Masyarakat Antifitnah Indonesia Melawan Berita Hoaks
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Membasmi berita hoaks di era digital ini bukan perkara gampang. Perusahaan teknologi sebesar Facebook pun dianggap gagal memerangi hoaks. Di Indonesia, ada sebuah organisasi yang sejak setahun lalu terus berusaha memerangi hoaks demi menjaga persatuan bangsa.
Empat orang berjejalan dalam sebuah ruangan berukuran sembilan meter persegi di lantai dua sebuah freeware space, Mampang, Jakarta Selatan. Berbagai macam barang, mulai dari maneken hingga poster dan kardus tak terpakai dibiarkan tergeletak di pojok ruangan.
Ada dua meja panjang dan enam personal komputer di ruangan itu. “Yang dua orang lagi enggak masuk,” kata Direktur Operasional Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Aribowo Sasmito, Senin (10/9/2018). Ari dan lima orang lainnya di ruangan itu adalah pekerja tetap di Mafindo.
Tugas utama mereka adalah memeriksa fakta dalam suatu berita yang dilaporkan masyarakat ke Mafindo karena diragukan kebenarannya. Berita itu bentuknya beragam, misalnya tulisan, foto, video, dan sejenisnya.
Empat orang yang hari itu bertugas nampak serius menatap layar komputernya masing-masing. Beberapa kali, mereka berdiskusi serius tentang berita yang viral di sosial media. Mereka bertukar pendapat tentang kebenaran berita itu.
“Kami butuh waktu seharian untuk menentukan suatu berita benar atau salah,” kata Pemeriksa Fakta Mafindo, Khairil Haesy, Senin. Selain Ari dan Khairil, Mafindo memiliki empat pemeriksa fakta lain, yaitu Levy Nasution, Bentang Febrylian, Dedy Helsyanto, dan Syarief Ramaputra.
Mafindo dibentuk pada 2016, sejak berdiri, mereka fokus menindaklanjuti laporan masyarakat yang resah karena berita hoaks. Tahun ini, Aliansi Jurnalis Independen memberikan Tasrif Award kepada Mafindo.
Penghargaan itu diberikan atas kerja keras mereka memperjuangkan prinsip utama jurnalisme, kebenaran. Saat ini, lebih kurang 300 orang telah bergabung dengan Mafindo menjadi relawan untuk melaporkan berita hoaks.
Khairil menjelaskan staf pemeriksa fakta di Mafindo masih melakukan proses itu dengan manual. Dalam satu hari, satu orang pemeriksa fakta hanya mampu menyelesaikan pengecekan fakta satu berita.
“Kami enggak mau sembarangan. Lebih baik agak lambat, daripada nanti analisis kami justru ikutan salah,” ujar Khairil. Ketika mereka menganalisis suatu berita, mereka mengecek detail berita itu sampai yang terkecil, misalnya kapan waktu terakhir sosial media penyebar berita itu aktif.
“Itu bisa jadi salah satu indikator apakah sumber berita itu bisa dipercaya,” kata Ari. Selanjutnya, tim pemeriksa fakta akan mencocokkan berita itu kepada sumber-sumber berita dari sejumlah media yang mereka anggap bisa dipercaya.
Baru setelah semua proses itu selesai, mereka akan melabel berita itu “salah” atau “benar”. Model klasifikasi itu mengacu kepada model yang diperkenalkan First Draft.
First Draft merupakan organisasi yang dibentuk Universitas Harvard secara khusus untuk meneliti berita hoaks. Secara sederhana, First Draft mengkategorikan disinformasi atau informasi salah menjadi dua kategori besar.
Yang pertama, konten yang sengaja dibuat tanpa bertujuan merugikan. Konten itu biasa disebut sebagai konten satir atau parodi yang bermaksud mencari efek kejenakaan dari suatu peristiwa.
Sedangkan yang kedua merupakan konten yang sengaja dibuat untuk menipu pembaca. Jenis inilah yang perlu diwaspadai karena konteks informasi yang disampaikan telah dibingkai dengan tujuan tertentu dan tidak sesuai fakta.
“Berita hoaks itu menyasar kelemahan manusia yang paling mendasar, yaitu sisi emosional,” ujar Ari. Menurut dia, orang yang tingkat intelektualitasnya tinggi pun bisa terjebak berita hoaks ketika sisi emosionalnya terpancing.
Isu SARA merupakan cara paling efektif mengeksploitasi sisi emosional manusia itu. “Dan sering kali kita membiarkan mereka (pembuat berita hoaks) berhasil, karena kita terlalu malas menguji kebenaran,” kata Ari.(PANDU WIYOGA)