NUSA DUA, KOMPAS - Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mustahil tercapai tanpa adanya kebijakan pengendalian tembakau yang kuat. Prevalensi merokok yang tinggi akan membuat kasus penyakit tidak menular yang menelan biaya besar tetap tinggi. Kualitas hidup manusia Indonesia pun rendah.
Hal itu ditegaskan Kepala Badan Perrncanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro dan Kepala Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia Paranietharan dalam pembukaan Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) ke-12 di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/9/2018).
Bambang mengatakan, pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang SDGs sebagai landasan hukum implementasi SDGs.
"Pengendalian tembakau bagian dari Tujuan 3 SDGs yaitu kesehatan dan kesejahteraan yang baik untuk semua. Tanpa kebijakan pengendalian tembakau yang kuat sulit bahkan hampir mustahil bisa mencapai itu," katanya.
Tujuan nomor 3 SDGs menargetkan penurunan sepertiga kematian dini karena penyakit tidak menular pada tahun 2030. Konsumsi rokok menjadi faktor risiko utama kematian dini dan disabilitas nomor 2 pada laki-laki dan nomor 8 pada perempuan. Di tahun 2015 kematian dan disabilitas akibat penyakit tidak menular yang terus meningkat pada akhirnya menyerap biaya hampir 24 persen dari pengeluaran.
Selain itu, Tujuan 3 SDGs juga menargetkan implementasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang kuat. Padahal, Indonesia kini menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi FCTC.
Tidak hanya Tujuan 3, pengendalian tembakau juga terkait erat dengan hampir seluruh tujuan SDGs. Misalnya, selama ini pengeluaran warga miskin untuk rokok menempati urutan kedua setelah bahan makanan pokok selain risiko.penyakit tidak menular yang besar. Akibatnya, alokasi rumah tangga untuk nutrisi dan pendidikan menjadi berkurang sehingga anak dari keluarha miskin perokok berisiko tinggi menjadi pendek (stunting). Ini terkait erat dengan kemiskinan (Tujuan 1) juga pendidikan (Tujuan 4).
Sementara itu, Paranietharan menambahkan, negara berpenghasilan rendah hingga menegah hampir tidak mungkin bisa mencapai cakupan jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage/ UHC) tanpa memiliki kebijakan pengendalian tembakau yang kuat.
Paranietharan menegaskan, satu hal yang paling tidak bisa diterima dari industri rokok adalah mereka menargetkan anak-anak sebagai pasarnya. Setiap hari anak-anak menjadi korban iklan rokok yang massif dan korban asap rokom orang lain.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyampaikan, pengendalian tembakau merupakan upaya yang intrinsik dalam pencapaian SDGs. "Rokok tak bisa lagi dikategorikan sebagai ancaman terhadap kesehatan tetapi lebih dari itu ancaman pada pembangunan manusia," katanya.
Nila menambahkan, lima penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia, yaitu penyakit jantung, stroke, tuberkulosis, diabetes melitus, dan gangguan pernapasan kronis terkait erat dengan rokok. Kesakitan akibat penyakit terkait rokok menempati lebih dari 21 persen dari seluruh total penyakit kronis di Indonesia.
Biaya kesehatan yanh dikeluarkan untuk penyakit terkait rokok itu di tahun 2015 mencapai Rp 2,1 miliar dollar Amerika atau setara dengan sekitar 2,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Ketua APACT ke-12 Arifin Panigoro, menyatakan, investasi yang besar dan sungguh-sungguh di bidang kesehatan terutama pada pengendalian tembakau akan memberikan imbal balik berupa generasi yang lebih sehat dan produktif. Merekalah yang akan berperan dalam pembangunan bangsa.