Perpustakaan Perlu Menjadi Mitra Utama Penulis
JAKARTA, KOMPAS — Perpustakaan seyogianya bisa menjadi mitra utama penulis sehingga dapat melahirkan lebih banyak karya bermutu. Kemudahan melakukan akses digital perpustakaan berperan penting dalam membantu penulis melakukan riset karyanya.
Hal itu disampaikan penulis Frans dan Sang Balerina, Kanti W Janis, dalam diskusi bertajuk ”Penulis dan Perpustakaan pada Era Revolusi Industri 4.0” yang diadakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) di Jakarta, Rabu (12/9/2018).
”Saya melakukan riset untuk pembuatan novel saya dari perpustakaan. Pentingnya perpustakaan adalah menghadirkan data dan bahan bacaan yang bisa menjadi latar belakang tulisan saya,” ujar Kanti.
Saya melakukan riset untuk pembuatan novel saya dari perpustakaan. Pentingnya perpustakaan adalah menghadirkan data dan bahan bacaan yang bisa menjadi latar belakang tulisan saya.
Perpustakaan dan penulis diharapkan memiliki simbiosis mutualisme. Misalnya, penulis sebagai pengguna perpustakaan dapat menjadi duta bagi perpustakaan. Penulis bisa membagikan pengalamannya tentang perpustakaan yang ia gunakan sehingga dapat menarik banyak pengunjung untuk datang.
Dalam diskusi itu hadir pula Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Perpusnas RI Titi Kismiati dan Ketua Umum Asosiasi Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Nasir Tamara.
Kemajuan teknologi telah memasuki era revolusi industri 4.0 atau menekankan pada otomasi dan teknologi digital berbasis internet. Meski demikian, peran perpustakaan di era apa pun adalah tetap menjadi pusat kesetaraan terhadap pengetahuan. Harapannya setiap orang dapat mengedukasi dirinya lewat perpustakaan.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 menyebutkan, perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.
Untuk itu peranan perpustakaan diharapkan dapat membantu penulis dalam mencerdaskan bangsa. Menurut Nasir, penulis berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa karena menghasilkan ide dan gagasan melalui tulisan sehingga dengan menulis akan membangun peradaban Indonesia yang lebih baik.
Perpustakaan bukan hanya sebagai tempat peminjaman buku, melainkan juga menjadi ruang antardisiplin ilmu masyarakat sehingga bisa tercipta kreativitas baru.
”Saya berharap perpustakaan lebih terlibat dalam proses memproduksi sebuah karya mengingat penulis berperan dalam membangun peradaban bangsa,” kata Kanti.
Nasir menambahkan, kehadiran perpustakaan tidak bisa digantikan dengan kehadiran internet karena terdapat pengalaman interaksi di perpustakaan. Keberadaan perpustakaan itu menunjukkan kemajuan suatu bangsa, kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari pendidikan masyarakatnya, misalnya tingkat minat baca dan jumlah perpustakaan.
Kehadiran perpustakaan tidak bisa digantikan dengan kehadiran internet
Kanti menilai sosialisasi pemakaian perpustakaan bagi penulis masih kurang. Dukungan dari perpustakaan terhadap penulis Indonesia sangat dibutuhkan, misalnya perpustakaan membeli buku dari penulis yang lulus seleksi kualitas secara berkala, minimal untuk 50 persen jumlah perpustakaan yang ada di Indonesia. Pembelian buku itu, selain mendukung penulis secara nyata, juga mengurangi angka pembajakan.
Adapun perpustakaan sebaiknya menyediakan Espresso Book Machine (EBM) untuk melayani pembaca yang memerlukan buku cetakan. Hal ini dapat meningkatkan royalti untuk penulis dan mengurangi pembajakan.
Menanggapi hal tersebut, Titi mengatakan beberapa hal yang telah dilakukan untuk mendukung penulis, yaitu membantu pengurusan International Standard Book Number (ISBN) atau kode pengidentifikasian unik buku yang digunakan secara komersial serta adanya aplikasi Bibliografi Nasional Indonesia (BNI) atau daftar terbitan buku Indonesia sehingga setiap orang dapat mengakses buku apa yang sudah diterbitkan. ”Itu seperti promosi untuk buku terbitan, penting bagi penulis.”
Perpustakaan menjadi media penghubung antara penulis, penerbit, dan pembaca. Menurut Titi, dalam setahun setidaknya terdapat 60.000 buku terbitan baru. Sekian banyak buku itu belum tentu laku di pasaran dan banyak buku bagus tapi tidak banyak yang tahu.
Dalam setahun, setidaknya terdapat 60.000 buku terbitan baru.
Tugas perpustakaan yang akan membuat resensinya sehingga pembaca bisa memilih mana yang bagus dan cocok untuk mereka. Perpustakaan Nasional memberikan masukan kepada para penulis tentang selera pembaca, misalnya, jenis bacaan yang diminati, penulis pun dapat menyesuaikannya.
Pada tahun 2014, terdapat 67.731 judul buku yang diterbitkan, kemudian pada tahun 2015 meningkat menjadi 70.836 judul buku baru dan tahun 2016 naik lagi menjadi 81.374 judul buku baru (Kompas, 12/9/2018).
Perpustakaan, kata Kanti, dapat melahirkan banyak penulis. Cara yang dapat dilakukan pihak perpustakaan adalah dengan memberikan fasilitas khusus bagi penulis. Hal itu meliputi meja reservasi, akses tak terbatas terhadap bahan bacaan, mempertemukan penulis dengan pembaca, dan perpustakaan diharapkan dapat membeli buku karya penulis secara berkala.
Dihubungi secara terpisah, penulis buku Sunyi di Dada Sumirah, Arti Ahmad, mengatakan, dia kerap memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat berdiskusi menulis. Perpustakaan dinilai lebih kondusif melakukan diskusi dibandingkan tempat lain yang relatif ramai.
Perpustakaan dapat melahirkan banyak penulis. Caranya dengan memberikan fasilitas khusus bagi penulis, seperti memberi akses tak terbatas terhadap bahan bacaan dan mempertemukan penulis dengan pembaca.
Menurut dia, perpustakaan berperan penting untuk seorang penulis. ”Ada kalanya riset di perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat yang baik untuk mengembangkan proses dalam menulis.” (MELATI MEWANGI)