JAKARTA, KOMPAS - Menguatnya kembali aliran udara kering dari Australia dan munculnya siklon tropis mangkhut di Pasifik menyebabkan kondisi cuaca di Indonesia bertambah kering dan panas. Kondisi ini akan memperparah kekeringan yang saat ini melanda, terutama di Pulau Jawa.
Kepala Subbidang Prediksi Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra, di Jakarta, Kamis (13/9/2018) mengatakan, penguatan kembali aliran udara kering dari Australia terjadi sejak tiga hari lalu. Kondisi inilah yang memicu tingginya suhu udara di sejumlah wilayah Indonesia.
"Jika seminggu lalu monsun Australia ini sempat melemah sehingga sempat terjadi hujan di Indonesia, sekarang kembali menguat sampai akhir September. Situasi ini diperparah dengan munculnya siklon tropis mangkhut yang menarik massa udara basah ke arah utara," kata dia.
Menurut Agie, ekor siklon ini memang berpeluang menimbulkan hujan ringan di sejumlah daerah, seperti di Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara. Namun demikian, secara umum, wilayah Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara semakin kering. "Peluang hujan ringan bisa muncul setelah siklon mangkhut ini meluruh sekitar 16 September nanti," kata dia.
Menurut dia, suhu maksimum di siang hari di sejumlah daerah di Indonesia tergolong cukup tinggi. Untuk kota-kota di Jawa rata-rata 35 - 36 derajat celcius. Sedangkan suhu pada malam hari bisa turun sampai rata-rata 20 - 21 derajat celcius.
"Jadi, rentangnya antara siang dan malam cukup tinggi. Kondisinya panas, namun kering sehingga memang sangat rentan kebakaran lahan," kata dia.
Data dari Tropical Cyclone Warning Centre Jakarta, posisi siklon tropis mangkhut pada Kamis berada di 14,5 Lintang Utara, 131,4 Bujur Timur atau sekitar 1.400 kilometer sebelah utara timur laut Kota Tahuna, Sulawesi Utara Siklon ini bergerak ke barat dengan kecepatan 13 knots atau 23 kilometer per jam menjauhi wilayah Indonesia.
Kekeringan ekstrem
Menurut pantauan BMKG, kekeringan terparah saat ini terjadi melanda Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) karena sebagian besar wilayahnya telah mengalami hari tanpa hujan dalam kategori ektrem atau lebih dari 60 hari berturut-turut.
Kepala Subbidang Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto mengatakan, untuk Jawa hari tanpa hujan terpanjang paling banyak terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Daerah terkering di Jawa Tengah misalnya Wonogiri yang menurut pantauan Pos Hujan Giritontro sudah sudah tidak mengalami hujan selama 130 hari, Pos Hujan Baturetno 134 hari, dan di Pos Hujan Wuryantoro selama 102 hari.
Daerah terkering di Jawa Timur di antaranya daerah Gondang di Nganjuk yang tidak hujan selama 133 hari, Ngale di Ngawi selama 99 hari. Probolinggo dan Banyuwangi yang sudah 71 hari tanpa hujan. Daerah lain yang juga mengalami kekeringan ektrem meliputi Gubeng, Gunungsari, dan Keputih di wilayah Kota Surabaya. Selain itu, juga sekitar Tuban, meliputi Kerek, Widang, Rengel.
Daerah terkering di Bali adalah Buleleng, yang menurut pantauan Pos Hujan Tejakula tidak mengalami hujan selama 151 hari dan di Pos Hujan Sambireteng (Gretek) selama 154 hari. Di NTB, daerah terkering di Kabupaten Sumbawa, yang menurut data Pos Hujan Sebewe Moyo Utara tidak mengalami hujan selama 142 hari.
Di NTT, daerah terkering ada di Kabupaten Nagekeo yang menurut rekaman Pos Hujan Danga sudah 174 hari tanpa hujan. Sedangkan di Lembata, menurut pantauan Pos Hujan Wairiang sudah 133 tanpa hujan. Demikian halnya, Pos Hujan Sokoria di Ende juga melaporkan sudah 133 hari tanpa hujan Sedangkan di Sumba Timur, menurut data Pos hujan Rambangaru sudah 143 hari tanpa hujan.