Ekspansi Bisnis Industri Sawit Hadapi Banyak Tantangan
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri kelapa sawit Indonesia menghadapi banyak tantangan untuk ekspansi bisnis. Sementara kelapa sawit adalah tumpuan pendapatan devisa negara di sektor nonmigas.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono dalam diskusi panel ekonomi terbatas yang digelar harian Kompas di Jakarta, Jumat (14/9/2018), mengatakan, tren produksi kelapa sawit saat ini terus menurun dan diproyeksikan terjadi hingga 2020.
Gapki mencatat, Indonesia memproduksi 42,04 juta ton minyak sawit. Sebanyak 31,05 juta ton ditujukan untuk ekspor. ”Sementara itu, produksi kelapa sawit melambat rata-rata tiga persen per tahun,” katanya.
Sebanyak 50 negara menjadi tujuan ekspor, seperti India, Uni Eropa, China, dan Timur Tengah. Namun, masih ada hambatan dari sisi eksternal bagi industri sawit untuk berkembang. Di Uni Eropa, sawit dihantam isu lingkungan, sedangkan di beberapa negara seperti India, tarif impor melonjak.
Pelaku usaha, tutur Joko, membutuhkan perjanjian perdagangan antarnegara. Model perdagangan penjualan sawit saat ini ibarat transaksi di pasar, produk dilempar ke pasar untuk ditawarkan kepada negara yang berminat.
Pelaku usaha membutuhkan perjanjian perdagangan antarnegara.
Dengan adanya perjanjian, pelaku industri memiliki kepastian dalam berbisnis karena telah memiliki pasar tetap. Beberapa negara di Eropa, seperti Perancis, masih menunjukkan minta untuk membeli sawit Indonesia.
Adapun India masih menjadi pasar ekspor terbesar Indonesia, yakni 7,62 juta ton pada 2017. Namun, pada tahun 2018, jumlah ekspor turun karena kenaikan tarif impor yang mencapai 48 persen.
Joko melanjutkan, India sebenarnya masih menjadi sebuah pasar potensial. Kenaikan tarif tersebut terjadi diperkirakan akibat India memasuki tahun politik, sama seperti Indonesia.
”Pemerintah dapat menurunkan tarif ekspor bagi pelaku bisnis selama enam bulan misalnya,” kata Joko. Hal itu untuk menutup tambahan biaya yang dibutuhkan pebisnis untuk ekspor ke India.
Pemerintah dapat menurunkan tarif ekspor bagi pelaku bisnis industri sawit selama enam bulan.
Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, menambahkan, sawit adalah komoditas pertanian yang baik untuk dikembangkan. Hampir tidak ada produk sisa hasil olahan sawit yang tidak bisa dimanfaatkan.
”Selain itu, industri sawit juga semakin akrab dengan alam,” tutur Faisal. Misalnya, penggunaan hewan predator untuk menangkap hama tikus ketimbang racun.
Joko meyakini, pasar untuk industri sawit masih terbuka besar karena kebutuhan minyak dari produk agrikultur global terus meningkat. Apalagi, sawit adalah salah satu produk unggulan ekspor nonmigas Indonesia. Surplus ekspor sawit sangat besar, dapat mencapai hingga 70 persen.
Daya saing
Joko melanjutkan, masalah jangka panjang lainnya yang dihadapi adalah daya saing produk sawit yang dimiliki Indonesia. Saat ini, pesaing terbesar Indonesia berasal dari Malaysia.
”Sawit merupakan produk ekspor yang penting tidak hanya dari sisi penyedia lapangan kerja, tetapi juga karena mengandung 100 persen local content,” tuturnya.
Sawit merupakan produk ekspor yang mengandung 100 persen local content.
Ia berharap, pemerintah mulai menunjukkan komitmen nyata untuk mendukung sawit sebagai komoditas ekspor andalan Indonesia dengan tidak membuat regulasi yang kontraproduktif. Infrastruktur, seperti pelabuhan, juga perlu untuk menjadi perhatian.