Populasi dunia yang menua membuat jumlah penderita dan kematian akibat berbagai jenis kanker di seluruh dunia terus naik. Sebagai wilayah dengan jumlah penduduk terbesar, hampir separuh kematian akibat kanker itu terjadi di Asia. Indonesia, meski masih tergolong negara dengan kasus dan kematian menengah bawah akibat kanker, perlu tetap waspada karena pelan tapi pasti, jumlahnya terus naik.
Studi yang dilakukan Badan Riset Kanker Internasional (IARC) yang berbasis di Lyon, Perancis dan dipublikasikan Rabu (12/9/2018) menyebut pada 2018 ada 18,1 juta kasus kanker baru dan 9,6 juta kematian akibat kanker di seluruh dunia. Data itu dikumpulkan dari 185 negara terhadap 36 jenis kanker yang ada.
Dibandingkan data 2012, jumlah kasus baru dan kematian akibat kanker itu meningkat pesat. Saat itu, ada 14,1 juta kasus kanker baru dan 8,2 juta kematian akibat kanker. Itu berarti, hanya dalam enam tahun, ada kenaikan 28 persen kasus kanker baru dan 17 persen kematian yang dipicu kanker.
Hanya dalam enam tahun, ada kenaikan 28 persen kasus kanker baru dan 17 persen kematian yang dipicu kanker.
Pada 2018, satu dari lima laki-laki dan satu dari enam perempuan akan menderita kanker sepanjang hidupnya. Sementara satu dari delapan laki-laki dan satu dari 11 perempuan akan meninggal akibat kanker.
Data itu menunjukkan, risiko laki-laki menderita dan meninggal akibat kanker lebih besar dibanding perempuan. Perempuan juga memiliki peluang hidup lebih tinggi dibanding laki-laki pada 5 tahun setelah didiagnosis kanker. Dari 43,8 juta orang yang masih mampu bertahan setelah 5 tahun didiagnosis menderita kanker, 52 persennya adalah perempuan.
Risiko laki-laki menderita dan meninggal akibat kanker lebih besar dibanding perempuan. Perempuan juga memiliki peluang hidup lebih tinggi dibanding laki-laki pada 5 tahun setelah didiagnosis kanker.
Jumlah kasus baru dan kematian akibat kanker tertinggi ada di negara-negara maju. Makin sejahtera perekonomian sebuah negara, makin tinggi pula kasus kanker yang ada. Negara-negara berkembang termasuk Indonesia perlu tetap waspada karena pelan tapi pasti jumlah penderita dan kematian akibat kanker akan terus naik seiring membaiknya ekonomi masyarakat.
Meski demikian, menyikapi situasi itu perlu hati-hati. Meningkatnya kasus dan kematian akibat kanker itu lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup masyarakat, yang makin tidak sehat dan memperbesar risiko kanker.
Perkembangan beberapa jenis kanker juga dipengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi suatu negara. Kondisi itu terlihat dari cepatnya pertumbuhan kanker di sejumlah negara berkembang. Jika semula penyakit yang banyak muncul berkaitan dengan kemiskinan dan penyakit infeksi, kini jenis penyakitnya bergeser ke penyakit-penyakit yang muncul di negara industri, yaitu penyakit tidak menular seperti kanker.
Karakteristik kanker
Dari seluruh kasus kanker baru yang muncul pada 2018, jenis kanker yang paling banyak diderita masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin adalah kanker paru sebanyak 11,6 persen, kanker payudara pada perempuan (11,6 persen) dan kanker kolorektal (10,2 persen). Kanker kolorektal itu terdiri atas tiga jenis kanker, yaitu kanker usus besar (kolon), kanker rektum (bagian akhir usus besar), dan kanker anus.
Repotnya, kematian akibat tiga jenis kasus kanker terbanyak itu membawa 36,71 persen kematian dari seluruh kematian akibat kanker.
Jenis kanker yang paling banyak di derita laki-laki masih didominasi oleh kanker paru, kanker prostat dan kanker kolorektal. Sedangkan pada perempuan, masih didominasi kanker payudara, kanker kolorektal dan kanker paru.
Para ahli menyoroti peningkatan pesat kanker paru pada perempuan. Kanker paru banyak membunuh perempuan di 28 negara, beberapa di antaranya adalah Amerika Utara, Eropa Barat dan Utara (khususnya Denmark dan Belanda), China serta Australia dan Selandia Baru.
George Butterworth dari badan amal Riset Kanker (Cancer Research) Inggris mengatakan tembakau, termasuk rokok, adalah pemicu dari makin banyaknya perempuan yang menderita kanker paru di seluruh dunia.
Tembakau, termasuk rokok, adalah pemicu dari makin banyaknya perempuan yang menderita kanker paru di seluruh dunia.
“Rokok makin populer di kalangan perempuan di negara berpenghasilan rendah dan menengah,” katanya seperti dikutip BBC.
Di banyak negara, jumlah perokok perempuan terus meningkat. Tak hanya dianggap sebagai bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meningkatnya perokok perempuan juga dianggap sebagai bagian dari gaya hidup agar tidak dianggap kuno atau cupu (culun punya). Padahal, risiko terkena kanker paru pada perempuan perokok aktif lebih besar dibanding laki-laki perokok aktif. (Kompas, 15 Januari 2018)
Iklan dan pemasaran rokok yang makin masif serta menjangkau anak dan perempuan juga turut mendorong makin banyak perempuan merokok.
“Penerapan Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC) yang digagas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mampu mengurangi perokok aktif dan mencegah paparan asap rokok (pada perokok pasif) di banyak negara,” kata Kepala Seksi Surveilans Kanker IARC Freddie Bray yang juga memimpin studi seperti dikutip dari situs IARC.
Di Indonesia, kanker paru memang masih jadi pembunuh utama pada laki-laki akibat kanker. Pada perempuan, kanker paru belum menjadi penyebab kematian utama. Namun, terus bertambahnya perokok perempuan perlu jadi perhatian khusus. Apalagi, Indonesia hingga kini jadi negara besar yang belum menandatangani FCTC.
Kondisi itu membuat pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mulai menyesuaikan kebijakan guna mengendalikan dan mencegah kanker. Jika pemerintah tidak siap atau gagal, beban ekonomi yang tinggi akibat kanker harus siap ditanggung. Kondisi itu bukan hanya membebani biaya kesehatan masyarakat dan negara, namun juga bisa menghambat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negara.