Rini Kustiasih, Riana A Ibrahim, dan M Ikhsan Mahar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Agung bersama Ikatan Hakim Indonesia akan menelusuri keluhan hakim yang mempersoalkan iuran untuk membiayai kegiatan tenis yang diselenggarakan Persatuan Tenis Warga Pengadilan. MA juga akan menelusuri adanya dugaan permintaan sejumlah uang kepada hakim yang disebut untuk pimpinan MA.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah, Rabu (12/9/2018), saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, pimpinan MA tidak pernah meminta hakim di tingkat pertama ataupun di pengadilan tinggi untuk menyediakan sejumlah uang saat mereka berkunjung ke daerah.
”Jika ketua MA dan pimpinan lainnya datang ke daerah, semua sudah disiapkan dari Jakarta. Aparat peradilan di daerah tak ada kesempatan untuk memberi atau menawarkan apa pun, karena sebelum pimpinan datang, semua keperluan sudah diurus staf dari Jakarta,” ujarnya.
Sebelumnya, Komisi Yudisial (KY) menerima keluhan dari sejumlah hakim di daerah tentang adanya iuran atau pengumpulan uang saat ada pimpinan MA yang berkunjung ke daerah. Sejumlah hakim menceritakan, untuk menerima kunjungan pimpinan MA, setiap pengadilan tinggi dan pengadilan tinggi agama diminta Rp 8 juta. Pengadilan kelas I B dipungut Rp 10 juta. Total, harus terkumpul Rp 200 juta. Penyerahan uangnya tidak lewat transfer, tetapi melalui kurir dan tanpa disertai tanda terima (Kompas, 12/9/2018).
KY juga menerima keluhan dari hakim yang merasa terbebani karena dimintai iuran untuk membiayai turnamen tenis rutin yang diadakan Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP). Tahun ini, turnamen itu digelar di Bali, 10-15 September 2018.
Catatan Kompas, pembiayaan turnamen tenis itu juga muncul saat sidang suap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Ia antara lain ditanya tentang dugaan permintaan Rp 3 miliar ke Wresti Kristian Hesti, pegawai bagian legal PT Artha Pratama Anugrah, untuk keperluan mendanai turnamen tenis di kantornya. Namun, Edy membantah hal itu (Kompas, 10/11/2016). Bekas Sekretaris MA Nurhadi juga pernah ditanya tentang permintaan uang untuk mendanai turnamen tenis itu dan ia juga membantahnya (Kompas, 7/10/2016).
Iuran untuk membiayai turnamen tenis yang digelar PTWP, menurut Abdullah, sudah ada sejak tahun 1970-an. PTWP merupakan organisasi resmi di MA. Dana yang dikumpulkan dari setiap hakim relatif kecil, sekitar Rp 20.000 per bulan, sehingga dinilai tidak membebani.
Juru bicara KY, Farid Wajdi, mengatakan, KY masih mengkaji sejumlah aduan dan keluhan hakim mengenai iuran di luar tugas pokoknya, yaitu memeriksa dan memutus perkara.
Keteladanan
Farid menegaskan, MA harus memberi keteladanan, terutama dengan tak membebani bawahan dengan anggaran yang tidak tercantum dalam anggaran resmi. Pasalnya, adanya beban di luar anggaran resmi itu berpotensi memicu hakim menerima suap dan gratifikasi.
Catatan KY, penerimaan suap dan gratifikasi menjadi penyebab utama hakim dihadapkan ke sidang majelis kehormatan hakim (MKH). Dari 51 sidang MKH yang digelar KY dan MA tahun ini, 23 sidang digelar sebab hakim menerima suap atau gratifikasi. Sebanyak 18 kali MKH karena hakim selingkuh, 5 kali karena hakim melakukan tindakan indisipliner, 3 kali MKH karena hakim mengonsumsi narkoba, dan masing-masing 1 kali MKH karena hakim memanipulasi putusan dan memalsukan dokumen.
Dalam sidang MKH yang digelar, Rabu, hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta berinisial JWL diduga menerima suap Rp 15 juta dari pihak yang beperkara. Suap itu untuk memperingan hukuman salah seorang terdakwa perkara korupsi tahun 2014. Saat itu, JWL masih menjadi hakim di Pengadilan Negeri Manado.
Namun, hakim JWL tak hadir tanpa alasan yang jelas dalam sidang MKH kemarin sehingga Ketua Majelis Sidang MKH Maradaman Harahap menunda sidang hingga 26 September 2018.
Dugaan pencarian dana dari sumber di luar anggaran resmi untuk membiayai kegiatan ditengarai tak hanya terjadi di lingkungan MA. Menurut Dio Ashar Wicaksana dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Universitas Indonesia, potensi itu juga terjadi di kejaksaan.
Dari riset MaPPi tahun 2016, besar anggaran penanganan perkara pada 2011-2013 terus mengalami penurunan, bahkan hanya tersisa Rp 3,3 juta per perkara. Meski demikian, jumlah penanganan perkara yang dilakukan kejaksaan selalu melebihi target.
Kondisi itu memunculkan dugaan adanya pencarian dana dari pihak lain. Hal ini diperkuat dengan adanya jaksa yang diproses hukum karena menerima suap. Jaksa yang dihukum itu antara lain Urip Tri Gunawan.
Jaksa Agung Muda Pengawasan M Yusni mengatakan, penerimaan atau menggelapkan barang bukti itu merupakan tindakan oknum. Hal itu juga untuk memenuhi kepentingan diri sendiri. ”Semua yang dilakukan kejaksaan sudah dianggarkan secara jelas. Jika tak ada anggaran, ya tak bisa,” katanya.