Peningkatan Pembiayaan UMKM Didorong melalui Tekfin
Oleh
Hendriyo Widi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan penyaluran kredit untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masih lebar. Untuk itu, Bank Indonesia akan mendorong peningkatan pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, khususnya usaha mikro, melalui teknologi finansial atau tekfin.
Kepala Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (13/9/2018), mengatakan, ekonomi digital sangat dibutuhkan untuk menutup gap pembiayaan dan produktivitas. Hingga kini, gap pembiayaan untuk menggerakkan sektor riil masih lebar.
Agar ekonomi Indonesia dapat tumbuh 6 persen, kredit harus tumbuh 16 persen. Namun, jika hanya mengandalkan penyaluran kredit secara konvensional, kontribusi paling optimal hanya sebesar 13,5 persen.
”Nah, kekurangannya itu akan ditutup dengan penyaluran kredit secara digital yang dikelola pelaku jasa teknologi finansial (tekfin). Kontribusinya dalam penyaluran kredit diperkirakan sebesar 2,5 persen pada 2023,” katanya.
Sementara, lanjut Onny, gap produktivitas terlihat dari kemampuan produksi sejumlah sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Dari sisi pembiayaan, pelaku usaha mikro yang jumlahnya sebesar 98,74 persen dari total 59,6 juta UMKM masih kurang tersentuh pembiayaan konvensional.
Adapun dari sisi pemasaran, akses pasar mereka masih minim. Dalam perdagangan secara elektronik (e-dagang), produk-produk impor masih mendominasi.
”Kami ingin pelaku usaha tekfin dan penyedia laman e-dagang menyasar mereka,” ujarnya.
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mencatat nilai pinjaman yang disalurkan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis tekfin (peer to peer/P2P lending) cenderung turun.
Pada tahun 2015 atau di awal industri ini berkembang, nilai pinjaman per peminjam rata-rata Rp 400 juta, tetapi kini turun menjadi sekitar Rp 80 juta.
Sementara, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, total penyaluran pinjaman melalui P2P lending hingga Juli 2018 sebesar Rp 9,21 triliun. Angka itu meningkat 259,36 persen sejak awal. Sementara rasio kredit bermasalah atau NPL P2P lending sebesar 1,4 persen.
Hingga awal September 2018, jumlah perusahaan tekfin P2P lending yang terdaftar atau berizin OJK sebanyak 67 perusahaan. Adapun yang dalam proses pendaftaran sebanyak 40 perusahaan dan yang berminat mendaftar 38 perusahaan.