BEKASI, KOMPAS Potensi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi 2018 hampir tak bisa dihindari. Meski ada pemangkasan belanja, defisit masih terjadi hingga Rp 300 miliar dari total APBD Rp 5,8 triliun. Sebagai konsekuensi, sebagian program yang direncanakan tidak dapat dijalankan.
Marlina Lucianawati, Kepala Bidang Analisis Pembangunan, Perencanaan Program, Pengendalian, Evaluasi, dan Pelaporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi menjelaskan defisit terjadi karena melesetnya prediksi sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) 2017 dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pada APBD 2018, SiLPA 2017 diprediksikan Rp 550 miliar. Namun, menurut audit BPK, SiLPA 2017 hanya Rp 280 miliar. Angka defisit ini kian besar karena penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) diprediksi meleset dari target yaitu Rp 5,38 triliun.
“Upaya kami adalah memotong belanja yang tidak penting, seperti sosialisasi, perjalanan dinas, dan peningkatan kapasitas pegawai,” kata Marlina Lucianawati, Rabu (12/9/2018) di Bekasi, Jawa Barat.
Hingga 29 Agustus 2018, pendapatan daerah yang masuk Rp 3,09 triliun atau 57,54 persen dari target. Dengan penerimaan itu, sisa pendapatan daerah yang masih harus dicapai adalah Rp 2,28 triliun. Sejauh ini, masih tersisa waktu sekitar tiga bulan untuk mengejar target itu hingga tahun anggaran 2018 berakhir pada 31 Desember.
Marlina menambahkan, APBD Kota Bekasi juga terbebani pembayaran tunjangan perbaikan pendapatan (TPP) aparatur sipil negara (ASN). Sejak Januari 2018, pembayaran TPP untuk 11.000 ASN senilai Rp 90 miliar per bulan. Penghasilan bulanan pejabat eselon III misalnya, kini menjadi Rp 30 juta per bulan, naik dari Rp 15 juta per bulan pada 2017.
Beban anggaran semakin berat setelah Pemkot Bekasi merekrut 4.000 tenaga kerja kontrak tahun ini. Jumlah mereka lebih dari separuh tenaga kontrak yang ada sekitar 7.000 orang dengan gaji sebesar Rp 3,9 juta per bulan.
Kartu sehat
Chairoman Juwono Putro, Ketua Komisi I DPRD Kota Bekasi mengatakan salah satu program pemerintah yang membebani keuangan daerah adalah pembuatan kartu sehat. BPK menemukan kejanggalan pada program ini. Sebab, kartu sehat ini pada praktiknya diberikan untuk semua warga, sementara Pemkot Bekasi melaporkan ke BPK bahwa program itu hanya untuk warga miskin.
Kartu sehat merupakan program jaminan kesehatan gratis yang dimulai sejak 2017. Dengan menggunakan kartu sehat, warga bisa mendapatkan layanan kesehatan baik di rumah sakit negeri maupun swasta tanpa batasan biaya.
Menurut Chairoman, total anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai layanan kesehatan itu sejak 2017 hingga Agustus 2018 juga tidak jelas. Dalam APBD 2018, tidak ada nomenklatur terkait program itu.
Evaluasi
Menurut Chairoman, ada yang keliru dengan prioritas belanja di Kota Bekasi. Kekeliruan pengelolaan keuangan juga terjadi tahun lalu. Pada APBD 2017, perkiraan jumlah SiLPA 2016 meleset dari hasil audit BPK. Saat itu terjadi defisit Rp 300 miliar meski ada pemangkasan anggaran untuk menyeimbangkan pendapatan dan belanja daerah.
Dia menambahkan, belanja yang banyak membebani APBD 2018 merupakan kegiatan yang tidak memacu prestasi daerah dan prestasi masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada rasionalisasi belanja daerah dalam pembahasan APBD Perubahan agar tidak ada selisih antara pendapatan dan belanja daerah.
Namun, hingga saat ini Pemkot belum menyerahkan laporan keuangan semester I. Padahal, laporan tersebut merupakan bekal untuk membuat APBD Perubahan yang seharusnya sudah dibahas September. Hal ini membuat jadwal pembahasan APBD Perubahan molor dari rencana.
Chairoman menambahkan, pemangkasan belanja oleh Pemkot Bekasi bisa berdampak pada penurunan kualitas pelayanan publik. Misalnya, layanan kesehatan akan kembali berbayar jika anggaran untuk kartu sehat dipotong, insentif untuk kegiatan masyarakat pun bisa jadi ditiadakan.(NIA)