DARUBA, KOMPAS – Kawasan Konservasi Perairan Pulau Rao di Kabupaten Morotai, Maluku Utara perlu diperluas untuk melindungi keanekaragaman hayati serta keberlanjutan perekonomian perikanan masyarakat setempat. Daerah yang dikenal sebagai tempat penyelaman bangkai pesawat tentara sekutu dan Jepang saat Perang Dunia Kedua ini pun kian dikenal sebagai tempat penyelaman bersama hiu.
Ekowisata penyelaman bersama hiu ini membutuhkan kesehatan ekosistem yang tinggi dan juga perlindungan dari perburuan. Karena itu selain mendukung jejaring kawasan konservasi perairan, perluasan KKP Pulau Rao ini juga membutuhkan pengelolaan yang kuat.
“Manfaat ekologi di sini yaitu kalau terumbu karang sehat, berarti laut juga sehat. Kemudian mangrove yang tebal itu banyak plasma nutfah, tempat subur untuk pembesaran larva. Jadi pasti nilai perikanan juga tinggi,” kata Asril Djunaedi, Technical Regional Director pada proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced atau Proyek USAID SEA, Kamis (13/9/2018) di Pulau Dodola, Kabupaten Morotai.
Pulau Dodola dengan pasir putih yang lembut ini ramai dikunjungi wisatawan ketika akhir pekan. Area ini ikut diusulkan menjadi kawasan konservasi perairan (KKP), perluasan dari KKP Pulau Rao.
KKP Pulau Rao dibentuk Bupati Morotai pada tahun 2012 yang meliputi wilayah seluas 330 hektar. KKP ini awalnya didesain untuk perlindungan pantai peneluran penyu hijau dan penyu belimbing sepanjang 1.810 meter.
Hasil survei yang dilakukan Proyek USAID SEA merekomendasikan pengembangan KKP Pulau Rao yang lebih luas. Tujuannya melindungi habitat dan memulihkan stok perikanan serta peluang pariwisata berkelanjutan.
Asril mengatakan perairan Morotai kini kian dikenal sebagai lokasi penyelaman bersama hiu. Menurutnya ini sangat baik sebagai bukti bahwa pariwisata bisa mendukung perekonomian daerah dibandingkan memburu siripnya.
Nilai ekonomi wisata selam
Menurut data Shark Diving Indonesia, nilai ekonomi wisata selam untuk per ekor hiu mencapai 8.518 dollar AS. Jauh lebih tinggi dibandingkan penjualan sirip hiu yang hanya 15 dollar AS per ekor. Angka ini bisa dikembangkan lebih tinggi karena di Fiji, wisata selam per ekor hiu bisa mencapai 4.455.000 dollar AS.
Saat menyelam di Pulau Mitita kemarin, terdapat sedikitnya 13 ekor hiu sirip hitam (black tip reef shark) yang berkeliling mengelilingi penyelam. Pemandu membawa daging dan insang ikan cakalang sebagai perangsang kedatangan hiu.
Perairan Pulau Mitita itu juga diusulkan masuk area perluasan KKP Pulau Rao yang baru. Diharapkan, melalui pengelolaan KKP, pariwisata di sini bisa dikelola dengan ekowisata yang berkelanjutan.
Menurut Wildlife Conservation Society (WCS), mitra Proyek USAID SEA di Morotai, KKP baru tersebut menurut rencana bernama KKP Dehegila-Rao. KKP ini akan mencakup wilayah hingga 58.011 ha, termasuk KKP Pulau Rao. Pembentukan KKP Dehegila-Rao ini dilakukan Pemprov Maluku Utara karena sejak UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan kabupaten pada kawasan konservasi berpindah ke provinsi.
Darwin (60), nelayan di Desa Kolorai, menyambut baik rencana pembentukan KKP di daerahnya. Ia yang sehari-hari bergantung pada ketersediaan ikan di laut, berharap KKP ini bisa dikelola baik dengan patroli.
Ia mengatakan praktik penangkapan ikan dengan bom, bius/potas, dan kompresor merusak karang. “Laut itu kebun kami, tempat kami mendapatkan makanan. Kalau rusak, nanti kami makan apa. Kami setuju kalau perairan dilindungi dengan baik,” kata dia.