”Peperangan” Suku Anak Rawa Belum Usai
Secara nasional, jumlah buta aksara di Tanah Air terus berkurang. Pada 2017, jumlah penduduk usia 15-59 tahun yang masih buta aksara turun jadi 3,4 juta jiwa (2,07 persen). Di pelosok Riau, ”peperangan” belum usai.
Jani Mulyati Sembiring (45) mengeja huruf demi huruf di papan tulis. ”Ini huruf apa ibu-ibu?” ucapnya menunjuk deretan huruf. ”Ini… S. Ini… A. Ini... Y, dan ini… A. Kalau dibaca menjadi S… A… Y… A”. Itu dilakukannya berulang-ulang.
Dari 18 orang yang belajar di Balai Kampung Penyengat, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (31/7/2018) itu, hanya tiga yang lancar menyebut huruf-huruf abjad itu. Selebihnya diam dan termangu. Tak jelas mereka mengerti tetapi memilih diam atau sama sekali tidak mengenal huruf-huruf.
Kelas Jani bukan sekolah formal. Sebagian besar siswanya belum kenal huruf. Yang disebut siswa itu ibu-ibu 30-an tahun. Paling tua 72 tahun.
Kami juga sering mengajar di sela ibu-ibu menganyam tikar atau membuat bakul.
Sebagian besar mereka belum pernah mengenyam pelajaran formal sejak lahir. Hanya sebagian kecil. Itu pun putus di kelas II dan III SD.
Jani adalah salah satu tutor atau pengajar Keaksaraaan Dasar untuk Komunitas Adat Tertinggal Suku Anak Rawa, Siak, program dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun ibu-ibu tadi penduduk asli di pesisir wilayah Kabupaten Siak yang berbatasan dengan Selat Rangsang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Sebagian besar orang dewasa di sana buta huruf.
Sukim (40), siswa paling pintar mengeja, pernah belajar hingga kelas II SD. Ternyata, ia masih ingat huruf-huruf yang diajarkan gurunya dulu. ”Saya tidak tamat karena orangtua tidak mampu,” katanya.
Sukim punya lima anak. Tiga di antaranya tamatan SD. Dua lainnya usia 7 dan 9 tahun yang masih di SDN Kampung Penyengat. Adapun suami Sukim tukang bangunan di desa.
Mengapa anaknya tak melanjutkan studi di SMP? ”Tidak perlu sekolah lagi”. Tiga anak remaja membantunya bekerja di ladang.
Meski demikian, Sukim menyempatkan diri belajar aksara lagi. Belajar membuatnya mudah mengajari anaknya yang masih sekolah untuk membaca.
Lain lagi Sinar (37), siswa lain. Tujuan ibu tiga anak ini belajar aksara semata-mata ingin dapat membaca. Selama hidupnya, Sinar belum pernah mengecap pendidikan formal.
Ketika kecil, kata Sinar, ibunya meninggal. Ia bersama abang dan adiknya laki-laki dibesarkan nenek. Kata neneknya, perempuan tak perlu sekolah. Tempat perempuan hanya di dapur. ”Saya ingin pandai membaca,” kata Sinar.
Siti Aisyah (29) dan Desi Natalia (30), tutor lain, mengungkapkan, semestinya setelah empat bulan belajar, para siswa sudah kenal huruf dan mulai dapat membaca. Namun, target itu sulit dicapai. Siswanya sibuk bekerja sehingga sering bolos.
”Di sini ada 10 kelompok belajar. Satu kelompok sepuluh murid. Waktu belajar hanya Jumat sore tiga jam. Namun, biasanya yang hadir enam orang,” kata Desi, guru SMA di Kampung Sungai Rawa, tetangga Kampung Penyengat.
Lokasi belajarnya disesuaikan. Terkadang di Balai Adat, balai desa, ladang, rumah, atau halaman. ”Kami juga sering mengajar di sela ibu-ibu menganyam tikar atau membuat bakul. Yang penting mereka tetap mau belajar,” kata Desi.
Persoalannya, pelajaran sering diulang karena siswa yang tak hadir 2-3 minggu muncul lagi. ”Itu kesulitan kami mengajar,” kata Siti, guru lainnya.
Namun, kesulitan Siti masih tergolong ringan. Jangankan untuk belajar, mengajak mereka mau datang ke lokasi belajar saja sudah jadi kendala.
Peran pemuda
Adalah Alit (32), sarjana pertama warga asli Suku Anak Rawa, yang memilih tinggal di desa, yang menolong. Karena Alit, para ibu mau datang belajar. Sebagai orang berpendidikan tertinggi di kampungnya, Alit menjadi tulang punggung memajukan desa tertinggal itu.
”Saya harus membujuk agar ibu-ibu mau terus belajar. Saya sering bercanda agar ibu-ibu tidak marah kalau saya ajak belajar. Ini jadi alat motivasi anak-anak dan remaja di kampung agar tetap mau belajar karena angka putus sekolah di sini sangat tinggi. Hanya pendidikan yang dapat mengubah pemikiran warga kampung saya,” kata Alit, guru honorer di SMPN 6 Kampung Penyengat yang juga salah satu tutor aksara dasar.
Masdar (53), Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Bina Harapan, Koordinator Program Keaksaraan Dasar Suku Anak Rawa, mengatakan, keberadaan Alit sangat membantu. Suku Anak Rawa dikenal sangat tertutup dengan orang luar. Dulunya, komunitas itu lebih memilih berpindah kampung bila ada orang baru datang.
”Kami juga memiliki kendala bahasa. Tidak semua orang di kampung itu dapat berbahasa Indonesia. Alit yang banyak jadi penerjemah,” kata Masdar.
Kampung Penyengat salah satu desa tertinggal di Riau. Hingga enam tahun lalu, jalan darat belum ada. Untuk masuk desa, dari ibu kota kecamatan di Sungai Apit, warga menggunakan pompong (perahu tradisional bermesin) tiga jam. Dari desa itu ke Kota Pekanbaru, ibu kota Riau, perlu waktu sepuluh jam.
Kini, Pemerintah Kabupaten Siak membangun jalan dan jembatan sehingga dari Pekanbaru dapat ditempuh selama lima jam. Dari desa ke kota kecamatan hanya dua jam. Perjalanan darat itu dapat lebih cepat lagi, tetapi akses menuju Kampung Penyengat rusak parah, berlubang-lubang, akibat truk besar kerap melintas menuju Pelabuhan Buton yang tak jauh dari desa.
Kini, komunitas Suku Anak Rawa dapat menerima orang luar. Mayoritas penduduk yang dulu hidup dari laut bergeser jadi petani nanas. Satu hal yang belum banyak berubah, keinginan orangtua seperti Sukim menyekolahkan anak lebih tinggi.
Keberadaan Alit dan program Aksara Dasar bagi orangtua di sana baru awal perubahan di masa depan. Yang dibutuhkan percepatan agar warga yang pernah terasing itu merasakan bahwa mereka bagian dari negara Indonesia yang telah merdeka 73 tahun.