aktris Indonesia. Ia tidak hanya membutuhkan energi dan pengaturan perjalanan yang ketat, tetapi juga kemauan kuat yang berakar pada kecintaan dan misi yang terasah. Kedua, Ine punya tekad baja untuk menjadikan teater sebagai wahana menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang bercikal bakal dari realitas sesungguhnya.
Tokoh sekaliber Tjut Nyak Dhien dipresentasikan di panggung pentas sebagai tokoh yang tak melulu heroik. Dhien juga memiliki sisi-sisi manusiawi sebagaimana sosok manusia pada umumnya. Ia adalah ibu, istri, dan sekaligus panglima perang di masa kolonial. Peran inilah yang menjadikannya memiliki kompleksitas yang rumit, bahkan jauh lebih rumit dari dua suaminya: Teuku Ibrahim dan kemudian Teuku Umar. Ketika (seolah) secara bergantian Teuku Ibrahim dan kemudian Teuku Umar dibunuh bangsa kaphe (penjajah), Dhien tumbuh menjalani ketiga perannya sekaligus. Ia adalah ibu dari Tjut Gambang yang kemudian juga memberontak kepada Belanda, istri dari dua lelaki pemberontak, dan panglima perang yang meneruskan perjuangan rakyat Aceh. Ketiga peran ini tidak pernah sekaligus dijalani oleh kedua suaminya kendati dua-duanya gugur di medan perang melawan Belanda.
Kompleksitas peran itulah antara lain yang menantang Ine untuk menggali peran penting Tjut Nyak Dhien dalam sejarah perjuangan pembebasan bangsa Aceh dari penindasan kolonialisme. Aktris yang berangkat dari dunia model ini bahkan mengunjungi situs makam Tjut Nyak Dhien di Sumedang, Jawa Barat, sebelum memutuskan memainkannya di atas panggung.
”Aku juga menggali karakter perempuan dari narasumber asli Aceh. Bahkan, sebelum roadshow 10 kota, monolog ini juga sudah dipentaskan di Banda Aceh,” kata Ine seusai pementasan, Sabtu (1/9/2018) di Gedung Hoerijah Adam, ISI Padang Panjang, Sumatera Barat. Oleh karena itu, jika Ine berhasil melafalkan logat Aceh di atas pentas, benar-benar karena ia memahami seluruh gestur, tindak-tanduk, dan karakter dasar para perempuan Aceh. Ia bahkan mempelajari manusia Aceh di masa kolonial secara antropologis.
Sederhana
Ine berpendapat, pentas teater tidak sekadar mengantarkan narasi teks kepada audiens untuk kemudian menuju ”pencerahan” bersama. Lebih dari itu, teater mengomunikasikan sekelumit entitas kultural untuk kemudian secara bersama-sama menuju kesadaran pemahaman yang setara. Perempuan Aceh, sebagaimana teridealisasi dalam sosok Tjut Nyak Dhien, juga memiliki sisi kemanusiaan yang jarang terkomunikasikan. Di sisi ini, Ine tak berkehendak menjadi juru bicara, ia hanya ingin menyentuh sisi-sisi manusiawi dengan langkah-langkah artistik. ”Teater atau seni pada umumnya menyentuh empati dengan cara berbeda,” kata Ine.
Dalam perjalanan sejak dipentaskan pertama kali dua tahun lalu, Tjut Nyak Dhien terus bertumbuh menjadi pentas yang dari hari ke hari makin memikat. Sebelum roadshow 10 kota, Ine sudah mementaskan naskah yang sama 10 kali. Frekuensi pentas yang tinggi itu memberinya pemahaman tentang bagaimana menyajikan teater dengan metode sederhana. Kesederhanaan, katanya, tidak berarti mengabaikan sisi-sisi artistik yang menjadi tuntutan dasar dalam bermain teater.
”Kemampuan akting, apalagi dalam monolog, tetap harus menjadi yang utama. Lalu, pengelolaan panggung secara efektif juga penting,” ujar pemeran Dewi Durga dalam pentas teater Gandamayu tahun 2012 ini. Panggung pentas Tjut Nyak Dhien ”cuma” dibangun dengan dua kursi dan sebuah layar putih sebagai latar. Sebagai properti, Ine melengkapi diri dengan sebilah rencong dan sebuah lampu badai. Layar putih di belakang berperan besar untuk menayangkan gambar-gambar sebagai latar cerita. Dalam beberapa adegan, Ine melakukan interaksi dengan tayangan multimedia yang menghidupkan pementasan ini.
Suara gesekan selo yang saling bersilang dengan lengkingan ratapan tembang-tembang khas Aceh menjadi latar penting yang membaurkan fakta-fakta sejarah dengan dunia kesenian. Penggunaan teknologi videomapping bahkan menjadi isyarat bahwa dunia teater tak perlu steril terhadap peran penting teknologi digital. Ine, yang menyutradarai pementasannya sendiri, bahkan mampu menyinergikan antara panggung teater sebagai dunia ideal dan teknologi digital yang menjadi keniscayaan hidup kita dewasa ini. Di situlah pentas ini memiliki relasi yang kuat dengan realitas di sekitar kita.
Secara bentuk, Tjut Nyak Dhien akan dengan mudah menggapai generasi milenial yang memang akrab dengan teknologi digital. Persoalan ”bahasa” ini menjadi penting untuk memangkas jarak antara teater, sebagai dunia ideal, dan realitas hidup generasi kita kini. Tinggal seberapa kuat akting yang disuguhkan di atas panggung agar pesan penting Tjut Nyak Dhien juga berhasil meraih hati audiens.
Setidaknya ratusan penonton di Padang Panjang begitu antusias menyambut sesi diskusi bersama Ine setelah pementasan usai. Kenyataan ini memberi kabar bahwa ”gugatan” Ine lewat Tjut Nyak Dhien, di mana perempuan selalu dipandang sebelah mata, sekompleks apa pun perannya dalam kehidupan, mendapat respons positif. Semoga diam-diam para lelaki mulai menyadari, tanpa perempuan, hidup mereka bakalan begitu hampa….