Dominasi "Big 3" Tak Tergoyahkan
Setelah Wimbledon, kebangkitan Novak Djokovic ditandai dengan gelar juara Grand Slam Amerika Serikat Terbuka. Hasil tersebut melahirkan kembali dominasi Djokovic, Rafael Nadal, dan Roger Federer di arena grand slam.
Gelar juara Amerika Serikat Terbuka di Flushing Meadows, New York, yang diraih setelah mengalahkan Juan Martin Del Potro di final, akhir pekan lalu, menjadi gelar grand slam ke-14 bagi Novak Djokovic. Dia tinggal berselisih tiga gelar dengan Rafael Nadal dan terpaut enam gelar dari Roger Federer sebagai tunggal putra dengan gelar juara grand slam terbanyak.
Tambahan dua gelar juara pada tahun ini mempertegas kembalinya Djokovic pada persaingan petenis top dunia setelah mengalami berbagai masalah sejak menjuarai Perancis Terbuka, Juni 2016. Sejak saat itu, Djokovic kehilangan motivasi bertanding, lalu didera cedera siku kanan yang membuatnya menjalani operasi. Dia pun absen dari turnamen pada semester kedua 2018.
Saat kembali ke lapangan pada musim ini juga bukan masa yang mudah bagi Djokovic. Dia frustasi karena mendapat hasil buruk di berbagai turnamen hingga mulai menemukan kembali permainan terbaiknya menjelang Wimbledon, Juli. Djokovic pun kembali pada trek juara saat meraih trofi juara Wimbledon dan AS Terbuka.
"Setelah operasi, saya pikir akan kembali ke permainan terbaik dengan cepat, tetapi ternyata butuh proses. Saya memperoleh kembali motivasi baru setelah berlibur, naik gunung Montagne Sainte-Victoire di Perancis, bersama istri saya. Saya merefleksikan kembali kehidupan saya di dunia tenis. Setelah itu, saya seperti mendapat energi baru," kata Djokovic dalam laman resmi ATP.
Gelar yang didapat Djokovic juga kembali menyejajarkan namanya dengan Nadal dan Federer. Setelah Stan Wawrinka menjuarai Australia Terbuka 2016, ketiganya kembali menjadi penguasa grand slam. Dalam 62 grand slam terakhir, sejak Federer pertama kali meraih gelar juara pada Wimbledon 2003, sebanyak 51 grand slam dijuarai Federer (20 gelar), Nadal (17 gelar), Djokovic (14 gelar).
Hanya Andy Roddick, Gaston Gaudio, Del Potro, Andy Murray, Marin Cilic, dan Wawrinka yang bisa menyelip di antara "Big Three", julukan untuk trio Federer, Nadal, dan Djokovic. Konsistensi itu dicapai ketiganya sejak pertama kali menjuarai grand slam, pada usia 19-22 tahun, hingga Federer berusia 37 tahun, Nadal (32), dan Djokovic (31) tahun.
Saat ini, Nadal, Federer, dan Djokovic, bahkan, menempati peringkat tiga besar dunia. Salah satu di antara mereka juga selalu berada dalam puncak peringkat dunia sejak Federer menempatinya pada 2 Februari 2004, kecuali ketika posisi itu diambil alih Murray pada 7 November 2016 hingga 20 Agustus 2017.
Hanya cedera yang bisa mengganggu mereka seperti yang dialami Federer dan Nadal pada paruh kedua musim 2016 dan Djokovic pada semester kedua 2017. Atau, ketika Djokovic kehilangan motivasi setelah melengkapi gelar juara dari semua grand slam pada Perancis Terbuka 2016.
Nadal pun berpendapat tentang dominasi dia bersama Federer dan Djokovic. "Ada dua pilihan untuk menjelaskan kondisi ini, antara kami adalah pemain-pemain spesial atau petenis angkatan berikutnya yang belum cukup bagus. Saya tidak bisa berkata mana yang benar. Generasi penerus akan datang, apakah karena mereka lebih bagus dari kami atau karena kami yang semakin menua," kata Nadal dalam www.tennis.com.
Namun, petenis yang meraih Perancis Terbuka untuk ke-11 kali pada tahun ini tersebut meyakini, dia, Federer, dan Djokovic mampu menjaga motivasi meski telah berada di puncak atau dalam keadaan tertekan. Cinta pada dunia tenis, juga, beberapa kali disebut Nadal dan Federer sebagai kunci konsistensi mereka.
Menikmati setiap proses yang dijalani sejak latihan serta mampu menyeimbangkan kehidupan di dalam dan luar dunia tenis juga membuat "Tiga Besar" mapan dalam prestasi. Federer misalnya, sering mengunggah foto saat menjalani kegiatan sosial yang digagas yayasannya.
Djokovic juga menemukan kembali motivasinya melaui kedekatan dengan keluarga dan ketika menjadikan kembali Marian Vajda sebagai pelatihnya. Petenis Serbia ini sering memperlihatkan foto saat bersama putranya, Stefan. Dia juga menikmati masa-masa latihan yang sering diselingi canda bersama Vajda.
Generasi penerus
Persaingan tenis putra sebenarnya telah melahirkan generasi muda dengan munculnya Chung Hyeon (22), Denis Shapovalov (19), Alexander Zverev (21), Dominic Thiem (25), Nick Kyrgios (23), dan lain-lain. Namun, dalam usia ketika "Big 3" telah menjuarai grand slam, Zverev dan kawan-kawan belum berhasil melakukannya. Pencapaian terbaik diraih Thiem ketika tampil pada final Perancis Terbuka 2018.
"Saya sebenarnya berharap persaingan pada papan atas diwarnai juga hadirnya petenis-petenis muda agar lebih menarik. Namun, petenis-petenis senior masih bisa konsisten dan tetap punya kepercayaan diri," kata Vajda.
Mantan petenis Inggris yang bermain pada 1991-2002, Barry Cowan, mengatakan, petenis-petenis muda masih memiliki kelemahan, di antaranya mental bertanding yang masih berada di bawah petenis senior. Zverev, petenis termuda pada peringkat 10 besar dunia, misalnya, belum bisa menahan tekanan dalam grand slam yang berformat best of five sets dan menuntut tujuh kemenangan untuk juara. Petenis peringkat kelima dunia itu baru sekali mencapai perempat final grand slam, yaitu pada Perancis Terbuka 2018.
Kyrgios, yang pernah mencapai perempat final Wimbledon 2014 dan Australia Terbuka 2015, bahkan, bermental buruk. Berkali-kali dia dikenai sanksi denda karena tak memperlihatkan usaha sungguh-sungguh saat bertanding.
Federer berpendapat, akan sulit untuk mendapatkan kembali petenis yang bisa menjuarai grand slam hingga 10 kali atau lebih. Namun, dia tak khawatir bahwa sukses akan diraih petenis-petenis muda di kemudian hari.
"Tenis selalu punya cara untuk menghasilkan juara dan saya tidak khawatir dengan masa depan olahraga ini. Akan datang petenis-petenis yang mengikuti jejak kami," kata Federer dalam media Australia, news.com.au. (AP
)