BANJARMASIN, KOMPAS — Sembilan warga negara Indonesia yang berasal dari Kalimantan Selatan terjerat masalah hukum di Arab Saudi. Mereka ditahan aparat penegak hukum setempat karena menyalahgunakan izin tinggal. Pihak imigrasi masih terus berupaya memulangkan mereka ke Indonesia.
Kepala Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kalimantan Selatan Dodi Karnida mengatakan, pihaknya menerima surat pemberitahuan dari atase imigrasi pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah. Diinformasikan bahwa masih ada WNI asal Kalsel yang berurusan dengan aparat penegak hukum di Arab Saudi.
”Tahun ini, dari 319 WNI yang berurusan dengan penegak hukum di Arab Saudi, 9 orang di antaranya berasal dari Kalsel. Mereka ditangkap dan ditahan aparat setempat karena menyalahgunakan izin tinggal,” kata Dodi di Banjarmasin, Selasa (11/9/2018).
Menurut Dodi, sembilan WNI asal Kalsel itu berangkat ke Arab Saudi dengan menggunakan visa umrah. Setelah selesai ibadah umrah, mereka memisahkan diri dari rombongan. Mereka bergabung dengan teman atau keluarga di sana. Mereka memutuskan tinggal lebih lama di Arab Saudi untuk bekerja ataupun menunggu kesempatan menunaikan ibadah haji.
Sembilan WNI asal Kalsel itu diketahui bekerja sebagai TKI di Arab Saudi. Namun, mereka berpindah majikan tanpa persetujuan dari majikan lama sehingga paspornya ditahan majikan lama. ”Ketika melapor kepada polisi setempat, mereka langsung ditangkap dan ditahan di rumah detensi imigrasi,” ujarnya.
Atas penahanan sejumlah WNI di Arab Saudi, lanjut Dodi, pihak KJRI Jeddah merespons dengan cara melakukan pendataan identitas diri, pendampingan atas kasus yang dihadapi, serta membantu pemulangan mereka ke Indonesia.
”Sebelum dipulangkan, mereka harus melalui mekanisme pemeriksaan terlebih dahulu oleh atase imigrasi KJRI Jeddah. Selanjutnya kepada mereka akan diberikan surat perjalanan laksana paspor RI,” kata Dodi.
Pada 2015, enam WNI asal Kalsel yang terjerat masalah hukum di Arab Saudi dipulangkan meskipun mereka dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang imigran asal Pakistan di Mekkah, November 2006. Pembunuhan itu dilatarbelakangi ketidaksukaan para pelaku terhadap korban karena sering memeras.
Enam warga Kalsel yang berasal dari Kabupaten Tapin dan Hulu Sungai Utara itu akhirnya bebas setelah ahli waris korban bersedia memaafkan pada Juli 2014 tanpa meminta uang diyat. Meski demikian, ahli waris tetap berhak atas diyat syari kasus pembunuhan sebesar 400.000 riyal atau Rp 1,32 miliar. Pemerintah Provinsi Kalsel bersedia membayarnya (Kompas, 5/6/2015).