Catatan dari Musim Haji 2018
Musim haji 2018 segera berlalu. Kota Mekkah, Arab Saudi, berangsur lengang. Pada Kamis (13/9/2018) dinihari, bus-bus shalawat yang melayani antar-jemput jemaah dari pemondokan ke Masjidil Haram mulai sepi. Sebagian besar hotel pemondokan sudah sepi ditinggal jemaah.
Di Tanah Suci Mekkah saat ini tinggal tersisa sekitar 25.000 jemaah haji asal Indonesia. Minggu (16/9) adalah hari terakhir pergerakan jemaah Indonesia dari Mekkah ke Madinah. Lalu, tanggal 26 September, seluruh jemaah haji reguler Indonesia yang berjumlah 203.351 orang dipastikan sudah kembali ke Tanah Air. Jemaah haji asal Indonesia merupakan yang terbesar yakni dengan kuota 221.000 termasuk 17.000 orang jemaah khusus. Adapun total jemaah haji dari seluruh dunia tahun ini diperkirakan 2,3 juta.
Secara umum, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini berjalan lancar. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan, tak ada masalah berarti dalam penyelenggaraan musim haji kali ini. Namun, dibarengi semangat perbaikan, Kementerian Agama dan jajaran terkait mencatat sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan musim haji 2018 ini.
Dalam rapat yang dipimpin Menteri Agama di Jeddah, akkhir Agustus lalu terungkap setidaknya sembilan butir permasalahan dalam melayani para jemaah. Butir-butir permasalahan itu perlu digarisbawahi terkait akan berakhirnya masa pemulangan jemaah haji melalui Madinah satu-dua pekan ini.
Pertama: dampak “fast track”
Program fast track (jalur cepat) keimigirasian yang diujicobakan pada jemaah dari embarkasi Jakarta- Pondok Gede (JKG) dan Jakarta-Bekasi (JKS) mampu memangkas masa antrean jemaah di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA) Madinah dan Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Jemaah tak perlu lagi membuang waktu 2-3 jam di depan konter imigrasi pada bandara kedatangan di Arab Saudi karena sebagian proses pemeriksaan sudah dilakukan sejak di embarkasi.
Sayangnya, kecepatan proses tersebut belum diimbangi dengan kesiapan penempatan di hotel Madinah, pengaturan rombongan, serta pengangkutan ke hotel. Dalam sejumlah kasus, tidak sedikit rombongan jemaah kocar-kacir di saat turun dari pesawat posisi duduk di daftar manifest tidak berurutan dengan nama-nama yang akan melewati jalur pemeriksaan biometrik. Setelah pemeriksaan, persoalan belum selesai. Setiba di hotel, jemaah yang sudah kelelahan lebih 10 jam dalam penerbangan belum juga serta merta masuk kamar untuk beristirahat.
Pasalnya, kamar hotel yang dituju ternyata masih dihuni orang lain. Belum lagi, pengiriman bagasi ke hotel acap kali tidak sinkron dengan alamat hotel dan nama jemaah. Untuk perbaikan ke depan, perlu diatur proses yang lebih apik saat perekeman biometrik di embarkasi agar akurat sehingga tak melelahkan jemaah.
Kedua: katering
Dijumpai adanya penyitaan bahan makanan oleh Baladiyah di Madinah, distribusi makanan yang terlambat, penyegelan dapur di Mekkah, serta penggunaan bahan makanan yang tak sesuai kontrak. Berdasarkan amatan di lapangan perusahaan jasa ketering kesulitan mendapatkan bahan baku menu tertentu yang memenuhi selera Nusantara karena keterbatasan pasokan dari Tanah Air sendiri. Contohnya, ikan patin justru bukan bersumber dari Indonesia, tetapi dari Vietnam. Bahkan beras pun menggunakan produk Thailand.
Terkait dengan itu, Kemenag telah memberikan sanksi teguran, denda, dan rekomendasi pemutusan kontrak. Namun, pada sisi lain Menag Lukman pun menyatakan akan mendorong instansi terkait untuk bersinergi dalam mengatasi persoalan bahan baku tersebut.
Ketiga: akomodasi
Terjadi penempatan satu kelompok terbang (kloter) di tiga hotel berbeda di Madinah. Sudah begitu, jarak jarak antarhotel pun dikeluhkan berjauhan. Hal ini menyulitkan komunikasi dan koordinasi antarjemaah, regu, dan petugas. Di samping itu masih dijumpai intervensi dan dominasi oleh kelompok bimbingan dalam penempatan jemaah, sementara penempatan sudah diatur secara sistematis dalam Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) oleh petugas akomodasi.
Keempat: transportasi
Pasca masa Arafah, Muzdalifah, dan Mina, tanggal 25 Agustus 2018 siang, mestinya layanan bus shalawat sudah beroperasi kembali untuk mengantar-jemput jemaah ke Masjidil Haram. Ternyata, realitasnya tidak demikian. Otoritas transportasi Arab Saudi masih saja menutup sebagian rute bus seperti saat masa Armina. Hal ini memantik kekecewaan jemaah yang sudah telanjur siap-siap tawaf ifadah pasca Armina.
Di samping itu, untuk pengangkutan jemaah gelombang I dari Madinah ke Mekkah, dijumpai bus yang tak sesuai spesifikasi tahun produksi. Layanan transportasi jarak jauh (400 km) itu mensyaratkan bus dalam kondisi prima, seperti usia maksimal 5 tahun.
Kelima: jemaah “furoda” di Armina
Masih dijumpai adanya jemaah tak berdokumen haji secara resmi alias “furoda” yang ditempatkan di tenda jemaah oleh maktab (pengelola kawasan pemondokan). Kehadiran jemaah furoda berdampak pada kian tersitanya jatah ruang tenda jemaah, katering, serta kenyamanan, dan keamanan jemaah.
Keenam: kepadatan di Mina
Keterbatasan ruang mabit di Mina menyebabkan kepadatan di tenda-tenda jemaah. Ruang yang tersedia untuk jemaah adalah 0,9 meter persegi per orang. Pantas saja udara makin gerah dan tak jarang jemaah memilih tidur di sisi luar tenda.
Kepadatan itu pun tak diimbangi dengan fasilitas mandi cuci kakus (MCK) alias toilet yang memadai. Tak pelak, antrean jemaah pada menjadi pemandangan yang rutin. Kondisi ini amat berisiko menambah kerepotan bagi jemaah yang berusia lanjut, sakit, maupun yang mendesak ke toilet.
Ketujuh: pemahaman manasik belum memadai
Ditemukan sejumlah jemaah belum memahami manasik haji secara utuh. Contohnya, masih ada jemaah mengenakan pakaian dalam berihram. Ada juga yang ragu dan bimbang ketika beribadah. Tidak sedikit yang bertanya soal teknis yang mestinya sudah khatam dalam bimbingan. Kurangnya pemahaman manasik ini boleh jadi disebabkan mepetnya waktu keberangkatan. Perlu peningkatan intensitas manasik haji di kelompok bimbingan, disertai ketepatan dalam metode pelatihan manasik.
Kedelapan: operasional kelompok bimbingan
Diduga masih ada kelompok bimbingan haji yang tidak amanah dalam menyelenggarakan penyembilan hewan dam yang dititipkan oleh jemaahnya. Juga terdapat kelompok bimbingan yang belum sepenuhnya memberikan bimbingan manasik. Atau malah terlalu banyak melakukan kegiatan ibadah yang menguras stamina jemaah menjelang puncak haji.
Permasalahan lain terkait kelompok bimbingan adaah interbvensi penempatan jemaah baik di hotel maupun tenda di Arafah dan Mina, serta moda transportasi.
Kesembilan: gangguan dalam penyelenggaraan haji
Dijumpai adanya “noise” atau sesuatu yang mengganggu pelaksanaan haji tetapi tak berkaitan dengan ibadah maupun pelayanan. Contohnya, muncul penyampaian aspirasi politik yang kontroversial. Padahal, melalui berbagai media, Imam Besar Masjidil Haram mengingatkan agar para jemaah tidak membawa-bawa politik dalam beribadah di Tanah Suci.
Delapan inovasi untuk musim haji 2019
Terbentang tantangan bagi Kemenag dan lembaga terkait -- baik di dalam maupun di luar negeri -- untuk berkoordinasi secara apik agar persoalan-persoalan tersebut di atas tidak terulang pada musim haji berikut. Dalam hal ini amat ditunggu peran sentral dari Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Jauh-jauh hari, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin langsung meluncurkan 8 inovasi untuk musim haji 2019:
Pertama, fast track imigrasi akan diberlakukan kepada seluruh jemaah di 13 embarkasi di Tanah Air. Namun dengan catatan, pembentukan kloter jemaah akan dilakukan sejak awal. Konfigurasi manifes di pesawat diatur berdasarkan regu serta rombongan, dan tidak diserahkan kepada daerah.
Berdasarkan evaluasi, kebijakan pengaturan sejak awal dilakukan agar jemaah tidak “kocar-kacir” saat memasuki jalur cepat imigrasi.
Kedua, sistem sewa hotel di Madinah seluruhnya akan menggunakan satu musim penuh (full musim). Langkah ini diharapkan bisa mengatur dan memastikan penempatan jemaah sejak awal. Kemenag berupaya memperkecil ketergantungan dengan majmuah (asosiasi yang menyiapkan sarana akomodasi pemondokan jemaah haji di Madinah).
Ketiga, terkait dengan fase Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna), dibutuhkan kejelasan dan ketegasan petugas dan tenda harus diberi nomor sehingga tidak ada lagi saling klaim.
Keempat, revitalisai Satuan Tugas Operasional Armuzna. Pada penyelenggaraan haji 2019, satuan ini harus menggunakan pemetaan yang jelas berikut kualifikasi, komposisi, dan jumlah petugas di setiap pos.
Kelima, jemaah perlu panduan yang intinya mempermudah ibadah haji.
Keenam, mengintensifkan sistem laporan haji terpadu. Penggunan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dioptimalkan untuk mempermudah proses pelaporan, pelayanan, dan rekam jejak ibadah, kepastian jumlah jemaah dan katering, penempatan jemaah, pelaporan kedatangan dan keberangkatan langsung oleh petugas kloter. Hal ini juga bertujuan memberi kemudahan akses informasi jemaah melalui aplikasi.
Ketujuh, strukturisasi kantor daerah kerja (daker). Demi efektivitas operasional penyelenggaraan haji, koordinasi Kantor Urusan Haji (KUH) akan dialihkan dari selama ini di bawah Direktur Pelayanan Luar Negeri menjadi di bawah kendali Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah Kemenag.
Kedelapan, bidang kesehatan harus diperhatikan sejak hulu. Hal ini antara lain merujuk pada istithaah, selaras Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 tahun 2016.
Data pada siskohat menunjukkan jumlah jemaah yang wafat hingga hari Kamis (13/9) adalah 331 orang. Umumnya karena penyakit bawaan dari dalam negeri, terutama gangguan jantung.
Penyelenggaraan ibadah haji adalah perhelatan akbar yang digelar di negeri orang yang melibatkan institusi negara lain. Dalam hal ini koordinasi lintas kementerian dan lembaga sangat diperlukan sejak masa persiapan di Tanah Air.