Anggaran Pendidikan Daerah Menurun
Belum ada daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen, justru terus berkurang dari jumlah itu. Komitmen pemda untuk memajukan pendidikan pun dipertanyakan.
JAKARTA, KOMPAS – Jumlah alokasi anggaran pendidikan oleh pemerintah daerah menurun dari tahun ke tahun. Komitmen provinsi dan kabupaten/kota dalam memajukan pendidikan kontekstual dibutuhkan, dan ini tidak bisa hanya dengan bergantung pada transfer dana dari pemerintah pusat.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 4 mengamanatkan negara harus menyisihkan 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Dari jumlah itu, minimal 60 persen dikirim ke pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dan DAK untuk membayar gaji guru, tunjangan kinerja guru, membangun sekolah atau pun ruang kelas baru, merenovasi sekolah, dan bantuan operasional sekolah. Biaya pelatihan untuk peningkatan kemampuan guru dalam mendidik ditanggung pemerintah daerah.
“Hasil pemantauan menunjukkan, pemerintah daerah masih mengandalkan transfer DAU dan DAK dari Kementerian Keuangan,” kata Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami di Jakarta, Jumat (14/9/2018).
Padahal, Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 juga menyatakan, pemda wajib menyisihkan 20 persen APBD untuk pendidikan. Namun praktiknya, persentase APBD untuk hal ini terus menurun.
Berdasarkan Neraca Pendidikan Daerah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2016 hanya ada lima kabupaten/kota yang mengalokasikan 20 persen dari APBD untuk pendidikan. Lima daerah tersebut adalah Pontianak (Kalimantan Barat), Pangandaran (Jawa Barat), Buton Tengah (Sulawesi Tenggara), Buton Selatan (Sulawesi Tenggara), dan Malaka (Nusa Tenggara Timur). Akan tetapi, pada tahun 2017, anggaran pendidikan di kelima kabupaten/kota ini di bawah 20 persen.
Gabungan
Neraca Pendidikan Daerah Kemdikbud tahun 2017 mencatat, alokasi dana pendidikan yang tertinggi di Pinrang, Sulawesi Selatan, yaitu 19,44 persen dari APBD. Mayoritas kabupaten/kota menyisihkan dana di bawah 15 persen, bahkan di Kabupaten Lampung Utara hanya 2,37 persen dari APBD.
“Temuan lain ialah, ada daerah yang semakin banyak menerima DAU dan DAK, malah semakin sedikit menyisihkan APBD mereka. Akibatnya, jumlah 20 persen untuk pendidikan itu merupakan gabungan dari alokasi APBD, DAU, dan DAK,” kata Amich.
Dengan penghitungan seperti itu, kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti, pada 2018 jumlah daerah yang telah memenuhi anggaran pendidikan 20 persen dalam APBD mencapai 412 daerah dari total 542 daerah.
Dalam APBN 2018, alokasi anggaran transfer ke daerah sebesar Rp 729,3 triliun. Realisasi penyaluran hingga 31 Agustus mencapai Rp 459,9 triliun atau 63,1 persen dari pagu APBN. Adapun dalam RAPBN 2019, alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp 487,9 triliun atau meningkat 12,3 persen dari tahun 2018. Anggaran pendidikan bersumber dari belanja pemerintah pusat Rp 158 triliun, transfer ke daerah Rp 309,9 triliun, dan pengeluaran pembiayaan Rp 20 triliun.
Anggaran pendidikan bersumber dari belanja pemerintah pusat Rp 158 triliun, transfer ke daerah Rp 309,9 triliun, dan pengeluaran pembiayaan Rp 20 triliun. Astera mengatakan, target yang mesti dicapai adalah indeks pembangunan manusia 71,98, APM Pendidikan SMP/Sederajat 82,02 dan AMP Pendidikan SMA/Sederajat 67,48
Amich mengatakan, alokasi APBD untuk pendidikan mayoritas dipakai untuk membangun ruang kelas baru dan membayar gaji guru. Walhasil, program pelatihan dan peningkatan kemampuan guru hanya berharap dari sisa-sisa anggaran.
Pelatihan yang dilakukan pun, berdasarkan temuan lembaga penelitian Smeru melalui program Penelitian untuk Meningkatkan Sistem Pendidikan (RISE), belum efektif. Umumnya, pelatihan masih berkutat pada hal administratif seperti memastikan ada perwakilan guru dari setiap gugus di daerah, memberi ceramah, dan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pelatihan belum efektif
Pemantauan perkembangan pendidikan di empat kabupaten kota selama kurun waktu 2015-2020 yang dilakukan RISE menunjukkan, pelatihan untuk guru-guru di lapangan ternyata belum efektif. Umumnya, pelatihan masih berkutat pada hal administratif seperti memastikan ada perwakilan guru dari setiap gugus di daerah, memberi ceramah, dan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran.
Salah satu peneliti RISE Smeru Niken Rarasati mencontohkan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah yang menyisihkan anggaran pendidikan sebesar Rp 900 miliar atau setara 12,23 persen dari APBD. Sebanyak Rp 7 miliar digunakan untuk membiayai pelatihan guru.
“Belum ada sistem pelatihan, evaluasi, dan pengukuran capaian yang kontekstual dengan penguasaan materi oleh guru, kemampuan guru menerapkan metode pendidikan yang sesuai dengan materi dan kebutuhan kelas, hingga kepada tingkat pemahaman siswa terhadap materi tersebut,” paparnya.
Hal serupa juga terjadi di kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Ukuran yang digunakan oleh pengawas dan kepala sekolah adalah sesuai dengan petunjuk teknis dan pelaksanaan dari pusat, walaupun sejatinya petunjuk itu hanya merupakan contoh yang semestinya bisa diadaptasi sesuai permasalahan di daerah.
“Keaktifan guru dilihat dari sudah membuat alat peraga pendidikan ataupun sering mengajak siswa beraktivitas yang menyenangkan seperti menyanyi dan menari untuk tingkat SD. Akan tetapi, belum tentu alat peraga dan ativitas itu tepat untuk membahas materi yang diajarkan maupun meningkatkan kemampuan siswa,” kata peneliti RISE Smeru J Prio Sambodho.
Ia mengatakan, selain melakukan evaluasi, penelitian juga akan bekerja sama dengan para aparatur pendidikan di daerah untuk mencari solusi berdasarkan peta permasalahan. Salah satunya ialah membuat sistem pemantauan dan pemastian pencapaian hasil yang kontekstual serta tidak terpaku pada hasil Ujian Nasional semata.