DELI SERDANG, KOMPAS – Mampu membaca, menulis, dan menghitung saja dinilai tidak cukup. Kemampuan tersebut perlu diberdayakan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat terus berlanjut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk Indonesia yang buta aksara terus menurun. Pada 2004 ada 15,4 juta penduduk yang buta aksara atau 10,20 persen dari jumlah penduduk. Sementara pada 2010 menjadi 7,54 juta jiwa atau 5,02 persen. Dari data terakhir yaitu pada 2017, jumlah penduduk usia 15-59 tahun yang masih buta aksara menjadi 3,4 juta jiwa atau 2,07 persen.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, keberhasilan menurunkan jumlah buta aksara memang perlu diapresiasi. Namun, tugas yang tak kalah penting adalah mengembangkan kemampuan keaksaraan agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak diberdayakan, kemampuan ini akan tumpul dan masyarakat yang tadinya sudah melek aksara kembali menjadi buta aksara.
“Pengembangan keterampilan dalam beraksara sangat penting bagi masa depan dan kemajuan bangsa yang bermartabat," kata Muhadjir dalam puncak peringatan Hari Aksara Internasional Tingkat Nasional 2018 di Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (8/9/2018).
Untuk mengembangkan kemampuan tersebut, pemerintah pun memberikan layanan program pendidikan keaksaraan dasar dan keaksaraan lanjutan di daerah terpadat buta aksara, daerah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan), dan komunitas adat terpencil atau pun khusus.
“Diharapkan pengembangan budaya baca masyarakat bisa meningkat dan didukung dengan terbentuknya kelompok usaha yang memanfaatkan potensi sumber daya dan kearifan budaya lokal. Misalnya, ibu-ibu yang sudah bisa membaca dan menghitung bisa dikembangkan melalui kelompok usaha dagang. Jadi, kemampuan yang sudah dimiliki tidak percuma,” kata Muhadjir.
Literasi dasar
Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Firman Hadiansyah menyatakan, pemberdayaan masyarakat berdasarkan gerakan literasi saat ini sudah dimulai di sejumlah TBM. Gerakan literasi dimaknai secara utuh sesuai dengan enam unsur literasi dasar, yaitu literasi baca-tulis, literasi digital, literasi sains, literasi numerasi, literasi finansial, serta literasi kebudayaan dan kewargaan.
“Bersama Kemendikbud kami kembangkan residensi pengelola TBM. Saat ini sudah dipilih enam TBM yang menjalankan program residensi dari setiap literasi dasar. Jumlah ini masih sangat minim, melihat ada sekitar 8.000 TBM yang ada di Indonesia. Harapannya bisa terus meningkat sehingga lebih masif lagi,” ujarnya.
Adapun enam residensi yang telah dipilih, yaitu TBM Rumpaka Percisa di Tasikmalaya (Jawa Barat) untuk literasi digital, TBM Rumah Baca Bakau di Deli Serdang (Sumatera Utara) untuk literasi baca-tulis, TBM Evergreen di Jambi (Jambi) untuk literasi numerik, serta TBM Warabal di Kabupaten Bogor (Jawa Barat) untuk literasi finansial, TBM Kuncup Mekar di Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta) untuk literasi budaya dan kewargaan, serta TBM Rumah Hijau Denasa di Gowa (Sulawesi Selatan) untuk literasi sains.
Dalam program ini, setiap residensi yang terpilih akan menjadi tempat berkumpulnya TBM lain yang memiliki fokus literasi yang sama. Selama beberapa hari, mereka akan saling berbagi dan bertukar pikiran tentang bagaimana mengembangkan TBMnya masing-masing sesuai dengan potensi yang dimiliki. “TBM jadi gerakan akar rumput yang langsung bersentuhan dengan masyarakat,” kata Firman.