Sejumlah partai lebih mementingkan perolehan suara di pileg daripada memenangi pilpres. Hal ini membuat capres-cawapres mesti lebih menjaga kerja partai pendukung di pilpres.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik lebih mengutamakan perolehan suara legislatif untuk dirinya dibandingkan dengan memenangkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung. Kondisi ini berpotensi memengaruhi mesin partai dalam memenangkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil, Kamis (13/9/2018), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, mengatakan, fokus utama partainya di pemilu mendatang adalah memastikan semua calon anggota legislatifnya memperoleh suara sebanyak-banyaknya di pemilu legislatif (pileg).
”Ini karena masa depan partai ada di sini (DPR), bukan di presiden. Apalagi, partai tidak ikut mengusung capres-cawapres. Jadi, masa depan di tangan calegnya sendiri. Kalau Pak Prabowo menang, lalu kami tidak bisa masuk parlemen, kan, sama saja,” katanya.
Langkah ini diambil juga karena kontestasi di pileg mendatang akan lebih ketat. Pasalnya, ambang batas parlemen naik menjadi 4 persen dari sebelumnya 3,5 persen di Pemilu 2014.
Ia menyadari, hal tersebut akan berpengaruh pada tidak maksimalnya mesin pemenangan koalisi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mereka dukung di pemilihan presiden.
”Kami tetap akan mendekati dan meyakinkan (memilih Prabowo), tetapi itu tidak mengikat. Karena situasi sangat cair, pintar-pintar saja membawa diri di lapangan,” ujar Nasir.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan, kondisi pemilu serentak memang membuat partai harus menyusun strategi yang tepat agar bisa memenangi pileg dan pilpres. Pada dasarnya, PKS akan menyuarakan mendukung Prabowo-Sandiaga di pilpres. ”Tetapi, di pileg kami juga punya calon sendiri,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Yandri Susanto. Ia mengatakan, partainya tetap mengarahkan caleg dan pengurus daerah berkampanye mendukung Prabowo-Sandiaga. Namun, jika hal itu tidak memungkinkan, caleg harus mengamankan perolehan suara dan kursi untuk partai. ”Kami harus sadar, suara di pileg dan pilpres itu memang berbeda,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan mengatakan, jika ada satu atau dua kader yang tak sejalan dengan keputusan partai untuk mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga, jumlah mereka tidak signifikan.
Pembagian kekuasaan
Tim Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengklaim fenomena fragmentasi dukungan dari partai-partai koalisi tidak akan terjadi di koalisinya. Ini karena kursi dan porsi di tim pemenangan dibagi secara merata untuk semua partai koalisi.
”Sejak awal kami bangun prinsip kebersamaan dan saling berbagi. PDI-P tidak terpikir untuk mencalonkan semua posisi presiden, wapres, dan ketua timses dari kader PDI-P. Semua partai koalisi kami beri posisi terhormat,” kata Wakil Sekjen PDI-P Ahmad Basarah.
Pembagian kekuasaan secara merata itu tidak hanya dalam pembagian peran di tim pemenangan, tetapi juga saat pembagian portofolio menteri kabinet jika Jokowi-Ma’ruf menang di Pemilu 2019. Diharapkan, hal itu dapat mengikat soliditas dan memaksimalkan mesin partai koalisi.
Partai-partai juga butuh garansi bahwa di pemilu serentak ini mereka juga dapat manfaat elektoral dari capres-cawapres yang diusung. Maka, partai kemungkinan akan lebih realistis dan memusatkan perhatian pada upaya mengamankan posisinya di pileg.
Basarah membantah hal itu sebagai bentuk pragmatisme politik dan berbagi kursi kekuasaan secara transaksional. ”Kami hindari diksi pragmatisme bagi-bagi kekuasaan. Kami ingin menjabarkan demokrasi Pancasila, kebersamaan dan gotong royong, dalam konteks pengelolaan negara,” katanya.
Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas mengatakan, fenomena yang kini terjadi merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan pileg dan pilpres secara serentak. ”Partai-partai juga butuh garansi bahwa di pemilu serentak ini mereka juga dapat manfaat elektoral dari capres-cawapres yang diusung. Maka, partai kemungkinan akan lebih realistis dan memusatkan perhatian pada upaya mengamankan posisinya di pileg,” katanya.
Sikap partai yang realistis dan pragmatis itu berpengaruh pada negosiasi pembagian kekuasaan saat menjabat. ”Akan ada reorganisasi koalisi dan renegosiasi power sharing. Soliditas koalisi akan dipengaruhi perolehan suara di pileg, yang berpengaruh pada negosiasi power sharing untuk partai,” ujarnya.