Sepanjang beberapa tahun terakhir, kampanye mengurangi penggunaan kantong plastik cukup masif dilakukan di negeri ini. Bahkan, muncul kebijakan konsumen dikenai biaya jika menggunakan kantong plastik yang disediakan di pusat-pusat perbelanjaan. Kebijakan ini diikuti kampanye penggunaan tote bag pribadi yang bisa dipakai berulang kali atau dari bahan daur ulang. Sempat booming dan menjadi tren, termasuk di Jakarta dan sekitarnya, tetapi lantas semua meredup. Di mal-mal, kantong plastik mulai biasa dibagikan gratis kembali. Tujuan utama mengendalikan sampah plastik tak tercapai.
Penggunaan kantong plastik untuk konsumsi barang dan jasa relatif kini terus dilakukan secara luas. Relatif belum diketahuinya jenis kantong plastik yang lebih mudah terurai serta faktor harga ditengarai menjadi penyebabnya.
Selain itu, kesadaran konsumen dan produsen dalam membatasi penggunaan kantong plastik demi keberlanjutan lingkungan hidup juga masih menjadi tantangan relatif besar. Coba tengok di kanan kiri kita saat melaju di jalan raya atau saat berjalan santai di trotoar, bermacam sampah plastik masih mudah ditemui. Entah kantong plastik atau bekas kemasan air mineral, terserak di ruas jalan atau di sudut lahan kosong. Di tempat sampah di tiap rumah atau perkantoran, juga di tempat pengumpulan sampah sementara dan tempat pengumpulan sampah akhir di tingkat kelurahan, kecamatan atau kota, kasat mata didominasi sampah plastik. Di saluran dan sungai-sungai hingga laut Jakarta dan sekitarnya, plastik juga eksis.
Sama seperti di sejumlah pasar lain di ibu kota, Rabu (12/9/2018) di Pasar Pos Pengumben, Jakarta Barat, pedagang sayur-sayuran, telur, ikan asin, umbi-umbian, cabai, hingga bumbu olahan tampak langsung membungkus barang-barang permintaan pembeli dengan kantong plastik. Pada beberapa komoditas seperti telur dan kentang, kantong plastik yang dipergunakan bahkan mencapai dua lapis untuk mencegah robeknya kantong plastik.
Salah seorang penjual kentang yang juga menawarkan cabai serta bumbu di kiosnya, Zaenal mengatakan, ia tidak mengetahui jika ada jenis plastik selain yang biasa dipergunakannya. Ia hanya mengetahui jenis plastik konvensional yang butuh waktu hingga berabad-abad untuk bisa terurai itu.
Zaenal sama sekali tidak mengetahui bahwa saat ini terdapat jenis bioplastik (biodegradable) yang terbuat dari biomassa atau tepung nabati. Selain itu, ada pula jenis oxo-degradable dengan termoplastik yang ditambah aditif prodegradant guna mengakselerasi proses degradasi materi di lingkungan.
Hal ini sekalipun belum ada bukti bahwa plastik jenis oxo-degradable dapat terurai sempurna di lingkungan. Berdasarkan catatan Kompas, jumlah mikroplastik di laut bahkan akan bertambah dengan keberadaan polimer oxo-degradable.
Adapun di sisi konsumen, cenderung tidak banyak yang menggunakan alternatif kantong plastik konvensional. Hanya sebagian kecil yang membawa tas untuk berbelanja.
Itupun hanya terbatas pada komoditas tertentu seperti sayur-sayuran. Sementara untuk komoditas lainnya seperti ikan asin, telur, hingga bumbu-bumbu basah, tetap mesti dibungkus dengan kantong plastik berbagai ukuran.
Sementara pada bidang jasa, penggunaan pembungkus plastik konvensional juga cenderung lazim terjadi pada sebagian binatu. Pakaian-pakaian yang usai dicuci, langsung dibungkus dengan plastik konvensional yang baru akan bisa terurai selama beratus-ratus tahun setelah dipergunakan dalam waktu relatif sangat singkat.
Selain itu, faktor harga plastik konvensional yang relatif lebih murah dibandingkan plastik yang relatif ramah lingkungan (biodegradable) juga cenderung jadi penyebabnya. Harga 70 lembar kantong plastik konvensional ukuran 24 sentimeter X 40 sentimeter ditawarkan dengan harga Rp 14.500 pada salah satu pelantar e-dagang. Sementara 50 lembar kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan dengan ukuran sama, ditawarkan Rp 31.500 pada sebuah pelantar e-dagang yang berbeda
Pembatasan plastik
Sementara dari sisi aturan, pada 2016 lalu pemerintah telah melakukan uji coba pembatasan penggunaan kantong plastik pada pasar ritel modern 23 kota se-Indonesia. Caranya dengan mengharuskan konsumen membeli plastik seharga Rp 200 jika hendak menggunakannya sebagai pembungkus.
Penerapan kantong sampah berbayar ini relatif menunjukkan hasil positif. Catatan Kompas menunjukkan, dalam uji coba selama tiga bulan sejak 21 Februari 2016 itu terjadi penurunan antara 40 persen hingga 50 persen kantong plastik di Jakarta. Adapun produksi sampah plastik di Jakarta, ketika itu, sekitar 1.200 ton perhari.
Akan tetapi, pada saat ini penggunaan plastik konvensional cenderung terus meluas. Selain di pasar tradisional, kondisi serupa juga terjadi di sebagian usaha ritel modern yang menyebar hingga berbagai kawasan permukiman.
Kepala Bidang Pengelolaan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Achmad Hariadi, pada Rabu mengatakan bahwa saat ini sudah dilakukan sejumlah upaya lanjutan setelah uji coba penerapan kantong plastik berbayar. Ahmad mengatakan pada saat ini pihaknya sedang meminta masukan dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait hal tersebut.
“Nanti kita (juga) akan undang dari pengusaha ritel dan komunitas-komunitas untuk diminta masukannya,” ujar Ahmad. Namun ia tidak menyebutkan kapan tepatnya waktu untuk melakukan hal tersebut.
Ia menambahkan, proses lanjutan setelah masukan tersebut diterima adanya kebijakan dengan rancangan peraturan gubernur. Hal ini merupakan implementasi Peraturan Daerah Nomor 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah.
Adapun di tingkat pusat, saat ini tengah disusun rancangan peraturan menteri tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen dan pengurangan sampah kantong plastik. Berdasarkan catatan Kompas, setelah uji coba kantong plastik berbayar berakhir, Kota Banjarmasin, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Badung membuat peraturan daerah mengenai pembatasan kantong plastik.