Tantangan Mengelola Pertumbuhan Wilayah Urban
Jakarta, sebagai pusat nyaris segala aktivitas, cenderung makin meluaskan pengaruhnya. Ibukota negara ini tetap bertumbuh, sekalipun besarannya cenderung tidak seperti wilayah sekitarnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada seminar Transforming Lives Human & Cities dengan tema ”Who Build Cities?” di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (4/9/2018) lalu menyatakan hal tersebut. “Pertumbuhan Jakarta sendiri tidak sebesar kanan kiri. Kanan kirinya tumbuh lebih cepat,” sebut Anies dalam ceramah sekitar 50 menit di hadapan hadirin.
Sebelumnya ia menyatakan tentang jumlah penduduk dan wilayah-wilayah di dunia yang cenderung semakin mengkota. Pada 2050, 68 persen populasi dunia diperkirakan akan menempati wilayah perkotaan.
Jumlah kota-kota yang disebut sebagai “megacities,” dimana 10 juta warga atau lebih hidup di dalamnya turut pula meningkat. Tahun 1990 jumlahnya 10 megacities. Tahun 2017 menjadi 28 megacities. Di tahun 2030, jumlahnya diproyeksi menjadi 41 megacities.
Adapun Jakarta, pada saat ini memiliki 10,3 juta penduduk. Lebih dari 3 juta orang hidup dengan pendapatan sekitar Rp 1 juta perbulan. Selain itu, terdapat 49 persen warga belum memiliki rumah.
Sementara di sisi lain, ketersediaan lahan di Jakarta untuk pembangunan rumah relatif sudah jenuh. Pembangunan rumah, saat ini cenderung mengarah ke sekitar Jakarta. Menuju sisi “kanan” dan “kiri” ibukota.
Pertumbuhan wilayah di sisi “kanan” dan “kiri” Jakarta yang relatif lebih besar itu juga terlihat dari data BPTJ (2016) yang dikutip oleh Wakil Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Hari Ganie. Pada presentasinya dalam diskusi panel bertema Tantangan Implementasi Kebijakan dan Pengembangan Kawasan TOD di Universitas Tarumanegara, Sabtu (1/9/2018) lalu, Hari mengutarakan hal tersebut.
Menurutnya, selama tiga tahun terakhir, pengembangan properti di sekitar stasiun kereta di Jakarta hanya sebesar 25 persen. Sementara di kawasan Bodebek, pertumbuhannya 38 persen. Persentase lebih tinggi terjadi di kawasan Tangerang dengan besaran 125 persen.
Pertumbuhan di kawasan Bodebek sebagian disumbang oleh pertumbuhan perumahan di segmen pasar kelas menengah dan menengah bawah. Sementara di Tangerang, tingkat pertumbuhan yang persentasenya relatif lebih tinggi menyusul rendahnya suplai pada tiga tahun lalu sebagai titik awal penghitungan.
Prianggi Raharja (25), yang bergelut di dunia arsitektur dan tengah terlibat dalam proyek pembangunan rumah di Kabupaten Tangerang mengamini hal tersebut. Prianggi mencatat, sudah sejak sekitar tahun 2015 terjadi penyebaran proyek-proyek pembangunan perumahan tersebut di kawasan Jabodetabek.
“Rata-rata proyek (perumahan) nyebar, karena Jakarta sudah jenuh,” sebut Prianggi, Selasa (11/9/2018).
Ia menambahkan, di wilayah Tangerang, pertumbuhan kawasan dengan pembangunan proyek properti terutama terjadi di wilayah Kabupaten Tangerang. Sebagian merupakan proyek pembangunan perumahan dengan konsep rumah tapak untuk kalangan menengah ke bawah.
Sementara di Kota Tangerang, imbuh Prianggi, pertumbuhannya relatif dihela oleh pembangunan proyek hunian vertikal seperti apartemen dan perumahan kluster. Hal serupa cenderung terjadi juga di Kota Depok, dimana Prianggi tinggal saat ini dan tempatnya bekerja sebelum juga beraktivitas di Tangerang.
Relatif sulitnya menemukan lahan kosong di wilayah perkotaan inti, menjadi salah satu penyebab pertumbuhan proyek-proyek pembangunan properti yang cenderung hanya menyasar kelompok sosial tertentu. Selain hal lain yang berkelindan, seperti jenuhnya pasar di kawasan pusat kota.
Akan tetapi pembangunan yang berdekatan dengan kawasan transit (di antara di sekitar wilayah stasiun) itu memiliki sejumlah catatan. Hari, dalam presentasi tersebut menggambarkan bahwa pembangunan kerap dilakukan berdekatan dengan kawasan transit (seperti stasiun), namun tanpa konektivitas menuju atau tanpa interaksi dengan layanan transit.
Hal ini, pada gilirannya akan memberikan tekanan dalam besaran tertentu pada kawasan perkotaan yang jadi tujuan. Kemacetan dan banjir merupakan sebagian di antaranya.
Hal lain, sebagian proyek pengembangan perumahan di sekitar Jakarta cenderung hanya berfokus pada pembangunan rumah. Sementara tempat beraktivitas harian, seperti lokasi-lokasi bekerja, masih berpusat di Jakarta.
Membangun perkotaan
Chairman Lippo Group Mochtar Riady, dalam seminar sama yang dihadiri Anies pada Selasa (4/9/2018) lalu menekankan urgensi membangun kota, dan bukannya sekedar rumah. Ia menyoroti, hingga saat ini masih relatif banyak pemerintah daerah yang membangun perumahan, dengan titik berat hanya membangun rumah dan bukannya kota.
“Seyogianya membangun kota, buka bangun rumah,” sebut Mochtar.
Ia merujuk pada pengalamannya dalam membangun kawasan Lippo Karawaci dan Lippo Cikarang, dengan sejumlah fasilitas. Dua kawasan itu, imbuh Mochtar, merupakan sebagian di antara proyek pengembangan yang sebelumnya adalah lahan jaminan atas kredit yang belakangan tidak mampu dibayar para pengusaha menyusul resesi pada 1991, dan lantas diambil alih Lippo.
Sementara pada perkembangan terkini, pembangunan kota pada saat ini idealnya mempertimbangkan pula aspek keterkaitannya dengan realitas perekonomian global. Hal ini menyusul realitas ekonomi global baru yang diartikulasikan dalam terminologi teritorial di sekitar jejaring kota (Sassen, 1994 seperti dikutip dalam Borja dan Castells, 1999).
Maka dengan demikian, daya saing sebuah wilayah kota mesti dipahami dengan benar, bahwa dalam tata baru ekonomi informasi global tidak melulu melibatkan aspek pemotongan biaya, melainkan meningkatkan produktivitas. Tingkat produktivitas ini terutama tergantung pada tiga faktor yakni konketivitas, inovasi, dan fleksibilitas institusi. (Brotchie dkk, 1995 seperti dikutip dalam Borja dan Castells, 1999)