JAKARTA, KOMPAS — Manusia memiliki kecenderungan untuk lebih percaya cerita fiksi daripada fakta dan data. Oleh sebab itu, akademisi dengan keahlian nonfiksi dituntut mengartikulasikan kebenaran dalam bentuk cerita.
”Ini menjadi rumit di era disrupsi karena mesin pintar mempunyai fitur filter bubble yang membuat manusia tenggelam dalam realitas subyektifnya masing-masing,” ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali di sela-sela acara Indonesia International Book Fair, Rabu (12/9/2018) di Jakarta.
Filterbubble adalah sebuah algoritma yang membuat pengguna media sosial hanya akan melihat konten-konten sesuai dengan kesukaannya. Algoritma tersebut akhirnya menciptakan gelembung yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual.
Manusia punya kecenderungan untuk lebih percaya pada cerita (fiksi) ketimbang fakta dan data.
Oleh karena itu, Kasali mengatakan, mesin pintar dengan kecerdasan buatan mampu membaca keinginan manusia sehingga yang disampaikan bukan lagi fakta, melainkan cerita-cerita yang memuaskan batin manusia.
”Manusia punya kecenderungan untuk lebih percaya pada cerita (fiksi) ketimbang fakta dan data,” ujarnya.
Dengan demikian, peran akademisi menjadi lebih rumit. Dalam konteks ini, akademisi dituntut mampu mengartikulasikan kebenaran dalam bentuk cerita, kata Kasali. Sebab, di tangan akademisi, setiap informasi harus melewati proses validasi.
Ketidakmampuan akademisi melakukan hal itu, menurut Kasali, dapat berakibat fatal bagi masa depan persatuan, kedamaian, dan kemajuan bangsa. Masyarakat akan dipenuhi ruang-ruang kosong kebenaran yang lalu diisi oleh hoaks, cerita-cerita menakutkan tetapi menorehkan luka, dan kebencian.
”Maka, di negeri ini, critical thinking dan big picture thinking menjadi suatu kemewahan,” ujarnya.
Menurut Kasali, di situlah ilmuwan nonfiksi dapat menghadirkan gagasan untuk membuka mata masyarakat.
Lewat buku
Upaya untuk meningkatkan literasi dapat dilakukan dengan membaca buku. Oleh karena itu, pameran Indonesia International Book Fair (IIBF) 2018 juga bertujuan meningkatkan minat baca di masyarakat.
”IIBF 2018 bertujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, sekaligus sebagai ajang promosi buku dari para penerbit, khususnya anggota Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia),” ucap Ketua Ikapi Rosidayati Rozalina seusai peresmian IIBF.
Selain itu, IIBF juga menargetkan transaksi jual beli hak cipta antarnegara.
Acara ini menghadirkan 62 penerbit dalam negeri yang mengisi 110 stan dan 34 penerbit asal luar negeri dari 17 negara. Pameran ini berlangsung selama lima hari, 12-16 September 2018.
Ketua Panitia IIBF 2018 Amalia Bakti Safitri mengatakan, kendati berada di era disrupsi, kehadiran buku cetak tidak dapat tergantikan oleh buku berbasis digital. ”Hal itu terlihat waktu kami mempromosikan Zona Kalap di media sosial dan antusiasme para pencinta buku cukup tinggi,” ucapnya.
Kendati berada di era disrupsi, kehadiran buku cetak tidak dapat tergantikan oleh buku berbasis digital.
Zona Kalap merupakan zona yang memamerkan 7.000 lebih judul buku berbahasa Indonesia dan buku impor dengan potongan harga hingga 80 persen. Berbagai jenis buku dihadirkan di zona tersebut, mulai dari buku fiksi, nonfiksi, agama, hingga anak-anak.
Fika (36), ibu rumah tangga, setidaknya membeli delapan buku anak-anak. Buku tersebut dibelinya untuk diceritakan kepada dua anaknya sebelum tidur. ”Saya membiasakan hal itu dari mereka kecil. Sampai sekarang, mereka selalu minta dibelikan buku-buku baru,” ujarnya.
Menurut Fika, kegiatan tersebut perlu dilakukan orangtua agar anak-anak terbiasa mendengarkan cerita sehingga kelak terbiasa untuk membaca buku. (DIONISIO DAMARA)