Berdayakan Perekonomian Desa
Pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial Rp 381 triliun dalam Rancangan APBN 2019. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dorong ke usaha produktif perdesaan.
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat miskin desa dinilai masih bergantung pada jaring perlindungan sosial untuk meringankan beban pengeluarannya. Bantuan turut menekan angka kemiskinan. Namun, perlu upaya ekstra untuk mengatasi ketimpangan dan memberdayakan ekonomi desa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2018 mencapai 15,81 juta orang (13,2 persen), turun dibandingkan Maret 2017 yang tercatat 17,1 juta orang (13,39 persen). BPS menyebutkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya angka kemiskinan, antara lain adanya bantuan sosial pemerintah dan program beras sejahtera.
Sejumlah warga desa di sentra penghasil pangan dan komoditas perkebunan yang ditemui Kompas di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jambi, dan Kalimantan Tengah dua pekan terakhir menyatakan sangat terbantu oleh program-program jaring sosial pemerintah. Namun, mereka kesulitan meningkatkan penghasilannya, terutama terkait penguasaan aset dan skala usaha, modal, serta struktur pasar.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang PS Brodjonegoro menyatakan, pemerintah berupaya menekan angka kemiskinan di perdesaan di angka 11 persen tahun 2019. Caranya antara lain dengan menambah anggaran dan memperluas jangkauan program perlindungan sosial.
Dalam Rancangan APBN 2019, anggaran program perlindungan sosial dialokasikan Rp 381 triliun atau naik 31,9 persen dibandingkan Outlook 2018. Penerima program indonesia pintar (PIP), program keluarga harapan (PKH), dan program bantuan iuran (PBI) bakal menyasar 40 persen penduduk termiskin.
Program ini diyakini bakal membantu penduduk miskin ke luar dari garis kemiskinan dan menjaga penduduk rentan miskin tidak jatuh kembali di bawah garis kemiskinan.
Akan tetapi, upaya mengatasi kemiskinan di perdesaan menghadapi sejumlah tantangan. Bambang menyebutkan, tantangan itu terkait pengelolaan infrastruktur, ketimpangan penguasaan lahan, dan bencana alam.
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah desa yang infrastrukturnya rusak naik lima kali lipat karena kualitasnya buruk. Sementara mayoritas lahan dikuasai 20 persen penduduk terkaya di desa.
Usaha produktif
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, ketika dihubungi Selasa (11/9/2018) mengatakan, terkait pemanfaatan dana desa, pembangunan infrastruktur dibutuhkan pada tahap awal. Sebab warga tidak akan bisa melakukan usaha produktif kalau infrastruktur tidak tersedia di desanya.
Termasuk di antaranya sarana untuk meningkatkan kualitas hidup, seperti sarana MCK (mandi cuci kakus), pondok bersalin desa (polindes), posyandu, dan sarana air bersih. Selain itu juga infrastruktur untuk pemberdayaan ekonomi, misalnya jalan desa, embung, sarana irigasi, dan pasar.
"Dalam hampir empat tahun ini pembangunan jalan desa telah lebih dari 150.000 kilometer, lebih dari 1.000 kilometer jembatan, serta puluhan ribu PAUD (pendidikan anak usia dini), polindes, dan posyandu," ujarnya.
Menurut Eko, desa yang infrastrukturnya sudah cukup baik kini mulai lebih banyak mengalokasikan dana desa untuk pembangunan ekonomi, seperti pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BumDes). "BUMDes itu bisa membangun bank sampah, sarana pariwisata, pengolahan pascapanen, dan sebagainya," ujarnya.
Kini sebagian BUMDes diklaim membayar pajak lebih dari Rp 1 miliar. Padahal, dua tahun lalu dana desa masih sekitar Rp 800 juta per desa. Eko mencontohkan salah satu BUMDes di Klaten, Jawa Tengah, yang tahun lalu mendapat keuntungan Rp 13,5 miliar.
Suatu desa terkadang masuk kategori miskin karena tidak fokus, tidak mempunyai produksi yang memenuhi skala ekonomi, sehingga tidak memungkinkan pembangunan sarana pascapanen di desa setempat. Lewat program produk unggulan kawasan perdesaan (prukades), Eko meminta para bupati menentukan fokus produksi. "Setelah itu mereka kami hubungkan dengan program kementerian lain, dunia usaha, dan juga perbankan," katanya.
Program padat karya, dana desa, dan bantuan sosial masih belum cukup untuk menekan ketimpangan di desa.
Pada tahun 2014, kata Eko, dari 326 desa di Kabupaten Pandeglang, Banten, 154 desa di antaranya masuk kategori tertinggal. Padahal, Pandeglang punya lahan subur dan garis pantainya panjang. Tahun lalu dengan penanaman yang baru 30.000 hektar, kabupaten ini memproduksi 90.000 ton jagung dan mampu mengurangi desa tertinggal dari 154 desa menjadi 76 desa.
Berkelanjutan
Peneliti senior Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Profesor Carunia Mulya Hamid Firdausy menilai, program padat karya, dana desa, dan bantuan sosial masih belum cukup untuk menekan ketimpangan di desa. Dana dan bantuan itu bersifat sementara.
Padahal, masyarakat desa perlu meningkatkan pendapatannya secara berkelanjutan, antara lain melalui pemberdayaan ekonomi berbasis sumber daya setempat. Menurut Carunia, setelah memperbaiki infrastruktur perdesaan, fokus pemerintah semestinya pemberdayaan ekonomi desa.
”Harga beras yang tinggi selama ini hanya dinikmati para pedagang, pengepul, dan pemilik lahan pertanian. Petani kecil dan buruh tani kurang mendapatkan perhatian,” katanya.
Di tengah problem regenerasi petani dan alih fungsi lahan pangan, kebutuhan konsumsi pangan masyarakat Indonesia meningkat. Hal itu sebenarnya menjadi peluang bagi desa-desa mengembangkan potensinya guna memenuhi kebutuhan nasional.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia (Perhepi), Bayu Krisnamurthi berpendapat, perlu ada upaya konkrit mengatasi risiko ketahanan pangan. Pertama, intervensi pada pola konsumsi masyarakat dengan mengedukasi masyarakat untuk mengkonsumsi makanan lokal. Kedua, intervensi pasokan pangan berbasis sumber daya lokal.
“Salah satunya melalui diversifikasi pangan lokal di daerah-daerah. Dari sisi suplai betul-betul harus memanfaatkan sumber daya alam yang semakin terbatas,” kata dia
Ekonom pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan, permintaan pangan Indonesia di tahun 2025 dan 2045 antara lain ditentukan permintaan pangan saat ini, pendapatan, harga, dan urbanisasi. Ada tren peningkatan konsumsi pangan, seperti beras, unggas dan sapi, serta buah dan sayuran. (KRN/JUD/NAD)