Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas dinyatakan bahwa pemerintah bersama badan usaha wajib meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Urusan tambang bukan semata pekerjaan menggali dan menjual.
Sayangnya, pemerintah sendiri tampak gamang untuk urusan hilirisasi ini. Setelah sempat mengeluarkan larangan ekspor mineral mentah selama periode 2014-2016, mulai 2017, keran ekspor mineral mentah dibuka kembali, yaitu untuk bijih bauksit dan nikel kadar rendah. Hanya saja, syarat ekspor diperketat yang dibarengi dengan kewajiban pembangunan smelter. Tidak ada kemajuan pembangunan smelter, izin ekspor dicabut.
Sekadar catatan, fakta hilirisasi ini (pengolahan dan pemurnian mineral di smelter) belum sepenuhnya komprehensif. Meski mineral dimurnikan di dalam negeri sampai menjadi logam yang siap olah, tetap saja itu belum bisa dikatakan sudah menjadi produk akhir. Masih perlu pengolahan berikutnya sampai benar-benar berwujud produk akhir yang digunakan konsumen.
Sebagai contoh timah. Ekspor timah oleh PT Timah Tbk, perusahaan milik negara yang kini menjadi anak usaha PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, pada 2017 sebanyak 27.000 ton, sedangkan pasokan ke dalam negeri hanya 3.000 ton. Tahun ini angka proyeksi ekspor sekitar 28.000 ton dan jumlah pasokan ke pasar domestik masih sama dengan tahun lalu.
Dominannya volume ekspor bisa menjadi indikator bahwa industri di dalam negeri yang menggunakan timah sebagai bahan baku utama belum optimal. Timah bisa menjadi bahan campuran logam ringan atau komponen kendaraan dan berbagai jenis produk lain.
Begitu pula dengan nikel dan feronikel. Feronikel adalah pengolahan lebih lanjut dari bijih nikel dengan kandungan besi masih sebesar 80 persen. Dari data yang ada, ekspor bijih nikel pada 2017 sebanyak 2,7 juta ton dan serapan domestik hanya 204.000 ton. Adapun proyeksi 2018 untuk ekspor nikel sebanyak 4 juta ton dan serapan domestik hanya 201.000 ton.
Tampaknya, hilirisasi yang belum komprehensif ini ada pengaruhnya dengan persoalan koordinasi di tubuh pemerintah sendiri.
Nilai jual mineral yang sudah diolah dan dimurnikan jauh melebih nilai saat masih berwujud bijih. Bijih nikel, misalnya, ketika diolah menjadi feronikel nilainya melonjak menjadi 10 kali lipat. Apabila pengolahan dilanjutkan menjadi stainless steel, nilainya terus naik hingga 19 kali lipat.
Hal yang sama terjadi pada bauksit. Saat diolah menjadi alumina, nilainya sebesar delapan kali lipat dari nilai bijih bauksit. Ketika diolah dan dimurnikan menjadi batang aluminium, harganya meroket sebesar 30 kali lipat.
Hal yang sama juga bisa diterapkan untuk batubara. Sayangnya, hilirisasi tambang jenis ini jauh lebih minimalis. Hanya digali dan dijual. Padahal, batubara bisa diproses menjadi gas (gasifikasi batubara).
Gas dari batubara bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk industri pupuk maupun petrokimia. Di China, gasifikasi batubara disebut-sebut sudah bisa menghasilkan avtur, bahan bakar utama pesawat terbang.
Tampaknya, hilirisasi yang belum komprehensif ini ada pengaruhnya dengan persoalan koordinasi di tubuh pemerintah sendiri. Belum ada keterpaduan antar instansi. Seperti yang diakui Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin, eksekusi hilirisasi lemah meski cetak birunya sudah ada.
Dibutuhkan kepemimpinan kuat untuk mewujudkan hilirisasi mineral dan batubara yang sebenarnya. Sesuai amanat konstitusi, sumber daya alam harus mampu memberi sebesar-besarnya kemakmuran untuk rakyat.