Perlu Dukungan Pemerintah untuk Sejahterakan Penulis Buku
JAKARTA, KOMPAS — Bisnis perbukuan di Indonesia perlu diubah. Pajak Pertambahan Nilai atau PPn perlu dihapus untuk semua buku tanpa terkecuali. Peniadaan PPn untuk semua jenis buku yang tinggi berpengaruh pada besaran royalti yang diterima penulis.
Penulis sejumlah buku best seller, Dewi ”Dee” Lestari, mengatakan, jika PPn dihapus, penulis buku akan bernapas lega. ”Diperlukan dukungan pemerintah untuk menyejahterakan penulis. Selain PPn buku harus dihapus, rabat toko buku juga perlu dikurangi karena saat ini sangat tinggi, bisa mencapai 50-55 persen dari harga jual buku,” kata Dewi Lestari, Selasa (11/9/2018).
Pendapat senada disampaikan Andina Dwifatma, penulis novel Semusim, dan Semusim Lagi (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Andina menganggap perlu PPn untuk buku dihapuskan dan mendorong berkembangnya penerbit-penerbit baru yang progresif dan segar.
Penulis buku Artie Ahmad juga berharap pemerintah bisa memberikan subsidi untuk penerbit-penerbit mayor dalam menyiasati perpajakan toko buku dan pajak penulis yang saat ini dirasa masih tinggi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.011/2013, buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama dibebaskan dari pengenaan PPn. Untuk buku-buku karya lain tetap dikenai PPn, termasuk buku novel dan karya sastra.
Manajer Eksekutif Penerbit Buku Kompas Patricius Cahanar mengakui, pengurangan PPn akan berpengaruh pada harga buku yang otomatis lebih murah. Dengan harga murah, pembelian buku diharapkan meningkat. Pajak yang diterima pemerintah bisa meningkat dari jumlah penjualan yang membesar.
Pengurangan PPn akan berpengaruh pada harga buku yang otomatis lebih murah. Dengan harga murah, pembelian buku diharapkan meningkat. Pajak yang diterima pemerintah bisa meningkat dari jumlah penjualan yang membesar.
”Selain itu, royalti penulis bisa ditambah, marjin penerbit dan dana promosi juga bertambah, serta bisnis penerbitan semakin berkembang,” katanya.
Harapan sejumlah penulis buku ini berkaitan dengan pendapatan yang diterima. Dee mengingatkan semua pihak bahwa banyak penulis yang pendapatan utamanya dari royalti buku. Namun karena tidak bisa lagi mengandalkan royalti sebagai penopang hidup, penulis buku harus memikirkan cara lain.
”Ada banyak diversifikasi yang bisa dijalani penulis yang disesuaikan dengan minat dan talenta masing-masing, misalnya menjadi narasumber untuk talkshow, seminar, workshop menulis, dan mengerjakan proyek-proyek menulis honorer,” kata Dewi Lestari yang sejumlah bukunya best seller.
Menurut Dee, ekosistem perbukuan yang lebih baik, apresiasi masyarakat yang lebih tinggi dan pemahaman yang lebih dalam terhadap profesi penulis akan membuat penulis memiliki kehidupan yang lebih makmur.
Penulis novel Victoria Tunggono berpendapat, penulis di Indonesia masih jauh dari kata ”sejahtera”. Belum lagi dukungan pemerintah minim. Ini terbukti dari tingginya pajak yang dikenakan kepada penulis buku.
”Kebanyakan penulis tampak menikmati hidup karena memang minatnya menulis dan nama mereka mulai dikenal banyak orang. Tetapi, dari segi ekonomi dan kesejahteraan, kami masih merayap,” kata Tori, nama panggilan akrabnya.
Penulis di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Belum lagi dukungan pemerintah minim. Ini terbukti dari tingginya pajak yang dikenakan kepada penulis buku.
Arti Ahmad menyatakan, fenomena pengunduran diri seorang penulis dari dunia tulis-menulis kemungkinan disebabkan faktor ekonomi yang dirasa tidak sesuai dengan yang bidang yang digeluti, atau faktor teknis lainnya.
”Perkembangan penerbitan buku yang akhir-akhir ini cukup mengkhawatirkan kemungkinan merupakan salah satu alasan mundur dari dunia literasi. Fenomena atas kekecewaan dan ketidakpuasan atas apa yang dihasilkan selama ini,” ucapnya.
Survei minat baca dunia menunjukkan, perbandingan buku dengan dengan manusia di Indonesia adalah 1 : 1000, sedangkan di Singapura 2 : 1. Hal ini diperparah dengan lesunya industri perbukuan. Pada 2016, pertumbuhan industri buku sekarat, yakni minus 0,68 persen. Penurunan terlihat sejak 2010, yaitu dari 15 persen menjadi 12 persen pada 2011 (Kompas, 15/9/2017).
Dee mengaku sulit mengukur royalti hanya dari minat baca. ”Minat tinggi, tetapi buku tak terjangkau, misalnya tidak ada akses ke buku. Royalti pada dasarnya merefleksikan pendapatan, dan untuk itu ada banyak faktor yang perlu ditinjau. Perlakuan pajak yang tepat atas royalti dapat mengubah skema pendapatan penulis secara signifikan,” katanya.
Pengamat pendidikan St Kartono mengatakan, penulis merupakan kerja intelektual. ”Kerap kali publik mengabaikan kerja intelektual dibandingkan pekerjaan fisik, padahal penulis memberikan pencerahan. Perubahan di masyarakat dibutuhkan pemikiran, pemikiran itu dimunculkan penulis,” kata Kartono.
”Penulis itu bekerja untuk sebuah peradaban, yang dihasilkan penulis memang bersifat imaterial, tapi mengasah spiritual sebuah bangsa,” kata Kartono, penulis 11 judul buku kependidikan.
Penerbit indie
Penerbit indie merupakan bentuk alternatif untuk menerbitkan buku yang dilakukan penulis. Buku yang diterbitkan penerbit itu biasanya jumlah bukunya terbatas dan memiliki pasar yang lebih kecil dibandingkan dengan penerbit mayor lainnya.
Dee, misalnya, memilih penerbit besar umum karena bukunya harus dicetak dalam volume besar sehingga penerbit sudah harus siap dengan kapital yang besar juga. ”Sulit bagi saya bekerja sama dengan penerbit indie ataupun menerbitkan sendiri karena modal serta sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengelola volume cetak yang sedemikian besar sudah terlalu mahal dan kompleks,” ujarnya.
Namun, Dee juga bekerja sama dengan penerbit baru, yakni Bookslife, untuk judul buku Aroma Karsa dan Di Balik Tirai Aroma Karsa dalam format digital. Kerja sama itu memungkinkan karena format digital tidak membutuhkan modal cetak.
Beragam pertimbangan dipilih penulis untuk menentukan bukunya akan diterbitkan melalui penerbit indie atau penerbit mayor, misalnya masalah biaya proses penerbitan buku dan pemasarannya. Tidak ada jaminan jika buku yang diterbitkan penerbit mayor memiliki penjualan yang besar.
Kalau ternyata pas di hati (bagaimana penerbit memperlakukan penulisnya) dan pas di kantong (besaran royaltinya), mungkin saya akan terus bekerja sama dengan penerbit indie.
Andina Dwifatma berencana menerbitkan novel keduanya lewat penerbit indie. Ia ingin merasakan pengalaman yang berbeda karena buku-buku sebelumnya ia selalu bekerja sama dengan penerbit mayor.
”Kalau ternyata pas di hati (bagaimana penerbit memperlakukan penulisnya) dan pas di kantong (besaran royaltinya), mungkin saya akan terus bekerja sama dengan penerbit indie. Nanti lihat saja,” kata Andina yang juga pengajar di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta dan BSD.
Pengalaman berbeda pernah dialami Victoria, ia pernah menerbitkan buku lewat penerbit indie. Ia menilai pemasaran buku kurang digaungkan dan membuat teman-temannya kesulitan mendapatkan buku itu. Kemudian ia beralih ke penerbit mayor yang memiliki jaminan distribusi ke seluruh Indonesia.
Victoria meyakini penerbit indie berpeluang besar mengalahkan penerbit mayor misalkan dengan memberikan royalti yang lebih besar dan buku yang diterbitkan dapat menembus pasar distribusi di seluruh Indonesia.
Pemilik Penerbit Parabel, Gery Sulaksono, mengatakan, penerbit indie dibutuhkan di Indonesia karena beberapa alasan, misalnya menjawab kegelisahan masyarakat pembaca atas tema-tema penerbit mayor yang tidak mampu mengurai persoalan mendasar manusia.
Pasar penerbit indie akan tetap terbuka dan punya pasar yang potensial karena kebutuhan referensi wacana di tengah situasi krisis tidak semua bisa dijawab oleh referensi penerbit mayor. Wacana alternatif akan selalu menjadi rujukan di tengah tebaran wacana utama yang hambar.
Penekanan penerbit mayor dan indie sebenarnya tidak hanya dilihat dari proses produksi atau oplah cetak, tetapi lebih pada pilihan tema yang dihadirkan. Artinya, keunggulan penerbit indie selalu berada pada pilihan temanya alternatif yang selalu berada di luar wacana mainstream yang tengah diperbincangkan.
Jika seseorang ingin menulis buku tetapi malas berurusan dengan penerbit mayor dengan mekanismenya yang panjang, ruang indie bisa menjawab kebutuhan tersebut. ”Dengan proses yang relatif cepat, semangat independensi, dan kekhasan karakteristiknya, penulis bisa menerbitkan karyanya dengan mudah, dan bisa ikut terlibat dalam mengatur ’wajah karya’ tersebut sesuai keinginannya,” ujar Gery.
Penerbit Parabel merupakan salah satu penerbit indie dari kota Salatiga, Jawa Tengah, yang berdiri sejak Juli 2017. Parabel memilih tema filsafat dan sastra dalam tema utama penerbitannya. Hingga saat ini, Parabel telah menerbitkan lima judul buku. (MELATI MEWANGI)