JAKARTA, KOMPAS — Tantangan lembaga dakwah saat ini adalah bagaimana menyebarluaskan konten positif di media sosial. Hal ini karena kaum muda Muslim cenderung menggunakan media sosial sebagai wadah mencari ilmu pengetahuan agama.
”Kondisi ini merupakan tantangan bagi lembaga dakwah di Indonesia. Upaya memasukkan nilai-nilai kebaikan harus disesuaikan dengan kondisi zaman dan pola pikir anak muda saat ini,” kata Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Maman Imanulhaq saat dihubungi di Jakarta, Selasa (11/9/2018).
Maman menanggapi artikel opini harian Kompas (10/9/2018) yang ditulis Sekretaris Jenderal PBNU A Helmy Faisal Zaini yang menyebutkan teknologi digital telah mengubah tatanan kehidupan manusia, tak terkecuali agama.
Hasil riset Center for the Study of Religion and Culture UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 2018 terhadap 935 aktivis muda Muslim di 18 kota di Indonesia menunjukkan, media sosial menjadi sumber primer belajar agama anak muda Muslim usia 15-24 tahun.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Maman sepakat, lembaga dakwah harus mempelajari teknologi, terutama media sosial. Selain itu, diperlukan pemahaman terkait pola pikir anak muda agar dakwah yang berisikan nilai-nilai kebangsaan, kedamaian, dan keadaban dapat dipahami dengan mudah oleh generasi muda.
Anak muda tidak terlalu menyukai hal-hal yang bersifat dogmatis ataupun doktrin. Anak muda ingin sebuah pemahaman agama yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Maman, anak muda tidak terlalu menyukai hal-hal yang bersifat dogmatis ataupun doktrin. Anak muda ingin sebuah pemahaman agama yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Lembaga dakwah perlu memanfaatkan dan menyebarluaskan konten dakwah di media sosial sesuai pemahaman anak muda.
Oleh karena itu, PBNU mendirikan Internet Marketer Nahdlatul Ulama (IMNU) untuk menyebarkan pesan-pesan dakwah melalui beragam kanal media sosial. Pelatihan juga diberikan kepada para dai untuk menyampaikan konten dakwah yang mudah dipahami.
”Anak muda membutuhkan sesuatu yang bersifat baru, instan, dan mudah dipahami bagi mereka,” ujar Maman.
Pilihan
Maman mengatakan, IMNU juga berupaya memerangi paham radikalisme yang tumbuh subur di internet. Upaya itu mewujud dalam bentuk pelatihan dan pemaparan terkait strategi dakwah di media sosial untuk melawan konten-konten yang berusaha memecah belah bangsa.
Langkah itu dilakukan supaya masyarakat di media sosial mempunyai pilihan informasi. Dalam konteks tersebut, masyarakat memiliki data pembanding terkait informasi yang didapat di internet sehingga mereka mampu menyaring dan menimbang kebenaran dari suatu informasi.
”Hal itu bertujuan agar masyarakat mampu berpikir secara rasional, argumentatif, dan tidak menyebarkan fitnah,” katanya.
Kerja sama juga dilakukan oleh IMNU dengan penyedia layanan media sosial, seperti Twitter dan Facebook, pada tahun ini. Langkah itu berupaya mendorong layanan media sosial agar tidak menjadi wadah bagi para penebar ujaran kebencian dan pemicu konflik.
Sementara pengalaman yang diungkapkan oleh Nurshadrina Khaira Dhania dalam acara TEDx di Jakarta, Sabtu (8/9/2018), mampu memberikan gambaran maraknya penyebaran paham radikalisme di internet.
Nurshadrina menceritakan, pada 2014, dirinya terpengaruh oleh paham radikal melalui informasi yang diterima lewat media sosial. Ia membaca konten dan buku-buku pengetahuan yang meyakinkan dirinya untuk pergi ke Suriah bersama keluarga.
”Saya semakin percaya dengan informasi-informasi di media sosial dan buku-buku itu. Saya berhasil meyakinkan orangtua dan anggota keluarga lain untuk pergi ke Suriah,” ujarnya.
Namun, ketika sampai di Suriah, kondisi di sana tidak seperti yang diimpikan dan dijanjikan sesuai informasi di media sosial. Kesulitan hidup menerpa Nurshadrina dan keluarga saat di Suriah. ”Begini jadinya kalau tidak mengecek dan mengecek ulang suatu informasi,” ujarnya. (DIONISIO DAMARA)