JAKARTA, KOMPAS - Adanya sejumlah hakim di daerah yang mengeluh ke Komisi Yudisial, terkait iuran dan pengumpulan dana untuk sejumlah kegiatan di luar tugas pokok mereka, mengindikasikan belum optimalnya perbaikan kultur di Mahkamah Agung. Karakter lama birokrasi di institusi pengadilan yang berpotensi mengancam kemandirian hakim, seperti adanya konsep atasan dan bawahan, membuat hakim cenderung tunduk pada keinginan atasan atau institusi.
Anggota Komisi Yudisial (KY), Aidul Fitriciada Azhari, Kamis (13/9/2018), di Jakarta mengatakan, problem pengadilan di masa lalu adalah kentalnya birokratisasi yang dipicu oleh adanya intervensi eksekutif. Hakim menjadi tidak mandiri dan egaliter karena mereka tunduk pada birokrasi yang disusun eksekutif. Konsep atasan dan bawahan menjadi menonjol.
Sistem satu atap yang dibangun di Mahkamah Agung (MA) sejak era reformasi diharapkan bisa mengikis birokratisasi di lembaga pengadilan sehingga kemandirian hakim benar-benar tercapai. Hakim di pengadilan tingkat pertama bukan bawahan dari hakim di pengadilan tinggi, demikian juga dengan hakim tinggi yang bukan berarti bawahan dari hakim agung. Setiap hakim punya kemandirian yang sama dalam memeriksa dan memutus perkara.
”Hakim itu memiliki kemandirian secara institusi ataupun personal. Jangan sampai pola hubungan antara MA dan peradilan di bawahnya berkembang menjadi pola hubungan birokrasi. Jika hubungan yang bersifat birokratis itu terbangun, kami khawatir akhirnya akan mengganggu kemandirian hakim,” katanya.
Terkait hal itu, keharusan hakim mengumpulkan sejumlah uang untuk acara purnabakti seorang hakim tinggi atau iuran untuk kegiatan tenis serta penyambutan kunjungan pimpinan MA, menurut Aidul, seharusnya sudah tak terjadi saat ini.
KY, kata Aidul, juga khawatir sejumlah iuran itu membebani hakim dan selanjutnya hakim membebankannya kepada pihak yang beperkara. Akibatnya, akan terjadi celah korupsi berupa penerimaan suap atau gratifikasi.
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, MA telah mengembangkan birokrasi baru yang bahkan menghapus pungutan-pungutan tidak hanya bagi pegawai, tetapi juga pencari keadilan. Iuran yang dikenakan kepada hakim pun sifatnya organisasional.
”Kalau seseorang itu menjadi anggota organisasi, sewajarnya dia wajib membayar iuran. Dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) atau Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP) juga begitu. Itu sudah risiko sebagai anggota organisasi,” katanya.
Terkait dengan penyambutan oleh hakim di pengadilan daerah saat ada pimpinan MA yang berkunjung, menurut Suhadi, hal itu adalah wajar dan juga dilakukan oleh instansi lain. Namun, tidak ada kewajiban untuk mengumpulkan uang guna menyambut pimpinan.
Bukan kewajiban
Anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, mengatakan, kegiatan olahraga di lembaga negara adalah kegiatan sukarela sehingga sebaiknya tidak diwajibkan. Jika kegiatan ini menjadi wajib dan sampai membebani hakim, kebijakan ini merupakan hal yang tak patut dan ada potensi penggunaan anggaran yang tidak akuntabel.
”Sekalipun organisasi tenis (PTWP) itu merupakan organisasi resmi di MA, kegiatannya tetap sukarela karena tidak ada hubungannya dengan penegakan hukum yang menjadi tugas hakim. Fungsi pengadilan adalah mengadili. Main tenis bagus-bagus saja, tetapi tidak boleh hal itu dijadikan kewajiban untuk iuran,” kata Ninik.
Dalam beberapa hari terakhir ini, Ninik mengadakan inspeksi di sejumlah pengadilan di Jawa Barat. Dari hasil inspeksi diketahui, beberapa hakim tidak berada di tempat karena sedang mengikuti tenis yang digelar PTWP di Bali. ”Jika (acara tenis) sampai mengganggu tugas pokok hakim mengadili perkara, ini berpotensi merugikan pelayanan publik,” ujarnya.