Bertahun-tahun tinggal di kamp pengungsian Pulau Nauru, Pasifik selatan, yang terpencil dan jarang ditengok orang luar, membuat penghuninya kian tertekan dan putus asa. Harapan akan hidup dan masa depan yang lebih baik di negeri impian, seperti di Australia, memudar.
Mereka terperangkap, tak bisa kembali ke negara asal dan tak bisa tinggal di negeri impian. Pemerintah Australia, sesuai dengan kebijakan imigrasinya, melarang pengungsi masuk ke Australia terutama mereka yang masuk lewat laut atau kerap disebut ”manusia perahu”. Mereka ditempatkan di pulau-pulau lain di luar Australia, seperti Nauru.
Mayoritas pengungsi itu merupakan pencari suaka yang berusaha masuk Australia lewat laut. Namun, mereka ditahan sambil diproses permohonan suakanya. Seluruh proses ini dibiayai oleh Australia.
Proses menunggu kejelasan status diterima atau tidak sebagai pengungsi ini bisa bertahun-tahun. Jikapun kemudian dinyatakan mereka yang datang itu betul-betul berstatus pencari suaka, Australia tetap saja tidak mau menerima mereka. Karena itulah, penghuni kamp pengungsian Nauru masih tetap banyak, 900 orang, yang 100 orang di antaranya anak-anak.
Mereka tak bisa meninggalkan pulau yang berukuran 21 kilometer persegi yang penuh rumput ilalang itu. Kamp pengungsi seakan penjara terbuka karena akses yang sangat dibatasi dan diawasi Pasukan Perbatasan Australia. Banyak pengungsi yang mau bercerita pengalamannya tinggal di dalam kamp, tetapi tak mau disebut namanya.
Bagi pengungsi, tak ada harapan di Nauru. Rasa putus asa yang menumpuk dan ketiadaan harapan membuat beberapa orang berusaha bunuh diri.
Bagi pengungsi, tak ada harapan di Nauru. Rasa putus asa yang menumpuk dan ketiadaan harapan membuat beberapa orang berusaha bunuh diri.
Seperti yang dialami seorang anak perempuan berusia 12 tahun dari Iran yang menyiram dirinya sendiri dengan bensin dan mengancam akan membakar dirinya. ”Anak saya mengambil korek dan berteriak, ’Biarkan saya sendiri! Saya mau bunuh diri! Saya mau mati saja!’” Cerita ayah anak perempuan itu. ”Untung saya berhasil merebut koreknya,” lanjutnya.
Pengalaman bunuh diri juga dialami pencari suaka dari Somalia, Khadar Hrisi. Sambil bercerita, ia memandangi istrinya yang depresi dan sudah berkali-kali mencoba bunuh diri. Ia sampai takut tidur karena khawatir jangan-jangan istrinya akan mencoba bunuh diri lagi jika dirinya tidur. Ia sudah membawa istrinya ke rumah sakit terdekat yang dibiayai Australia. Namun, tak ada yang bisa dilakukan. ”Tadi malam, rumah sakit menelepon polisi dan mereka mengusir kami keluar dari rumah sakit,” ujarnya.
Layanan kesehatan setempat kerap kewalahan karena banyak pengungsi yang mengalami sakit psikis. Laporan Dewan Pengungsi Australia, pekan lalu, menyatakan, banyak pengungsi yang terganggu kesehatan mentalnya karena tidak melihat ada harapan hidup lebih baik.
”Mereka yang sudah melihat penderitaan pengungsi mengatakan, kondisi mereka lebih parah dari kondisi di tempat lain, termasuk di daerah perang. Di sini orang-orangnya sudah hancur,” sebut laporan itu.
Mereka yang sudah melihat penderitaan pengungsi mengatakan, kondisi mereka lebih parah dari kondisi di tempat lain, termasuk di daerah perang. Di sini orang-orangnya sudah hancur.
Aktivis pejuang hak asasi manusia menyatakan, para pengungsi mencoba bertahan dengan kondisi hidup yang keras, termasuk kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat di daerah yang sangat terik. Ada pula yang mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Reporters Without Borders, Agustus lalu, menggambarkan kamp itu sebagai ”Gulag Pasifik” dan ”Guantanamo Australia”. Gulag merupakan sistem kamp buruh di masa Uni Soviet (1930-1955).
Pemerintah Australia membantah semua laporan yang menyebutkan pengungsi tidak diperlakukan dengan baik. Sesuai dengan kebijakan imigrasinya, Australia tetap bersikeras kebijakan itu harus dilakukan untuk menghentikan mafia perdagangan manusia dan penyelundup di dunia. Mafia inilah yang menipu pengungsi yang ingin mencari hidup lebih baik ke negara lain dengan jalur laut dan menggunakan perahu-perahu reyot.
Presiden Nauru Baron Waqa juga membantah adanya pengungsi yang mengalami gangguan mental karena semua pengungsi boleh bergerak bebas di pulau, tak hanya terkurung di kamp. Bagi mereka disediakan segala macam layanan yang juga dinikmati masyarakat asli Nauru dan, lanjut Waqa, mereka bisa hidup berdampingan dengan baik.
Hal ini berbeda dengan pengakuan para pengungsi yang menyatakan hubungan dengan warga Nauru justru memburuk. Mereka mengaku mendapat perlakuan kekerasan dan menjadi korban perampokan. Dari sudut pandang warga Nauru, keberadaan kamp pengungsian Australia itu tidak mendatangkan keuntungan apa pun bagi Nauru yang berpenduduk 11.000 jiwa itu.
”Kami tidak tahu uang dari Australia itu ke mana larinya,” kata seorang warga Nauru.
Sebagian rakyat Nauru juga hidup berkekurangan, bahkan masih banyak yang sangat miskin. Karena itu, mereka tidak bisa paham mengapa pengungsi mengeluh terus, padahal segala fasilitas dan layanan sudah diberikan dan kualitasnya lebih baik daripada yang diterima masyarakat Nauru. (AFP)