Gudang Itu Sekolah Kami
Ketika anak-anak di kabupaten/kota lain mulai berdebat tentang teknologi dan metode belajar yang pas di sekolah, murid-murid SDN Ridogalih 01, Kabupaten Bekasi, masih harus berjibaku dengan gedung sekolah yang tidak laik.
Sudah dua tahun, SDN Ridogalih 01, sekolah tertua di Desa Ridogalih Kecamatan Cibarusah itu runtuh dan tak bisa digunakan. Seluruh kegiatan belajar dan mengajar dilaksanakan di gudang milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi.
“Menjelang proklamasi kemerdekaan, koma, perbedaan daerah, koma, agama, koma, dan suku bangsa bukanlah penghalang bagi generasi muda dan generasi tua untuk berkumpul, titik,” teriak Dwi Agustin (11) membacakan isi buku pelajarannya pada Kamis (6/9/2018). “Perbedaan pendapat sempat terjadi, koma, namun akhirnya mereka bersatu padu untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, titik,” ia melanjutkan.
Teriakan Dwi merupakan satu-satunya rujukan belajar bagi murid-murid kelas VI SDN Ridogalih 01, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Sekolahnya hanya memiliki satu buku paket Kurikulum 2013. Sebanyak 20 orang yang duduk di kelas VI pun harus mencatat isi buku sambil mendengarkan instruksi Dwi.
Meski sudah lantang, suara Dwi terdengar pelan karena bertabrakan dengan gelak tawa, serta adu argumen adik-adik kelasnya. Sesekali temannya berteriak balik meminta Dwi mengulangi ucapannya, tidak jarang pula mereka langsung menghampiri meja Dwi untuk melihat teks yang ada di buku.
Memang tidak ada dinding yang membatasi pertemuan suara mereka. Total, 90 murid kelas I-VI belajar dalam satu gudang seluas 120 meter persegi. Untuk membedakan setiap kelas, terdapat sekat-sekat tripleks yang tingginya tidak lebih dari 1,5 meter.
Jatah ruang setiap kelas pun tidak luas, hanya sekitar 20 meter persegi. Ruang tersebut diisi dengan empat kelompok meja yang masing-masing diduduki paling banyak lima orang. Jumlah murid terbanyak adalah 20 orang dalam satu kelas.
Kerusakan menahun
Ahmad Kosasih (37), guru kelas VI yang sudah mengajar sejak 2005, mengatakan, sekolah hanya menerima belasan murid dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, terdapat 16 murid yang diterima. Jumlah itu menurun menjadi 12 orang pada 2017, lalu naik menjadi 14 orang pada 2018. “Sekolah kami rusak dan tidak bisa digunakan, sehingga minat menyekolahkan di sini pun menurun,” kata Ahmad.
Nyai Siti Patimah (33), orangtua murid kelas VI, mengatakan, kerusakan sekolah sudah berlangsung lima tahun lalu. Dari dua bangunan yang ada, hanya satu yang digunakan sedangkan gedung lainnya sudah tidak beratap, sebagian besar dindingnya runtuh. Pada bagian yang masih berdiri keretakan ada di mana-mana, seperti bangunan yang terguncang gempa.
Meski ada bangunan yang masih bertahan, bukan berarti kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung secara kondusif. Sedikit demi sedikit atap gedung itu runtuh, menembus langit-langit, dan menimpa meja belajar murid. Untungnya tidak ada yang pernah menjadi korban. Hanya saja, kata Ahmad, para guru harus datang lebih awal setiap hari untuk membersihkan meja dari pecahan genting.
Akibat kerusakan yang bermula dari atap itu, selama bertahun-tahun pula kegiatan belajar mengajar tak aman di kala hujan. “Saya selalu menangis saat anak-anak belajar sambil dalam keadaan atap bocor,” ujar Ahmad.
Saya selalu menangis saat anak-anak belajar sambil dalam keadaan atap bocor
Menurut Ahmad yang juga warga asli Kecamatan Cibarusah, sekolah tersebut sudah ada sejak 1980-an. Renovasi ringan pernah dilakukan pada 2009 terhadap gedung pertama yang didirikan. Bangunan lain yang masih bertahan hingga 2016 merupakan gedung yang dibangun pada 2005.
Diperkirakan, pembangunan gedung tidak menyesuaikan dengan kondisi tanah Kecamatan Cibarusah yang sebagian besar terdiri dari batu-batuan. Bangunan di sana cenderung cepat rusak, karena tanah selalu bergeser. Seperti terjadi pada Jembatan Cipamingkis, yang berjarah sekitar 1 kilometer dari sekolah, sudah berkali-kali runtuh karena tanah longsor.
Terpinggirkan
Ia menambahkan, pengajuan perbaikan gedung sudah dilakukan berulang kali baik melalui pemerintah desa, kecamatan, hingga Dinas Pendidikan. Namun, pengajuan itu tak membuahkan hasil. Pihak Dinas Pendidikan tak pernah meninjau secara langsung kondisi mereka.
Peninjauan hanya dilakukan oleh pemerintah desa dan kecamatan sebagai pihak terdekat. Adapun jarak sekolah dengan kantor desa adalah 100 meter. Jarak ke kantor kecamatan pun sekitar 1 kilometer.
Harapan perbaikan nasib sempat muncul pada 2013. Saat itu Pemerintah Kabupaten telah memasang plang proyek pembangunan lengkap dengan identitas gedung serta jumlah dana yang dianggarkan. Proyek dilaksanakan bersama pembangunan SMPN 2 Cibarusah, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari SDN Ridogalih 01. “Namun, pembangunan hanya berlangsung di SMPN 2, di sini tidak ada pembangunan meski sudah ada plang proyek yang dipasang,” kata Ahmad.
Kerusakan menahun itu pun mencapai titik kulminasi pada 2016. Kondisi bangunan semakin berbahaya, keretakan makin banyak, reruntuhan atap semakin sering. Oleh karena itu, pihak sekolah memutuskan untuk memindahkan aktivitas ke gudang milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah yang berdiri tepat di depan sekolah.
Ketika itu pula, para guru harus berjuang lebih keras. Pengajuan peminjaman gedung dilakukan oleh para guru yang sebagian besar masih berstatus pegawai honorer. Mereka tidak memiliki kepala sekolah definitif yang bersedia mengurus perpindahan itu. “Berulang kali Pemerintah Kabupaten mengangkat pelaksana tugas kepala sekolah, namun mereka juga tidak pernah datang ke sekolah,” kata Ahmad.
Selama hampir dua tahun, seluruh aktivitas berlangsung tanpa koordinasi dengan kepala sekolah. Para guru harus berinisatif di tengah keterbatasan agar kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung. “Kepala sekolah definitif baru diangkat sekitar dua bulan yang lalu,” kata Ahmad.
Kepala SDN Ridogalih 01 Nasen mengatakan, pengajuan perbaikan sekolah merupakan program pertamanya setelah dilantik. Pada pertemuan dengan pihak Dinas Pendidikan 18 Juli lalu, mereka mengatakan pembangunan sekolah akan dilakukan pada 2019. “Akan tetapi, saya berharap perbaikan bangunan ini tidak dimasukkan ke dalam program rutin yang membutuhkan prosedur panjang. Kondisinya sudah sangat mendesak,” kata Nasen.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Bekasi Jamaludin mengakui, pembangunan SDN Ridogalih 01 memang tidak masuk dalam agenda pembangunan beberapa tahun terakhir. Pembangunan total baru diusulkan untuk dilaksanakan pada tahun anggaran 2019 dengan pagu anggaran Rp 2,1 miliar. Dengan dana tersebut, akan dibangun gedung sekolah bertingkat yang terdiri dari enam kelas.
Meski demikian, harapan untuk memiliki gedung baru tidak serta merta terwujud. Jamaludin menjelaskan, setidaknya butuh waktu sekitar enam bulan sejak proses lelang hingga pembangunan dimulai.
Tetap semangat
Kondisi fisik sekolah yang tak laik dan status yang terkatung-katung rupanya tidak melunturkan semangat warga untuk belajar disana. Menurut Nyai, SDN Ridogalih 01 tetap menjadi pilihan karena kepercayaan terhadap kapasitas para guru. Hingga saat ini, prestasi sekolah tersebut masih tertinggi di antara dua SD negeri lain di Desa Ridogalih.
Nyai menambahkan, pendidikan gratis di sekolah negeri jelas jadi pilihan mutlak. Apalagi, sebagian besar orangtua murid menggeluti pekerjaan nonformal. Kebanyakan dari mereka merupakan petani penggarap dan pekerja pabrik batu bata (lio) yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Oleh karena itu, kondisi sekolah yang rusak bukan masalah besar. “Yang penting kegiatan belajar masih bisa terlaksana,” kata Nyai.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bekasi, pada 2017 terdapat 27 SD negeri di seluruh Kecamatan Cibarusah dengan total murid adalah 8.454 orang. Sementara itu, terdapat 10 SD swasta dengan total murd 2.893 orang. Angka partisipasi murni pada tingkat SD mencapai 99,6 untuk warga perempuan dan 99,09 untuk warga laki-laki.
Di dalam kelas, para murid pun tak kehilangan semangat belajar. Dwi mengakui, bersekolah di dalam gudang memang tidak kondusif, terutama karena suasana begitu berisik. Ditambah lagi gudang beratap metal itu membuat udara terasa begitu pengap. Keringat para murid yang begitu aktif hampir tak pernah kering dari tubuh dan seragam mereka, sehingga bau kecut khas anak-anak pun memenuhi seluruh ruangan.
Akibatnya, prestasi Dwi cenderung menurun. Nilai rapornya semester genap lalu menempati peringkat kesembilan turun dari semester ganjil sebelumnya, ia menempati peringkat ketiga. “Saya mau terus belajar agar nilainya naik lagi. Saya mau jadi polwan,” ujar dia.
Salah satu trik untuk meningkatkan konsentrasinya dalam belajar adalah membantu guru mendiktekan isi buku teks. “Bangsa Indonesia memiliki tekad yang kuat, titik. Tidak ada jalan lain dalam usaha memproklamirkan kemerdekaan kecuali menjalin persatuan dan kesatuan, titik,” teriak Dwi menyelesaikan tugasnya.