ANGGER PUTRANTO/ABDULLAH FIKRI ASHRI/ERWIN EDHI PRASETYA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah desa berhasil menggerakkan ekonomi lebih cepat dengan menggali dan mengembangkan potensinya. Selain inovasi, kreativitas, dan pengelolaan yang baik, dana desa menjadi modal yang turut mengungkit kesejahteraan melalui program pemberdayaan dan pengembangan badan usaha milik desa.
Desa Tamansari di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya, merupakan salah satu contoh yang ekonominya tumbuh melalui pengelolaan potensi desa. Masyarakat yang awalnya bermatapencarian sebagai petani dan petambang belerang kini mendapat penghasilan tambahan dari usaha jasa pariwisata.
Tak hanya menguntungkan para penyedia rumah singgah (homestay), usaha warga menyumbang pendapatan badan usaha milik desa (BUMDes). Pada 2017, pendapatan kotor BUMDes Tamansari mencapai Rp 800 juta, sementara pendapatan asli desa melonjak dari Rp 10 juta pada 2015 menjadi Rp 45 juta per tahun sejak 2016.
Di Majasari dan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dana desa dikelola untuk memberdayakan para purnatenaga kerja Indonesia (TKI) dan keluarganya. Pemerintah desa memberdayakan purna-TKI dengan berbagai pelatihan, mulai dari pembuatan terasi, aksesori, hingga keterampilan menjahit.
Gemar Karya Migran, komunitas purna-TKI, yang dibentuk pemerintah desa Juntinyuat bekerja sama dengan Migrant Care dan warga, awalnya beranggotakan 20 orang pada 2016, tetapi kini bertambah dua kali lipat. Salah satu produk unggulan, yakni terasi, telah dipasarkan sampai ke luar negeri dengan omzet hingga Rp 10 juta per bulan.
Sementara Pemerintah Desa Majasari, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, melatih para purna-TKI teknik pembuatan kerajinan tas rajutan, keripik pisang, hingga beternak sapi. ”Pada 2016, kami mendapatkan Rp 100 juta dari dana desa untuk membeli lima sapi, kini sudah jadi 11 sapi. Pada 2017, kami dapat dana lagi untuk membeli 43 sapi,” ujar Ketua Kelompok Tani Tunggal Rasa, Majasari, Slamet Setiyadi.
Sapi dipelihara oleh keluarga TKI. Pemerintah desa membuat aturan bagi hasil penjualan sapi, yakni 30 persen untuk BUMDes Majasari dan 30 persen untuk peternak. ”Saya dan keluarga tadinya dihidupi istri yang menjadi TKI. Sekarang, saya yang menghidupi keluarga. Istri sudah pulang dan anak saya juga sudah kuliah,” ujar Slamet.
Dukungan dana
Desa Ponggok di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menjadi contoh sukses bagaimana mengelola potensi untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Sekretaris Desa Ponggok Yani Setiadi, Rabu (12/9/2018), mengatakan, Ponggok sebelumnya merupakan desa tertinggal. Pada 2001, pemerintah desa setempat hanya menggelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa sebesar Rp 14 juta dengan hanya memiliki tanah kas desa seluas 14.000 meter persegi.
Akan tetapi, Ponggok punya potensi sumber air berlimpah, antara lain Umbul (mata air) Ponggok. Semula mata air itu hendak disewakan Rp 5 juta per tahun, tetapi tidak ada yang tertarik. Pemerintah desa lalu meminta bantuan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tentang bagaimana merencanakan, mengelola, dan mengoptimalkan potensi desa.
Umbul Ponggok akhirnya dikelola sebagai obyek wisata pada 2011 di bawah BUMDes Tirta Mandiri. Dari 639 keluarga, 330 keluarga berinvestasi, masing-masing Rp 5 juta. Modal terkumpul dipakai untuk memperbaiki infrastruktur Umbul Ponggok. Pada 2015, BUMDes Tirta Mandiri membukukan pendapatan Rp 6,4 miliar, lalu naik jadi Rp 10,3 miliar pada 2016, dan Rp 14,2 miliar pada 2017.
Kepala Desa Ponggok Junaedi Mulyono mengatakan, Ponggok berhasil mengembangkan potensi desa sebelum ada dana desa. Oleh karena itu, desa-desa lain semestinya dapat menggali dan mengoptimalkan potensi karena kini sudah ada dukungan dana desa. ”Dengan dana desa, sekarang tidak ada alasan lagi bagi desa tidak menggali semua potensi desa untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), Taufik Madjid mengatakan, saat ini jumlah BUMDes yang terdata baik dan memiliki unit usaha mencapai 31.000 unit. Menurut dia, masyarakat desa banyak yang telah melihat pentingnya mengembangkan ekonomi desa dengan memanfaatkan dana desa.
Desa-desa lain semestinya dapat menggali dan mengoptimalkan potensi karena kini sudah ada dukungan dana desa.
Program unggulan
Setelah fokus pada pembangunan infrastruktur pada penyaluran 2015-2017, tahun ini dan tahun depan dana desa diarahkan untuk mengembangkan ekonomi desa. Namun, desa tetap bisa menggunakan dana desa untuk membangun infrastruktur.
Terkait itu, Kementerian Desa PDTT mencanangkan program Produk Unggulan Kawasan Pedesaan (Prukades) yang mengelompokkan potensi ekonomi. Setiap desa didorong untuk menentukan 1-3 komoditas unggulan yang bisa dikembangkan dalam skala besar. Produk itu bisa berupa komoditas pertanian atau kawasan wisata tertentu. Kementerian berencana menghubungkan desa dan pemerintah daerah dengan pihak swasta, badan usaha milik negara (BUMN), atau perbankan. Dengan demikian, produksi bisa lebih terarah dan akses pasarnya semakin terbuka.
Direktur Utama Lembaga Pengelola Dana Bergulir-Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah Braman Setyo menambahkan, pemberdayaan ekonomi pedesaan idealnya melibatkan koperasi. ”Secara regulasi, koperasi itu lengkap karena selain badan hukum, koperasi juga badan usaha,” ujarnya. (CAS/RTG/WHO/NAD)