Risiko Kebakaran di Jawa Masih Tinggi
TEMANGGUNG, KOMPAS - Api masih membara di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing di Jawa Tengah, serta Gunung Lawu di Jawa Timur. Upaya pemadaman jika memungkinkan akan dimaksimalkan menggunakan bom air di Sindoro dan Sumbing, Kamis (13/9/2018). Di tengah upaya itu, risiko kebakaran hutan dan lahan di beberapa lokasi di Pulau Jawa masih tinggi.
Data kumulatif Jumat (7/9/2018) hingga Rabu (12/9/2018) pagi, luas areal terbakar di kawasan hutan di Gunung Sumbing dan Sindoro lebih dari 500 hektar. Adapun kebakaran di Gunung Lawu (Magetan) telah bergerak menuju kabupaten tetangga, Karanganyar.
Pemadaman dengan bom air menurut rencana akan dilakukan tim Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). "Kami sudah mencari dua alternatif pengambilan airnya," kata Pelaksana tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Temanggung, Gito Walngadi, Rabu (12/9/2018).
Sampai saat ini kondisi El Nino masih netral. Ada peluang lebih panas lagi.
Di Semarang, Kepala BPBD Jateng Sarwa Pramana mengatakan, pihaknya masih berkoordinasi dengan BNPB terkait opsi bom air. "Tidak mungkin karena tidak ada kanal-kanal untuk mengambil air langsung. Embung atau waduk ada, tetapi lokasinya terjal dan sangat berisiko jika menggunakan pesawat," kata dia.
Kepastian soal bom air baru akan jelas pada hari Kamis ini. Yang pasti, hingga kemarin belum semua api yang membara bisa dikendalikan. Tim di lapangan diminta menggunakan cara manual sebisa mungkin.
Kepala Departemen Perlindungan Hutan Perum Perhutani Divre Jatim Arief Herlambang memprediksi kebakaran yang melanda hutan di lereng Gunung Lawu akan berlangsung hingga beberapa hari ke depan. Stok material yang mudah terbakar sangat banyak, karena keringnya musim. Material itu berupah serasah yakni sampah-sampah organik berupa tumpukan daun kering, ranting, dan sisa vegetasi lain yang terserak di lantai hutan.
“Tinggi semak belukar kering mencapai tiga meter. Kendala lain, lokasi titik api yang sulit dijangkau karena medan di lereng gunung sangat terjal,” kata Arief.
Hal itu diperparah upaya pemadaman kebakaran hutan yang mengandalkan cara manual dengan memukulkan ranting basah pada kobaran api. Meski telah mengerahkan ratusan personel gabungan dari Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Lawu Dan Sekitarnya (DS), TNI, Polri dan BPBD serta masyarakat sekitar hutan, upaya tersebut kurang efektif.
Pemantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), risiko kebakaran di Pulau Jawa masih tinggi. Itu disebabkan angin kencang dan cuaca panas. Puncak musim panas di Jawa diperkirakan masih akan berlangsung sepanjang September hingga Oktober 2018.
Makassar terpanas
Pantauan BMKG terhadap titik panas menggunakan satelit Terra/Aqua menunjukkan ada tujuh titik panas di Jawa, dengan derajat kepercayaan 81-100 persen. Aplikasi Geohotspot BMKG yang berbasis satelit Himawari juga mengonfirmasi adanya titik panas di Kalikajar-Wonosobo dan Tomo-Sumedang.
Risiko atau potensi kebakaran hutan dan lahan di beberapa lokasi di Pulau Jawa diukur dari cuaca panas, angin kencang, lama tak hujan, permukaan tanah kering, dan banyaknya tanaman mengering. "Ini pemicu tingkat kemudahan kebakaran hingga kategori sangat mudah," kata Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto.
Suhu udara panas terpantau di beberapa tempat. Suhu tertinggi terpantau di Makassar dan di Ciputat, Banten, dengan suhu maksimum sempat 37 derajat Celcius. Di Semarang, suhu tertinggi 36,4 derajat Celcius dan Kemayoran 35,1 derajat Celcius.
"Suhu tinggi di beberapa lokasi ini lebih karena variasi harian. Indikasinya, saat ini kondisi suhu sudah mulai menurun. Misalnya, di Ciputat kini sudah mencapai 35 derajat celcius. Tingginya suhu di sejumlah daerah ini karena kulminasi gerak semu matahari pada bulan September ini berada dekat ekuator," kata dia.
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, temperatur maksimum siang hari di bulan September ini tergolong lebih tinggi. Misalnya di Semarang, suhu maksimum pada bulan September berkisar antara 33-35. Namun demikian, pada tahun 1997, 2006, 2009, dan 2015 tercatat suhu maksimal siang hari pernah mencapai lebih dari 36 derajat celcius.
"Dua hari hari lalu suhu tergolong tinggi sampai ada yang maksimum 37 derajat celcius. Di tahun-tahun lalu pada tahun normal maksimal 35 derajat celcius. Tapi pada umumnya 33-34 derajat celcius," kata dia.
Beda dengan tahun lalu, suhu tinggi kali ini tak terkait El Nino. "Sampai saat ini kondisi El Nino masih netral. Baru diprediksi menguat di atas +0,5 pada September-Oktober-November, sehingga ada peluang lebih panas lagi," kata dia.
Siswanto menambahkan, selain saat ini di Jawa hingga Nusa Tenggara Timur masih mengalami puncak musim kemarau, suhu tinggi kali ini juga dipengaruhi keberadaan siklon Mangkhut di Samudera Pasifik yang menarik sebagian besar masa udara dari wilayah Indonesia dan mengintesifkan kecepatan aliran angin monsun kering dari benua Australia. "Sebagai dampaknya udara lebih kering, cuaca cerah sedikit awan, dan suhu panas akibat radiasi langsung matahari di siang hari mnjadi lebih optimum," kata dia.
Sebagian besar wilayah Indonesia cenderung mengering dari tahun ke tahun.
Selain fenomena cuaca yang bersifat temporer ini, kajian klimatologis yang bersifat jangka panjang juga menunjukkan bahwa kondisi cuaca di Indonesia memiliki kecenderungan mengering. Kajian peneliti BMKG Supari dan tim menunjukkan, sebagian besar wilayah Indonesia cenderung mengering dari tahun ke tahun.
Disebutkan, sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan secara signifikan. Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara Timur termasuk yang paling parah mengalami penurunan hujan. Pada tahun 2031- 2051, penurunan total jumlah hujan tahunan diperkirakan mencapai 10 persen, sedangkan dari deret hari kering akan bertambah panjang hingga 20 persen.
Kebijakan terkait iklim
Di Jakarta, Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Indonesia Yunita Triwardani Winarto mempertanyakan kebijakan fleksibel pemerintah, khususnya bagaimana informasi iklim BMKG bisa dipahami dan diterjemahkan petani.
Ia merujuk kasus di Kabupaten Sumedang yang ia dampingi. Petani diajak tanggap perubahan iklim, seperti mencatat curah hujan. Semua berjalan baik hingga saatnya menentukan skenario penanaman sesuai kondisi iklim, dinas pertanian menolak karena harus memenuhi target kementerian.
Mengikuti kondisi curah hujan dan pola iklim, jenis yang ditanam petani bisa jagung, kedelai, atau lainnya. Tak harus padi. "Kebijakan pangan tanggap kondisi iklim belum terwujud di kabupaten, desa, kecamatan, dan petani. Di sisi lain kebebasan petani untuk tanggap perubahan iklim tidak mendapat dukungan, karena tidak sesuai dengan permintaan pemenuhan target,” kata Yunita.
Di Jawa Tengah, kekeringan meluas. Empat waduk mengering dan 13 waduk lainnya menyusut debit airnya. Hingga kini, 1.163 desa di 253 kecamatan dari 21 kabupaten/kota dilanda krisis air bersih.
Kepala Bidang Mitigasi Air Baku Dinas Pekerjaan Umum, Sumber Daya Air dan Penataan tata Ruang Provinsi Jawa Tengah, Ketut Arsa Indra Watara, mengatakan, dari daya tampung seluruh waduk di Jateng sebanyak 853,29 juta meter kubik, saat ini hanya tersedia 806,04 juta meter kubik.
“Meski ada penurunan cadangan air, namun dipastikan ketersediaan air baku, terutama untuk keperluan pertanian maupun stok bahan baku air bersih di beberapa daerah masih tercukupi. Seperti misalnya, irigasi di daerah aliran dari waduk Rawapening, tetap mengalir dan pintu airnya tidak pernah ditutup,” ujar Ketut.
Adapun waduk-waduk yang telah mengering, yakni Waduk Botok (Sragen), Waduk Plumbon (Wonogiri), Waduk Kedunguling (Wonogiri) serta Waduk Brambang (Sragen). Untuk waduk-waduk besar seperti Waduk Kedungombo, Waduk Wadaslintang, Waduk Gajahmungkur dan Waduk Cacaban dijamin aman karena stok airnya masih sesuai rencana yakni di atas 10 juta meter kubik.
Ketut menambahkan, kekeringan melanda sedikitnya 1.163 desa di 253 kecamatan dari 21 kabupaten/kota. Kekeringan tersebut berdampak pada sekitar 1,7 juta warga.
Jawa Barat siaga
Terkait kekeringan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih dalam siaga darurat kekeringan hingga Oktober 2018. Sebanyak 1,1 juta warga kekurangan air bersih, termasuk pertanian.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jawa Barat Didi Adji Siddik memaparkan, pihaknya telah memberi bantuan 4,1 juta liter air ke daerah terdampak. Namun, masyarakat yterdampak membutuhkan hingga 30 juta liter air per hari.
Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Indramayu Sutatang mengatakan, potensi lahan pertanian yang kering mencapai 2.000 hektar dan 900 ha di antaranya puso. Luasan itu tak sebanding dengan luas lahan pertanian keseluruhan Indramayu yang mencapai 116.000 hektar.
“Kekeringan tahun ini tidak mengganggu panen secara langsung karena masih banyak lahan yang mendapatkan pengairan langsung dari dua waduk ini. Kami juga meminta warga untuk tidak hanya menanam padi, tapi menyilangkan dengan palawija agar siklus hama menjadi terputus,” tuturnya.
Di Makassar, Ketua KTNA Sulawesi Selatan M Yunus mengatakan, kekeringan tahun ini tak terlalu berdampak besar pada lahan pertanian. Kelompok-kelompok tani telah menyesuaikan pola tanam dan varietas berdasar acuan cuaca BMKG.
“Kekeringan memang ada, tapi dampaknya tidak parah, karena petani telah mengantisipasi dengan teknologi itu,” ujar dia.
Penurunan produksi 50 persen dapat memangkas pendapatan petani hingga setengahnya.
Meskipun luasan kekeringan tak cukup besar, itu tetap memengaruhi produksi beras nasional. “Penurunan produksi 50 persen dapat memangkas pendapatan petani hingga setengahnya. Dengan musim kemarau panjang, potensi serangan hama penyakit bereproduksi cepat akan tinggi," kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah.
Untuk itu, kata dia, perlu langka strategis. Tidak hanya menyiapkan penyediaan air untuk pertanian. Namun, juga penguatan kapasitas petani untuk bersiap menghadapi situasi kemarau dan kelangkaan pangan.
Kekeringan atau musim kemarau tak hanya berdampak lokal dan nasional. Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dirilis di Jenewa, Swiss, menyebutkan, 275.000 orang terlantar akibat kekeringan di Afghanistan barat dan lebih dari dua juta lainnya terancam akibat kekeringan air.
Merujuk laporan PBB bertajuk “Kondisi Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia” yang dirilis terpisah, disebutkan bahwa peristiwa cuaca ekstrem adalah penyebab utama kelaparan global yang meningkat tahun lalu. Perempuan, bayi, dan orang-orang lanjut usia sangat rentan.
(ISW/DIT/WHO/GRE/ENG/RTG/AFP/REUTERS/BEN)