Cendera Mata dari Masa 290 Juta Tahun Lalu
Wujudnya menyerupai batu. Tetapi, benda tersebut bukanlah batu, melainkan fosil kayu pohon. Pohon yang dikenal dengan nama Latin Araucarioxylon. Meski tak lagi utuh, fosil pohon ini bagai cendera mata sekaligus saksi. Para ahli geologi dunia lalu tahu kehadirannya adalah bagian dari mosaik flora Eropa dan Asia.
Hidup utuh sebagai pohon pantai Pulau Cathaysia, di masa Parem Awal, sekitar 290 juta tahun lalu. Mengapa berada di Jambi? Di situ cerita mosaik Pulau Sumatera dimulai.
Ya, pertanyaan dimulai dari Jambi. Sebongkah batu berada di tengah aliran Sungai Merangin, Kabupaten Merangin. Mengapa di Pulau Sumatera terdapat batu ini yang ternyata pohon Araucarioxylon? Pohon yang hidup zaman Parem Awal (298-290 tahun lalu).
Pohon ini pula yang menjadi salah satu petunjuk arah menjawab penasaran para peneliti Tim Kaldera Nusantara Masurai Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tulisan ini bagian dari hasil perjalanan kerja sama Kompas dan Badan Geologi mengupas Kaldera Masurai (Jambi) dari tiga ulasan Kaldera Masurai, Batur (Bali), dan Toba (Sumatera Utara).
Tobler, geologis asal Swiss, mengawali jawaban dari segala misteri pohon di sungai itu. Dua kali ia datang untuk mencari tahu segala jawaban dari segala pertanyaan pada tahun 1917 dan 1924. Ia tak hanya menemukan fosil flora, tetapi juga beberapa ragam fosil fauna di sekitar sungai itu.
Selanjutnya, seluruh koleksi temuan Tobler dipelajari lebih mendalam oleh paleobotanist dari Belanda, Wilhelmus Josephus Jongmans.
Pada 1925, Jongmans bersama koleganya, Walther Gothan, memublikasikan temuan Tobler yang telah ditelitinya. Munculah nama Jambi Flora sebagai penanda temuan fosil flora dan fauna yang diperkirakan berumur Karbon (258- 298 juta tahun yang lalu). Sebagian penemuan itu berada di Formasi Mekarang.
Ternyata jawaban Tobler mengenai Jambi Flora belum menjawab beberapa misteri sekitar Pulau Sumatra serta temuan-temuan lanjutannya. Termasuk para peneliti Badan Geologi, Bandung, Jawa Barat, meskipun Jambi Flora telah menjadi subyek penelitian sejak ditemukan di awal abad ke-20.
Hingga tahun 2018, geologis Indonesia tetap bersemangat mencari tahu. Alasannya, mereka masih merasa perlu mendalami dari banyak pertanyaan yang belum terjawab. Misalnya, pertanyaan terkait dengan tatanan geologi, taksonomi, paleogeografi.
Semangat penelitian tentang Masurai ini muncul karena ulasan bagaimana Masurai membentuk kaldera masih sangat minim informasi. Literatur Masurai ini belum banyak disinggung peneliti asing ataupun dalam negeri. ”Perjalanan penelitian Masurai dari Tim Kaldera Nusantara Masurai Badan Geologi terhitung sekitar tiga tahun terakhir,” kata Koordinator Tim Kaldera Nusantara Gunung Masurai Dipowiguno, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (31/8/2018).
Dipo pun menjelaskan betapa penelitian Kaldera Masurai ini justru mengurai beberapa hal. Penelitian mampu memisahkan bagaimana pembentukan Kaldera Masurai, bagaimana produk letusan kecil Gunung Tungkat (sebelah tenggara Gunung Masurai), hingga pembentukan Pulau Sumatera.
Jambi Flora menjadi salah satu petunjuk pembentukan Sumatera. Hingga menyimpulkan seluruh Pulau Sumatera adalah dataran tanah zaman Jura dan hampir tidak ada peristiwa apa pun untuk menutup tanah di masa Jura (290 juta tahun lalu).
Selanjutnya, Dipo bersama timnya memetakan jenis tanahnya, mana Jura dan mana yang sudah tertutup letusan Masurai serta Tungkat. Material Masurai tidak merata dalam radius yang sama melingkar. Produk batu apung latusan besar Masurai ditemui, lanjut Dipo, sekitar 40 kilometer memanjang ke arah tenggara dari gunung.
Ekspedisi Jambi
Sebelum menjadi jalinan cerita hingga datangnya para peneliti Badan Geologi di tahun 2016, mari menyimak hasil penelitian sebelumnya. Setelah Tobler di abad 20-an sampai abad 30-an Ekspedisi Paleobotani Jambi dari dua peneliti, Dr J Zwierzycki and Dr O Posthumus.
Kedatangan Zwierzycki dan Posthumus menambah koleksi yang pernah ditemukan Tobler. Jongmas bersama Gothan juga yang mengidentifikasi koleksi fosil yang didapat dari ekspedisi tersebut.
Mereka memublikasikan penelitian dari ekspedisi itu pada tahun 1935. Menurut mereka, Jambi Flora bukan hanya berada di Formasi Mekarang, melainkan juga gabungan antara flora Eropa yang lebih dominan dan flora Asia.
Pada ekspedisi ini, Posthumus berhasil mengumpulkan sejumlah besar fosil kayu dari Formasi Mekarang. Fosil-fosil ini kemudian diteliti oleh Kramer sebagai bagian dari studinya tentang kayu-kayu Asia Tenggara pada zaman Tertiary (masa 68 juta tahun lalu hingga 258 juta tahun lalu). Hasilnya, Kramer berhasil menetapkan species Araucarioid (Dammaroxylon kaurioides) dan menyatakan 122 spesimen fosil kayu sebagai Coniferae incertae sedis.
Kemudian di tahun 1980-an, ia mengumpulkan sejumlah spesimen yang kemudian diteliti oleh Vozenin-serra. Posthumus mengidentifikasi dua spesies pada specimen tersebut: Dadoxylon (Cordaioxylon) roviengense Vozenin-serra serta Dadoxylon saxonicum (Goeppert) Frentzen.
Ekspedisi-ekspedisi tersebut berhasil mengumpulkan sekitar 160 spesimen fosil kayu dari satu kawasan geografis yang tidak terlalu luas. Semua fosil kayu Araucarioid yang dikumpulkan dari Formasi Mengkarang dapat disimpulkan berasal dari populasi yang sama. Hal ini memperkuat kemungkinan berasal dari masa Permian Awal. Selanjutnya, temuan ini mengoreksi kesimpulan dari studi-studi sebelumnya yang menyatakan bahwa fosil-fosil tersebut berasal dari zaman Tertiary.
Perbandingan yang lebih detail menunjukkan betapa fosil flora Jambi memiliki kesamaan dengan dengan fosil flora masa Permian yang ditemukan di sebuah provinsi di barat laut China. Dari empat distrik di provinsi itu ditemukan 214 spesies, 24 di antaranya terdapat pula di Jambi. Sepuluh distrik di sebuah provinsi di utara China terdapat 513 spesies fosil flora, 31 di antaranya ditemukan pula di Jambi. Hal ini makin meneguhkan bahwa Jambi merupakan bagian dari Cathaysian.
Paleontologi Formasi Mengkarang
Jambi Flora memiliki kemiripan dengan Chinese Paleoflora yang diduga merupakan bagian dari North Cathaysia Paleoflora. Hal itu kemudian diperkuat dengan sampel baru Van Waveren dibantu oleh Fauzie Hasibuan dari Badan Geologi yang diambil melalui beberapa ekspedisi antara tahun 2003 dan 2008.
Dalam ekspedisi tersebut selain dapat mengenali fosil flora umum seperti pecopterids, calamites, dan cordaites, juga ditemukan fosil flora berumur Perm yang sangat jarang dijumpai seperti Gigantopterids, Callipteridium, dan Taeniopteris.
Ahli moluska dari Badan Geologi, Aris Kusworo, menuturkan, selain kumpulan fosil flora, Formasi Mengkarang juga menyimpan kumpulan fosil fauna yang menghadirkan informasi penting tentang sejarah terbentuknya formasi tersebut. Kumpulan fosil tersebut, lanjutnya, adalah fusulinid dan brakiopoda.
Fusulinid adalah fauna laut yang merupakan salah satu keluarga dari ordo foraminifera yang telah punah. Keluarga ini hidup pada zaman Silur Bawah hingga Perm Akhir (443 -252 juta tahun yang lalu). Adapun Brakiopoda merupakan filum tersendiri dalam kerajaan fauna karena meski sepintas mirip dengan bentuk morfologi moluska, tetapi memiliki anatomi yang sangat jauh berbeda.
”Brakiopoda juga merupakan fauna laut yang telah hidup sejak zaman Kambrium (541 juta tahun yang lalu). Sebagian dari spesies brakiopoda masih hidup hingga saat ini. Namun, jumlah spesies yang hidup jauh lebih sedikit dibandingkan dengan spesies yang telah punah,” kata Aris.
Fusulinid dan brakiopoda dalam Formasi Mengkarang memiliki peran penting dalam menentukan umur pembentukan batuan sekaligus memberikan gambaran sejarah pembentukannya.
Fusulinid dari Formasi Mengkarang pertama kali diidentifikasi oleh penaliti Thompson (1936). Studi berikutnya tentang fusulinid Formasi Mengkarang dilakukan oleh Crippa, dkk. (2014) berdasarkan contoh yang diambil dalam ekspedisi Van Waveren.
Dalam studi tersebut yang dimuat Journal od Asian Earth Sciences: Brachopods, fusulines and palynomorphs of the Mengkarang Formation (Early Permian, Sumatra) and their palaeobiogegraphical significance (2014), dapat diindentifikasi 6 spesies dalam 5 genus fusulinid. Yakni, Eostaffella sp, Schubertella sp, Pseudoschwagerina cf. afghanensis, Pseudoschwagerina meranginensis, Eoparafusulina haydeni, dan Pseudofusulina rutschi. Pseudoschwagerina merupakan fusulinid yang hidup di daerah tropis Paleo Tethys–Panthalassa dan Midcontinent Andea pada Perem Awal (298 – 290 juta tahun yang lalu).
Brakiopoda dalam Formasi Mengkarang pertama kali dideskripsi oleh Meyer (1922) berdasarkan sampel yang diambil oleh Toble (1917) dengan nama Productus Sumatrensis. Nama tersebut kemudian direvisi oleh Hasibuan, dkk. (2000) menjadi Stereochia semireticulatus. Crippa, dkk. (2014) dalam studinya melengkapi koleksi Brakiopoda dalam Formasi Mengkarang menjadi 6 genus dan 2 spesies yaitu Neochonetes (Neochonetes) carboniferus, Marginifera (Arenaria) sp. ind., Reticulatia sp. ind., Stereochia aff. S. irianensis, Protoanidanthus sp. ind., dan Cancrinella sp. ind. Crippa, dkk. (2014) menyatakan bahwa Stereochia yang ditemukan lebih mirip dengan Stereochia irianensis.
Apa pun nama yang diberikan tetap menunjukkan adanya genus Stereochia dan kehadiran pohon Araucarioxylon di Merangin, Jambi, mendukung kesimpulan pembentukan Formasi Mengkarang telah dimulai pada zaman Perm. Genus yang hidup di zaman Perm Bawah-Tengah (290 juta-265 juta tahun yang lalu). Hidup di daerah tropis dan berupa hamparan seperti pantai, bagian dari benua purba Cathaysia. Maka, hal ini membuktikan betapa fosil ini jauh lebih tua usianya ketimbang terbentuknya Pulau Sumatera yang diperkirakan mulai 120 juta tahun lalu.