Kembang Goyang, Ungkapan Seni Kegelisahan Perempuan
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Enam perempuan seniman mengekspresikan persoalan kaum perempuan yang terkungkung dalam nilai-nilai sosial. Lewat media seni rupa beragam dan apik, karya-karya mereka menyuarakan kritik atas pandangan normatif terhadap perempuan.
Bertajuk Kembang Goyang, pameran seni rupa yang digelar di Cemara Enam Galeri Museum, Menteng, Jakarta Pusat, ini menyajikan delapan karya seni berbentuk foto, instalasi, dan olahan keramik. Pameran ini berlangsung hingga 26 September mendatang.
Pada pembukaan pameran, Kamis (13/9/2018) malam, kurator pameran Dike Trivinggar mengatakan, Kembang Goyang dipilih sebagai judul pameran karena mengungkapkan suara kegelisahan kaum perempuan menanggapi persoalan sosial di sekitarnya.
”Keenam perempuan dalam pameran ini merasakan kegelisahan atas persoalan-persoalan mereka, juga dari sekitar mereka. Tetapi, mereka tak diam, terus ’goyang’, bikin gerakan dengan berkarya sebagai caranya,” kata Dike.
Pameran ini diselenggarakan sebagai ruang berkarya bagi seniman-seniman baru, khususnya lulusan Jurusan Seni Rupa Fakultas Industri Kreatif Universitas Telkom. Mereka terdiri dari empat lulusan Universitas Telkom dan dua pengajar di kampus tersebut. Pengajar Jurusan Seni Rupa Universitas Telkom yang terlibat dalam pameran ini, Nia Gautama, menjadi inisiator ekshibisi ini.
”Kami (para dosen) mendorong seniman baru dari lulusan mahasiswa yang belajar seni rupa di Universitas Telkom. Kami mengantarkan dan mendampingi mereka,” ujar Nia.
Seniman Indita Dwi Utami menyuarakan kegundahannya soal standar umum kecantikan yang dilekatkan pada perempuan yang terbatas pada perihal fisik. Pada ujung-ujung selang infus bergelantungan dan dialiri air, Indita mengaitkan sebuah potongan keramik kecil berbentuk bagian-bagian tubuh perempuan: bibir, jari, hidung, torso, dan kaki. Karya instalasi berjudul ”Perceiving the Perfection” ini menempatkan pula kuntum-kuntum mawar merah yang menggenang dalam setiap botol infus di atasnya.
”Perempuan yang disimbolkan dengan mawar itu pada akhirnya akan rapuh dan hilang, walaupun dia dilindungi atau dirawat. Yang disayangkan adalah penerimaan atas perempuan itu lebih ditentukan pada segi kecantikan atau bagaimana perawatan atas tubuhnya, bukan inner beauty, karya, atau pemikirannya,” ungkap Indita yang menempuh jurusan seni rupa bidang peminatan studio patung.
Keterbatasan dalam diri perempuan turut diungkapkan oleh seniman lain, Fairly Apriani (23). Ia menghadirkan sosok perempuan tegap tak berpakaian lewat lukisan cat minyak di atas akrilik. Sejengkal dari posisi si perempuan, selapis pintu kayu tanpa gagang membuka. Fairly menggunakan amsal menarik dan ringkas dalam karya berjudul ”Path We Didn’t Choose” ini.
”Pintu yang belum jadi itu sebagai lambang perempuan yang mengalami perkembangan diri. Sebenarnya ada banyak pintu yang terbuka untuk perempuan. Sayangnya, perempuan sering terjebak oleh pilihannya sendiri yang terbatas. Mereka inferior,” tutur Fairly yang kini juga bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan keramik.
Apresiasi
Budayawan Toety Heraty Noerhadi N Roosseno mengapresiasi karya yang dipajang dalam pameran ini sebagai ungkapan kejujuran dalam menyampaikan realitas. Ia mengungkapkan, kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri masih perlu terus dipertanyakan. Hal ini mencakup problem kaum perempuan urban yang diimpit dengan berbagai nilai modernitas.
”Zaman terus berkembang. Perempuan harus harus jeli menentukan nasib hidupnya sendiri,” kata Toety yang menaruh perhatian serius pada isu feminis. Sebagai pemilik Cemara Enam Galeri Museum, Toety menyambut baik ekshibisi ini.
Zaman terus berkembang. Perempuan harus harus jeli menentukan nasib hidupnya sendiri
Sementara itu, Nia menawarkan pandangan berbeda. Pada satu karyanya dari lempeng tembaga yang berbentuk rahim, ia mau mengingatkan bahwa laki-laki dan perempuan pada dasarnya setara. Di situ tertulis sebuah pertanyaan: ”Do you remember?”.
”Di situ saya mau bilang kepada para lelaki. Ingat, nggak, sih, kamu itu dilahirkan dari seorang ibu, seorang perempuan? Perempuan juga diingatkan bahwa diri mereka diberikan kekuatan untuk melahirkan manusia,” ujarnya. (ROBERTUS RONY SETIAWAN)