Pendidikan agama di sekolah nyaris tidak melatih siswa untuk belajar hidup bersama dengan pemeluk agama lain. Sampai sekarang, pendidikan agama masih dipisah sekat-sekat.
JAKARTA, KOMPAS – Pendidikan agama di kelas-kelas sekolah, baik negeri maupun swasta terlalu berfokus pada pengetahuan. Proses pembelajaran yang dijalankan masih sekedar mengajarkan anak-anak untuk mengetahui sesuatu dan belum menyentuh pada aspek-aspek kemanusiaan.
Ada lima hal yang seharusnya dilalui dalam proses pendidikan terutama pendidikan agama. Pertama, pembelajaran untuk menjadi tahu. Kedua, bagaimana melakukan. Ketiga, bagaimana menjadi. Keempat, bagaimana hidup berdampingan dengan yang lain. Kelima, bagaimana mampu melakukan transformasi dalam masyarakat.
"Pendidikan agama kita hampir berhenti di tahap pertama, di tahap kedua dan ketiga sebagian kecil sekolah tradisional seperti pondok pesantren dan sekolah asrama telah mempraktikkannya. Tapi pada tahap keempat dan kelima hampir tidak pernah diajarkan di sekolah," kata cendekiawan Muslim, Budhy Munawar Rachman, Selasa (11/09/2018), di Jakarta.
Dalam pendidikan beragama di sekolah, konsep-konsep tentang hidup bersama dengan penganut agama/kepercayaan, etnik, ras dan golongan lain hampir tidak pernah diajarkan. Pendidikan agama juga kurang mendorong para siswa untuk melakukan perjumpaan-perjumpaan dengan penganut agama/kepercayaan lain.
"Jarang terdengar cerita-cerita pengalaman bagaimana guru-guru agama mengupayakan terjadinya perjumpaan antar agama/kepercayaan. Fakta yang gak bisa dimungkiri, pendidikan agama masih tersegregrasi menurut agama masing-masing. Mentalitas kita masih jatuh pada pemahaman bahwa perjumpaan (lintas agama) akan merelatifkan aqidah, perjumpaan akan menjadi celah seseorang untuk pindah agama dan sebagainya. Halangan-halangan mental ini semestinya dibuka," paparnya.
Akhirnya, sikap toleransi yang terbangun di kalangan siswa-siswi masih sekedar jatuh pada sikap toleransi pasif, sama-sama menyadari adanya perbedaan tetapi tidak pernah saling berjumpa, semua berkegiatan sendiri-sendiri. Kecenderungan ini mesti disadari bersama karena jika terus-menerus dibiarkan, maka sikap toleransi pasif akan berubah menjadi sikap intoleransi pasif yang merupakan potensi munculnya sikap intoleransi aktif.
Menurut Budhy, pendidikan mesti mampu mengembangkan sikap toleransi yang aktif. Meski masih tergolong sedikit, sebagian sekolah swasta telah memulainya dengan menggelar kegiatan live in (merasakan hidup berbaur di komunitas berbeda), anjangsana dengan pemeluk agama/kepercayaan lain, mengunjungi pondok pesantren, dan sebagainya.
Kembali ke lima tahapan proses pendidikan agama di atas, apabila proses pendidikan pada tahap keempat diajarkan, yaitu belajar hidup berdampingan dengan yang lain, maka anak-anak didik akan mampu melakukan transformasi dalam masyarakat. Pada akhirnya, baik guru maupun siswa-siswi bisa menjadi agen-agen perubahan atau transformasi di masyarakat dengan terlibat memperkuat sikap toleransi, memerangi diskriminasi, mencegah perundungan dan sebagainya.
Perbaikan kurikulum
Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A, meyakini perlunya perbaikan kurikulum pendidikan agama, baik yang selama ini dikelola oleh Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Kurikulum keduanya hampir sama. Di dalamnya masih banyak pembelajaran agama yang sifatnya ritual dan dogmatik, seputar hafalan tentang tata cara peribadatan, dogma-dogma, ajaran, dan bacaan-bacaan. Sementara itu, dimensi horizontal bagaimana membangun hubungan antar sesama manusia, bagaimana agama dikaitkan dengan kehadiran orang lain masih sangat kurang. Sampai sekarang, belum ada rencana untuk merevisi kurikulum yang ada," ucap Doni.
Pendidikan tentang ritus dan dogma agama memang penting dan wajib, tapi menurut Doni semestinya porsinya tidak diserahkan sepenuhnya ke sekolah. Justru, di sekolah siswa-siswi mesti diajarkan bagaimana beragama dalam konteks hidup bersama dengan saudara-saudara yang berbeda-beda agama/kepercayaan, etnis, suku, dan golongan.