Warga Jatim Termasuk Sangat Mampu Mengangsur, Pasar Properti Masih Potensial
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Bank Indonesia, Kamis (13/9/2018), mulai menyosialisasikan kebijakan relaksasi tentang loan to value di Surabaya, Jawa Timur. Kebijakan loan to value dikendurkan untuk meningkatkan kredit perumahan yang di Jawa Timur berada di bawah rerata nasional.
Kepala Divisi Advisory dan Pengembangan Ekonomi Daerah BI Kantor Perwakilan Jatim Taufik Saleh seusai diskusi kelompok terfokus mengungkapkan, debt to service ratio (rasio utang terhadap pendapatan) di Jatim berada di angka 6,1 persen. Angka itu setara debt to service ratio (DSR) Jabar yang setingkat lebih tinggi daripada Jakarta (4,4 persen). DSR Jakarta merupakan yang terendah di antara 15 provinsi yang disurvei pada 2017 dengan responden 4.000 orang.
Adapun angka nasional untuk DSR adalah 10,9 persen. Angka ini masih berada di zona aman. DSR yang merupakan total cicilan plus bunga dibagi total penghasilan utama dikurangi beban penghasilan dikategorikan berisiko jika angka melebihi 30 persen.
”Di Jatim masih terbuka peluang untuk ditingkatkan kembali,” kata Taufik. Apalagi kredit perumahan di Jatim diklaim tumbuh. Pada 2016, pertumbuhan kredit tak sampai 10 persen. Namun, tahun ini sampai Juni saja, pertumbuhan kredit diklaim sudah menembus 11 persen.
Angka 6,1 persen itu berarti warga Jatim masih mampu membeli lagi barang secara mengangsur. Misalnya, sudah mengangsur rumah, warga masih mampu mengangsur kepemilikan tanah, kendaraan bermotor, emas, dan atau produk investasi lainnya.
Lalu, apa kendala potensial yang membuat warga Jatim seakan enggan mengangsur tambahan? Deputi Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensia BI Ita Rulina menduga kendalanya persepsi. Misalnya, ada kalangan warga sedang mengangsur kepemilikan kendaraan bermotor atau elektronik. Mereka merasa mampu menambah beban dengan mengangsur kepemilikan rumah. Namun, rencana itu dilarang orangtua atau kerabat yang cemas dengan kemampuan mengatasi beban angsuran yang bertumpuk.
Bisa juga persepsi pribadi bahwa sudah mengangsur kepemilikan rumah pertama. ”Kemudian, misalnya menikah dan mau kredit rumah kedua untuk investasi menjadi ragu sebab mungkin ingin menyelesaikan cicilan rumah pertama terlebih dahulu,” kata Ita. Padahal, dalam catatan BI, pertumbuhan kredit pemilikan rumah atau KPR secara umum menjanjikan. Misalnya untuk rumah tapak tipe 22-70, pertumbuhan KPR sampai Agustus 2016 adalah 13,9 persen. Namun, setelah itu sampai Mei 2018, pertumbuhan KPR mencapai 21,1 persen.
Kurun waktu yang sama, untuk properti kategori investasi, misalnya apartemen tipe 70, kreditnya juga tumbuh, dari 3,6 persen menjadi 19,7 persen. Rumah tapak tipe 70 kreditnya tumbuh dari 1 persen ke 7,6 persen.
Sesuai laporan enam developer besar yang dirangkum BI, penjualan properti menurun pada 2014. Namun, dua tahun kemudian, pengembang mampu menjual 8.314 unit properti yang setahun kemudian meningkat menjadi 11.589 unit. ”Dari angka itu, kami meyakini kredit properti masih bisa ditingkatkan dengan salah satunya kebijakan relaksasi,” kata Ita.
Sebelumnya, kebijakan KPR fasilitas pertama adalah loan to value (LTV) dari bank rata-rata 80 persen. Artinya, konsumen harus menyiapkan uang muka 20 persen sebelum mengangsur. Namun, saat ini, LTV fasilitas pertama diserahkan kepada bank dengan harapan uang muka bisa sekecil mungkin di bawah 20 persen.
Apakah program KPR dengan uang muka nol persen memungkinkan? Jika memungkinkan pun, uang muka nol persen akan berdampak pada besarnya nilai cicilan. ”Itu kembali ke banknya apakah mau dan dengan skema itu likuiditasnya tetap bagus juga kepercayaan terhadap konsumennya akankah mampu membayar meski cicilan jadi besar,” kata Ita.
Dosen ilmu ekonomi Universitas Brawijaya Dias Satria sebagai moderator dalam diskusi mengharapkan pengenduran kebijakan properti dari BI mampu mendorong pertumbuhan kredit sektor tersebut. Kendala atau keluhan dari mitra perbankan, pengembang, atau lembaga keuangan lainnya perlu didengar dan diakomodasi.